Raden Adigung Adiguna dan Kemerdekaan

Dodi Mawardi

Oli di pohon pinang sudah semakin berkurang, dan perlahan-lahan belasan orang, termasuk aku, kian semangat memanjatnya. Riuh rendah tepukan penonton membuat suasana makin meriah, dan memuncak ketika Soleh, sepupuku, berhasil mencapai puncak pohon pinang; resmi mendudukinya.

Tetapi masih ada tiga pohon pinang lain, yang belum berhasil dikuasai, jadi tepukan warga terus membahana. “Ayo, ayo, kamu bisa” teriak seorang penduduk menyoraki belasan orang yang bahu membahu menaklukan pohon pinang. Luar biasa, meski matahari semakin terik, peserta panjat pinang tetap semangat. Tapi panitia peringatan 17-an tahun ini menyediakan hadiah menggiurkan.

Tiga setengah juta perah! Raihlah puncak pohon pinang dan ada amplop berisi uang tunai Rp 3,5 juta. Belum lagi barang-barang yang tergantung dalam perjalanan ke puncak. Ada sepeda kumbang, setrika listrik, baju koko, minicompo, panic stainless steel, sepatu dan sandal. Lengkap. Kami hitung-hituing satu pohon pinang 17-an, senilai dengan Rp. 25 juta. Angka yang amat waw untuk ukuran desaku, yang cuma punya mushollah berdinding setengah tembok dan SD berlantai tahan. Siapa pemodal yang masih punya kemampuan menghamburkan uang sebanyak itu untuk pesta satu hari?

“Alhamdulilah, sehari manjat pohon bisa dapat 300 ribu nih” ujarku pada Soleh, yang merebut hadiah utama 3,5 juta, plus sepeda kumbang dan kopiah. “Lebih enak nih kalau sering-sering bikin lomba” kata Soleh menimpali. Bagi kami uang sebanyak itu hampir sama dengan gaji sebulan. Sebagian besar orang desa kami memang kerja serabutan dengan upah di bawah UMR.
***

Desaku memang sedang mengadakan pesta 17 Agustusan, menyambut hari kemerdekaan yang ke-58. Seperti biasa rutin setiap tahun, selalu diadakan berbagai lomba. Persiapan menjelang lomba termasuk serius, karena enam bulan sebelum Agustusan, setiap kepala keluarga wajib iuran sebesar seribu rupiah. Persis pada saat Agustusan berlangsung, panitia tidak perlu lagi repot-repot meminta sumbangan dari warga, seolah-olah 17-an gratis. Pinter juga.

Tetapi Agustusan tahun ini jauh lebih ramai dibanding tahun lalu. Hadiahnya itu lho… jutaan rupiah setiap lomba. Dari mana uangnya ya? Nggak mungkin dari iuran warga, wong hanya enam ribu per kepala keluarga. Jangan-jangan…

“Hush, jangan suuzhon kamu!!!” Uwa ku yang guru ngaji mengingatkan. Aku memang menduga, pesta 17-an kali ini didanai oleh seorang warga baru, yang kaya raya. Dan uang itu, aku duga, jelas bukan uang halal tapi uang haram. Uang hasil kejahatan, atau mungkin hasil korupsi, atau apalah, tapi jelas bukan uang yang diperoleh dari hasil kerja keras yang halal.

Aku amat curiga pada orang yang bernama Raden Adigung Adiguna, yang pernah pada suatu hari -tanpa hujan lebat atau panas terik- tiba-tiba mentraktir durian sebanyak dua kijang bak terbuka untuk tetangga-tetangganya. Masya Allah, banyak amat.

Buatku, kekayaan orang ini sangat mencurigakan. Dan, syukurlah, aku bukan sendirian.

“Jangan-jangan ini dana Bulog?” kata Ade, kawanku yang mau patungan untuk langganan koran.
“Bisa jadi. Semacam pencucian uang lah,” timpalku sok tahu.
“Wah ini bahaya cing. Kita harus bertindak. Nggak bisa dibiarkan, ntar nama desa kita juga yang tercemar” kata Ade penuh nafsu.
“Sabar…sabar. Jangan main sabet aja, harus ada buktinya. Elo kalau mau main tuding, bisa repot karena Raden itu sedang ngetop-ngetopnya di desa kita.. Nanti kita dikira memfitnah lagi. Mencemarkan nama baik. Hukumannya berat lho, kayak Majalah Tempo dituntut ratusan miliar sama Tommy Winata” ungkapku makin sok tahu. “Lebih baik kita tunggu sampai selesai 17-an”
***

Raden Adigung Adiguna mengaku berasal dari Sumedang. Katanya keturunan ningrat dari kerajaan Sunda jaman baheula, makanya di depan nama Adigung Adiguna, ditambahi gelar raden. Dia juga mengaku memiliki Yayasan Amalillah. Ini bukan yayasan kasusnya Bulog lho.

