Smaradina Muda Mangin

Syam Asinar Radjam

Surat 2
Tengah malam acara keakraban antara mahasiswa baru dengan himpunan mahasiswa jurusan, Mangin hendak menyerahkan balasan surat singkat itu ke Dinda. Di persimpangan kebimbangan. Hujan sibuk-sibuknya sebagai panitia. Toh, mahfum Mangin kalau tak ada waktu baginya. Selama ini pun Mangin tak punya waktu banyak untuk Hujan. Karena diserahkan waktunya kepada kerja di kampung-kampung dan di depan komputer dengan wallpaper monitor para super heroes Detroit Comic.

Adakah nista seorang saya,
Ketika meminta maaf kepada perempuan-perempuan
Yang mencintaku adalah sebuah pertanyaan
Sebab, tak sekali kujatuhkan cinta pada perempuan
kecuali emak, kelawai dan keponakan
(Sumber; Sajak Mambu II, AMM)

“Aku punya jawaban atas suratmu kemarin.” Bisik Mangin ke Dinda ketika ada senggang waktu sedikit. Mangin membuka tas dan mencarinya di selipan-selipan buku. Membongkar ingatannya, apakah dia membawanya serta atau tidak, setelah meminta panitia menjemputnya pukul 11 malam.
“Aduh, maaf tertinggal?” Sesuatu penyesalan yang terucap.
“Ya, besok saja. Atau kapan-kapan.” Di gelap malam pun masih terlihat lesung pipinya. Tak ada perubahan rona muka. Mangin hanya memperhatikan segitiga di raut muka Dinda. Sama kaki, sepasang lesung pipi dan batang hidung.
Lalu Dinda pergi, entah melakukan apa. Hanya bayangan yang menjauh. Kegelapan menyelimuti. Dan teriakan bernada perintah-perintah saja yang terdengar. Malam berjalan. Awan tipis berarak. Kabut turun. Bau ubi bakar di tumpukan bara hadapan kami. Mengepul, mempur. Kulit ubi kayu memecah. Dagingnya empuk terlihat putih menyembul.
* * *

Smogie
Di tengah rawa timbunan, aktivitas malam yang di tempat itu pasti senyap berubah bak pasar malam. Tanpa komidi putar dan badut. Tak ada lempar botol, maupun roda gila. Kegiatan ramah tamah antara mahasiswa baru dan mahasiswa senior. Oalah, senior iku opo?

Mangin terlihat menikmati malam itu, ketika embun mulai perlahan turun. Satu depa di atas kepala. Kabut, yang jelas bukan smogie –seperti kemarau panjang tahun 1997. Sekalipun kebakaran hutan masih terlihat. Hot spot masih terpantau oleh NOAA . Aku menemaninya di tengah gundukan tanah timbunan yang lapang.

Kabut turun perlahan, merendah. Kulihat Mangin merendahkan bahu. Sebuah dingin yang menyergap. Sebuah dingin yang juga aku rasakan. Mangin terduduk di atas terpal. Dan aku mencoba mencarikan kopi panas untuk kami berdua. Melangkah melintasi barisan mahasiswa baru dalam lingkaran api unggun, dan sebuah orasi perenungan terdengar. Dan kutemukan yang dicari di dapur umum. Tungku yang masih menyala dengan teko mengepul uapnya. Banyak persediaan yang ada, aku dan Mangin hanya butuh seduhan kopi dua gelas.

Hirupan aroma kopi rakyat menemani kami dalam obrolan mengenangkan kehausan panjang ketika pengembaraan Serelo kemarau panjang 1997. Kemarau, pembakaran hutan, 11 perusahaan dinyatakan bersalah. Kami hanya bersendagurau, dibalik keseriusan pendidikan mahasiswa baru. Tentu saja, kami berada jauh di luar lingkaran.

“Mangin, lupakah kita, ketika itu, hanya kabut -seperti sekarang juga. Kau panjat pokok tertinggi, mencari arah bukit?”

Bibirnya tak mengeluarkan jawaban. Hanya gelak kecil.

.. Alpakah engkau? Bersama kita menyeruput kopi hangat. Tak kita sisakan bibir untuk meniup. Betapa terbakar lidah tak lebih berharga dibanding kehilangan satu derajat kopi yang baru kita curi dari petani yang telah bertahun dirampok?
(Sumber; Kutunggu Di Selatan; Sajak AMM)

Dia mencoba mengalihkan perhatian, dengan menyebutkan bahwa kabut yang dihadapi saat itu akibat pembakaran hutan untuk keperluan perluasan lahan perkebunan skala besar dan Hutan Tanaman Industri, dan bukan kabut seperti malam ini.

Pembicaraan ini bukanlah sebuah hal aneh. Toh, kebakaran hutan dan lahan bukanlah suatu masalah baru yang muncul dalam kancah lingkungan hidup, sudah sejak dekade 70-an permasalahan ini menjadi momok. Berbanding lurus dengan memburuknya kondisi hutan.

