Freedom to Move

Sanie B. Kuncoro

Itu kalimat dari sebuah iklan jeans. Adegannya begini, dua sosok manusia, laki-laki dan perempuan, pakai celana jenas tentu saja, sama-sama saling berlari adu kecepatan. Ada banyak dinding bata, tapi itu bukan penghalang, begitu saja mereka menerobosnya dan dindingpun runtuh berkeping. Dan merekapun terus berlari dengan gerakan yang tangkas. Siapa pemenangnya?

Tidak ada. Mereka sampai di ujung secara bersamaan. Tidak ada dinding bata lagi, daratan sudah usai. Yang ada ruang kosong seperti batas untuk menuju angkasa. Lalu? Lalu mereka saling pandang untuk kemudian meloncat lagi bersamaan melanjutkan adu kecepatannya. Dan kalimat itupun muncul….Freedom to Move.

Pesan apa yang tertangkap?

Yang pertama tentu soal jeans tadi. Misinya jelas, dengan memakai jeans merk tertentu tadi maka kita bebas bergerak macam apapun gerakan kita. Ibaratnya bagai menembus dinding sekalipun. Itu misi yang diinginkan perusahaan jeans tersebut untuk menanamkan citra produknya.

Lebih jauh, iklan itu memberikan perspektif lain, soal kesetaraan jender. Lihatlah, sosok yang dipilih adalah sosok yang biasa, orang-orang dengan penampilan yang biasa, sosok tipe kebanyakan. Yang laki-laki bukan tipe laki-laki berotot, sementara yang perempuan bukan pula tipe kemayu. Pribadi yang biasa saja, seperti kita-kita ketika sedang memakai jeans dan T-shirt ala kadarnya. Dan tidak adanya pemenang di antara mereka menunjukkan bahwa tidak ada kekuatan yang lebih antara satu dari yang lain.

Itu iklan jeans.

Di Indonesia, dalam kehidupan nyata, jargon Freedom to Move bisa jadi harus disertai dengan tanda tanya, dilengkapi dengan kaidah-kaidah agama dan lebih lanjut, bisa jadi harus disertai dengan sertifikat kehalalan.

Bila tidak, maka gerakan yang dilakukan bisa-bisa dikaitkan dengan tingkat kriminalitas, khususnya perkosaan dan tindakan asusila lainnya. Atau lebih jauh dituding sebagai penyebab kemerosotan moral, misalnya –entah bagaimana menghubungkannya dan tidak peduli signifikan atau tidak relasi antara unsur-unsur itu.

Yang menarik kemudian, urusan gerak bergerak tadi mendadak jadi isu nasional bahkan melebar kemana-mana. Kalau pada mulanya gerak itu hanya berupa salah satu atraksi hiburan yang biasa dan bahkan sudah berlangsung bertahun-tahun di pelosok Jawa Timur sana, maka gerak itu bisa menjadi materi bahasan banyak hal. Mulai dari ekpresi kebebasan seni, masalah jender, penindasan, hak asasi manusia, bahkan menjadi ilustrasi materi pembuktian untuk teori fisika.

Debat publik muncul dimana-mana. Dana Iswara membandingkannya dengan kontroversi yang dimunculkan film Fruits not Only Orange (film tentang pengungkapan lesbian).

Emha Ainun Najib secara cerdas –seperti biasanya– menganalisa bahwa situasi yang terjadi sesungguhnya menampakkan kondisi masyarakat kita yang hipokrit, yang terlalu munafik untuk mengakui kerusakan moral yang bahkan sudah mengakar.

Tak kurang pula tokoh HAM. Saparinah Sadli menyatakan kesanggupannya untuk memperjuangkan hak asasi sang penggoyang, yang dalam kasus ini tercitra sebagai korban.

Kolom SWARA Kompas membahasnya sebagai bagian dari budaya patriarkhi lengkap dengan bukti bahwa sebagian perempuan mendukung budaya itu.

Itu yang ilmiah. Tindakan populer lainnya tentu saja lebih heboh. Artis ini dan itu saling melempar pendapat bertebaran di berbagai tayangan semua saluran televisi. Bahkan sekelompok Ibu-ibu di Jawa Timur berinisiatif mengumpulkan dana untuk mempensiunkan seorang Raja Dangdut. Lalu berbagai organisasi lainnya menggelar demo tandingan. Bahkan dalam berbagai program talk show, pembicara yang tidak ada sangkut pautnya dengan situasi itupun harus menerima pertanyaan seputar sensasi itu.