Tapi tidak seorang pun tahu persis Yayasan Amalillah itu, karena di desaku, sebelum kedatangan sang Raden, tidak pernah ada kegiatan apapun atas nama yayasan itu. Tidak ada pengajian, tidak ada aksi sosial, atau sekedar kumpul-kumpul yayasan dan semacamnya. Nama Yayasan Amalillah muncul bersamaan dengan kedatangan Raden Adigung Adiguna.

Menurut istrinya, seorang gadis asli asal desaku, Diana, Raden punya usaha yang cukup besar di Jawa Timur. Pendek kata, selain mengurusi yayasan, Raden Adigung juga seorang pengusaha.

Raden Adigung datang ke desaku sekitar bulan November tahun lalu. Dia menyunting Diana sebagai istrinya yang kesekian. Kesekian karena kata orang, Raden punya istri banyak. Dan perkawainan itu begitu mengubah keadaan.

Dalam hitungan hari, keluarga Diana berubah total. Adiknya langsung punya motor bebek terbaru, dibeli kontan tanpa perlu fasilitas kredit. Kakaknya dimodali usaha membuka warung, sedangkan rumah keluarga Diana, disulap dari rumah setengah tembok jadi rumah tingkat dua dengan pintu dan kusen dari kayu jati berukiran. Keluarga Diana menjadi kaya raya mendadak. Oh, Orang Kaya Baru toh.

Bukan hanya keluarga Diana yang ketiban rezeki nomplok. Tetangga di sekitarnya juga kecipratan. Tiap kali melakukan ronda, setiap warga di RTnya mendapatkan honor Rp 50 ribu. Begitu pula kalau diadakan kerja bakti. Selain konsumsi terpenuhi, setiap peserta kerja bakti juga kebagian Rp 50 ribu rupiah.

“Kenapa dia nggak dari dulu ada di sini ya? Kan gue nggak usah cape-cape cari kerja ke kota” kata Ujang tetangga Diana, yang paling banyak mendapat limpahan rezeki dari Raden di luar keluarga Diana.

Sebulan kemudian, aliran uang dari Raden Adigung Adiguna makin menjadi-jadi. Bukan hanya tetangga sekitar tetapi juga seluruh pelosok desa kebagian. Memasuki bulan kedua kehadiran Raden, setiap minggu warga mendapatkan bingkisan berupa lima liter beras, plus setengah lusin mie instant; sumbangan dari Yayasan Amalillah, begitulah tertulis di bungkusannya. Nama Raden Adigung Adiguna dan keluarga Diana menjadi buah bibir se-Desa Banjaran.

“Keluarga Diana beruntung mendapatkan Raden yang kaya raya” kata ibuku. “Mudah-mudahan rezekinya bertambah terus, biar kita juga selalu kebagian” sambungnya. Ini baru namanya ibu-ibu jaman sekarang

Aku kesal mendengarkankannya, dan kecurigaanku makin menjadi-jadi. ‘Ini pasti duit Bulog yang diselewengkan itu,’ kataku dalam hati sok yakin.
***

Pohon pinang yang kedua, ketiga dan keempat, akhirnya berhasil ditaklukkan, menjelang tengah hari. Semua berpesta pora, sedangkan renungan kemerdekaan tak ada yang perduli. Yang penting riuh gembira, dan mendapatkan uang serta hadiah.

“Kamu dapat apa?” tanyaku pada Ogan, adikku. “Lumayan uang dua ratus ribu, plus sepatu” jawabnya sambil nyengir. “Hah banyak amat. Emang kamu ikut apaan?” “Lomba karaoke juara kedua, lomba joget juara harapan” katanya.