Banyaknya perkebunan skala besar dan pemberian Hak Pengusahaan Hutan mempercepat laju deforestary hutan. Mencapai dua koma empat juta hektar setiap tahun. Permintaan industri kayu sebesar tujuh puluh juta meter kubik pertahun, memaksa produksi hutan di luar ambang batas. Padahal kemampuan hutan Indonesia hanya dua per tujuh dari permintaan tersebut, artinya lima puluh juta kubiknya adalah produksi illegal. Hutan-hutan yang terdegradasi juga menyebabkan turunnya kesimbangan ekologis, hilangnya kelembaban mikro. Berimplikasi terhadap rentannya kebakaran hutan.

Dalam gelap kabut Mangin kulihat merogoh daypacknya. Katanya mencari batang pensil, yang selalu menemaninya kecuali ke kamar mandi. Karena di kamar mandi tak bisa ia berkonsentrasi belajar membuat sketsa dan ber-mural.

Harus ada pengganti surat untuk Dinda yang hilang entah kemana. Mungkin tertinggal di pojok gelap kamar kerjanya. Kutawarkan pulpenku, Dia menolak. Dia lebih menyukai pensil. Berbongkaranlah dia mencari di kantung-kantung tas. Dan tak lama sebatang pensil di selipan jari tapak tangan kanan. Sempat dia menyerigai tersenyum.

Dalam dingin kabut fajar, kulihat Mangin terbakar oleh sesuatu yang aku tak faham. Dadanya? Entah, tapi berimbas timbul sebuah energi baru baginya untuk menuliskan sesuatu, pada kertas, pada malam, pada kabut. Mangin menghirup hangat El Nino.

Sambil dia tengkurap menghadap nyala ranting, kami melanjutkan pembicaraan kebakaran hutan dalam tigapuluh dekade terakhir. Paling besar terjadi di Kalimantan Timur pada tahun 1992 sampai seluas 3,5 juta hektar. sebanding lima puluh enam kali luasan darat Singapura. Terulang lagi lima tahun berikutnya. Jadilah Indonesia sebagai eksportir asap terbesar di dunia.

Habitat orang utan, pongo pygmaeus pygmaeus, habitat homo sapiens, terbakar dalam nyala yang melukai. Kebakaran hutan dan lahan tahun 1997 mengakibatkan kerugian ekonomi sebesar 56,5 triliun rupiah. Saat itu kami membayangkan sedang menumpukkan uang logam seratus rupiah dengan tebal sekitar dua milimeter.

Tertumpuk lima ratus enam puluh lima milyar keping. Terpancang menara keping receh setinggi satu juta seratus tiga puluh ribu kilometer. Padahal di keping uang logam seratus rupiah yang sedikit lebih tipis, versi 1978 tertulis jargon “HUTAN UNTUK KESEJAHTERAAN”.

Peristiwa yang sangat memprihatinkan ini telah meyebabkan terbakarnya 31.000 hektar hutan produksi, 4.374 hektar hutan lindung, 2.078 hektar hutan suaka alam, 835 hektar hutan taman nasional, 50 hektar hutan taman raya, dan 25 hektar hutan alam lainnya.

Orang-orang terlihat sibuk. Di jalanan Palembang aktivis lingkungan membagikan masker ke anak-anak sekolah. Di mana-mana juga seperti itu. Sultan Mahmud Badarudin II, sebuah bandara, sempat di tutup. 2000 penderita ISPA. Perahu ketek tabrakan di dekat Pulau Kemaro. Kendaraan antri dalam jarak pandang kabut satu meter di Lintas Timur Sumatera. Gugatan kepada 11 perusahaan pembakar hutan dan lahan di gelar. Rimbo sekampung hangus sepertiganya. Kris Biantoro membuat serial Kemilau Mutiara Hijau.

“Sumatera Selatan sendiri dengan sisa luas wilayah hutan lima juta hektar juga tidak lepas dari kemungkinan terjadinya kebakaran hutan.” Kata Mangin.
“Oh, ya?”
“1997 lalu Kantor Wilayah Kehutanan menyebutkan jumlah hutan yang terbakar mencapai enam ribu lima ratus empat puluh tiga hektar, dan dua ribu hektarnya disebabkan oleh perkebunan besar sawit dan HTI serta HPH.”

Jika kubaca lagi dokumen di komputer Mangin, dilihat ke belakang dari tahun 1994, untuk aras Sumatera Selatan jumlah luas hutan terjadi trend menurun, waktu itu dari 178.293.07 areal terbakar sembilan puluh persennya dalam kawasan hutan. 1995, 10.585,58 ha areal terbakar enam puluh tiga persen kawasan hutan. 1996 dari 12.070,01 ha areal terbakar sembilan puluh delapan juga.

“1997, bukan mustahil terulang lagi. Data kehutanan sumsel jumlah status hutan yang terlambat reboisasi adalah seluas lebih dua setengah juta hektar. Kondisi ambang yang menghawatirkan karena rawan kebakaran,” Mangin menegaskan lagi bacaanku.

Mangin merapatkan sweater, Kutinggalkan dia ketika hendak menulis.

Yang kukirim bukan surat, bukan kartu post.
Tapi Pamflet.
(Sumber; Buku Harian Mangin Halaman 57)

Kabut masih saja mengepung ujung kepalanya, dan jika saja dia paksakan untuk menyundulkan kepala di tipis kabut kesegaran penuh akan merangkulnya lebih dalam. Tapi, Apakah kabut ini bukan smogie? Lalu mengapa Mangin bingung membedakannya ; bingung membedakan perasaannya sendiri?
***bersambung