Lebih parah lagi yang saya alami. Ketika masuk suatu bank, petugas bank bertanya saya termasuk pendukung atau tidak. Relevansinya ? Bila saya bukan pendukung , maka saya bukan prioritas untuk dilayani. Astaga.

Memang petugas bank itu bercanda, namun bagaimanapun itu menunjukkan adanya gerakan yang spontanitas dari masyarakat. Kalau kemudian dikatakan ada rekayasa dalam kasus sensasi itu, lalu bagaimana merekayasa si petugas bank tadi?

Tapi sudahlah, ini bukan mau bicara soal sensasi goyang. Tapi soal kebebasan untuk bergerak dalam tanda kutip, dalam perspektif jender dan HAM. Banyak orang bicara tentang jender dan HAM. Namun pada umumnya ketika menganalisa hal-hal itu, secara tidak sadar lebih banyak yang berperan sebagai outsider. Sebagai pengamat saja dan bukan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Jadi apa yang dia suarakan belum tentu akan diberlakukan pada dirinya.

Contoh?

Beberapa tahun lalu ketika rok mini mewabah, Goenawan Mohamad yang tokoh Tempo itu pernah ditanya pendapatnya. Dia bukan seorang yang anti rok mini, tapi dia tidak setuju bila istrinya berbusana mini. Sayangnya tidak disertakan reaksi Widarti Gunawan, yang tokoh Femina itu atas pencekalan rok mini itu terhadapnya.

GM tentu tidak sendirian. Dalam perspektif yang lebih luas, ada banyak pengikut GM lengkap dengan segala variasinya. Manager bank dulu dimana saya bekerja, juga sangat mendukung adanya fenomena wanita bekerja. Dia sangat apresiatif terhadap para pekerja perempuan dan mendukung upaya kami untuk terus meningkatkan diri. Itu di kantor.

Di rumah, istrinya tetap harus menjadi ibu rumah tangga thok thil. Salah satu suami teman saya bahkan berani memberikan ganti rugi yang ‘sepadan’ ketika dia mengharuskan teman saya untuk menolak suatu tawaran karir.

“Berapa gaji yang ditawarkan padamu dan akan kuberi kau sejumlah itu tanpa kau harus bekerja di sana”

(Kalau saya jadi istri orang itu, maka akan saya akumulasikan gaji itu tadi dengan bonus, fasilitas kesehatan, tunjangan transpor, makan dan segala tetek bengeknya. Kemudian lebih lanjut akan saya urus pula, kalau ternyata dia sanggup memberikan fasilitas itu, mengapa tidak diberikannya sejak dulu? Kenapa harus menunggu dipancing dulu?)

Jangan dikira cuma laki-laki yang bisa melakukan tindakan itu. Perempuanpun sanggup melakukan hal-hal yang serupa. Seorang teman saya, dalam suatu pertengkaran dengan suaminya, mengeluarkan ultimatum bahwa suaminya itu sama sekali tidak boleh hadir bila nanti suatu saat orangtua suaminya itu meninggal.

Saya katakan ultimatum itu melanggar HAM, bagaimanapun ada agama tertentu yang mengajarkan kepada umatnya untuk menghormati dan berdoa bagi orangtuanya selagi hidup ataupun mati. Dia bilang tidak peduli dan setelah itu dia bicara bahwa dia tipe orang yang paling tidak suka pada ketidak adilan, bla…bla….bla….

Barangkali untuk mengartikan Freedom to Move harus dipergunakan suatu standar ganda. Untuk teorinya begini, untuk prakteknya begitu. Ada banyak alasan untuk mensahkannya.

Raja dangdut mengajukan soal moral bangsa untuk mencekal goyang Inul, tapi kalau kemudian dia bertandang kerumah seorang perempuan lajang hingga dini hari, maka itu urusan yang lain lagi. Bukan urusan moral yang itu.

Saya tidak tahu alasan GM untuk mencekal rok mini bagi istrinya, tapi ketegasan dia untuk melakukan itu sungguh sangat berbeda dengan kesan kehumanisannya dalam Catatan Pinggir.

Urusan larang melarang antar pasangan seringkali menggunakan urusan domestik rumah tangga sebagai alasan, sementara bila diteropong lebih lanjut, seringkali unsur egoisme pribadi yang lebih berperan di dalamnya.

Begitulah. Akhirnya apa boleh buat, tak banyak yang bisa diharap dari jargon Freedom to Move selain daripada keleluasaan berjeans semata. Jadi marilah kita berjeans untuk menikmati Freedom to Move!