“Ini bibi dapat apa?’ tanyaku pada bibiku Laksmi yang terlihat tergopoh-gopoh baru kembali dari lapangan.
“Hehe nih seratus lima puluh ribu” katanya sambil mengipas-kipaskan tiga lembaran uang kertas 50 ribuan.
“Ya ampun… banyak juga. Juara apa aja sih?” semprot ku penuh tanda tanya. “Boro-boro juara. Cuma ikut megang tambang terus diadu dengan grup lainnya. Menang kalah nggak diitung, pokoknya ketawa-ketawa aja. Eh setiap ibu-ibu dikasih seratus ribu. Nih amplopnya masih ada” kata bi Laksmi bangga sambil mengipaskan amplop ke mukanya yang kepanasan.
“Itu yang nonton juga kebagian…” tambahnya. Bukan main, ini benar-benar pesta 17-an terheboh. Kayaknya bukan hanya sekecamatan, tapi sekabupaten atau malah se-propinsi, seIndonesia, sedunia.

***
Pesta tak usai dengan lomba-lomba berhadian ratusan ribu perak. Malam harinya masih ada panggung hiburan. Sejak berhari-hari sebelumnya, sudah diumumkan bahwa yang bakal menghibur adalah artis-artis ibukota. Aku sebenarnya kurang percaya karena sudah biasa mendengar promosi dengan daya tarik artis ibukota. Paling-paling artis yang baru punya satu album, itupun yang lakunya pas-pasan.

“Katanya sih ada Mondra, Basoka dan Aton. Terus ada juga penyanyi dangdut Ine Cintailah dan Onne Sutralah” kata Ade menyebut beberapa artis ternama untuk meyakinkanku.
“Nggak percaya!” ujarku. “Paling-paling namanya Nonong, Neuneung sama Ableh” aku makin bersemangat meledek.

Tetapi malam itu semua keraguan ku sirna. Panggung hiburan di desaku sangat meriah karena dipenuhi warga. Bukan hanya warga desa kami saja, tetapi juga warga desa tetangga. Panggug hiburan yang dipajang di lapangan bola penuh sesak. Ramean mana dibanding penonton pertandingan sepakbola antar kecamatan?

Satu per satu artis yang dijanjikan muncul. Mondra, Basoka dan Aton bintang sinetron Si Koel Anak Kampusan tampil bareng mengocok perut warga. Setelah itu pertunjukan dangdut pun dimulai, dengan MC ketiga pelakon dalam sinetron Si Koel Anak Kampusan tadi.

Ine Cintailah penyanyi dangdut pertama yang muncul, membuat penonton lelaki histeris dengan lagu-lagu populernya, persisnya karena goyangan mautnya. Ada lagi Onne Sutralah, yang makin malam makin bikin laki-laki histeris tak segan-segan lagi sementara para perempuan cekikikan malu-malu.Warga semakin betah di sekitar panggung, karena panitia memberikan kejutan. Raja dangdut Rhomi Tak Berirama dan Imul Daranista, si ratu goyang, muncul dari balik panggung dan keduanya makin menggoyang penonton yang sudah histeris sejak awal.

Luar biasa. Pesta 17-an yang sangat heboh untuk pertama kalinya terjadi dalam sejarah desaku. Dulu-dulu panggung hiburannya paling semarak cuma nanggap wayang golek atau film layar tancep.
***

Iseng-iseng aku dan Ade menghitung-hitung dana yang dikeluarkan Raden, selama pesta 17-an. Kami mulai dengan inventarisasi lomba dan ternyata seluruhnya ada 30 macam. Mulai dari panjat pinang, karaoke, poco-poco, lomba puisi, tenis meja, bulutangkis, volley, mancing, dan 21 lomba lainnya.

Setiap lomba minimal menyediakan hadiah lima juta perak dengan hadiah terbesar di panjat pinang, yang total mencapai sekitar 25 juta rupiah. Ditambah dengan dana sangon panitia, kaos, konsumsi, dan honor untuk para artis ibukota.

“Luar biasa. Ini tidak kurang dari 500 juta” kata Ade sambil membelalakkan matanya. “Benar-benar mencurigakan” tambah Ade.
“Lalu harus kita adukan ke mana De” tanyaku bingung.
“Ke surat pembaca. Diduga hasil korupsi dipakai buat pesta 17-an. Gitu kira-kira judul suratnya”.
“Cerdas juga lo. Tapi ke koran mana? Ke Radar Bogor, atau ke Kompas? Eh tapi selain ke koran, kita juga bisa mengadukannya ke LSM. LSM apa itu yang kepalanya Teten Masduki?”
“ICW,” jawab Ade.
“Yak, kita laporkan ke mereka aja, biar mereka yang ngurus”.

Begitu kami selesai merencanakan pengaduan, tiba-tiba Ade berteriak;.”Itu Raden Adigung Adiguna!.”
Aku berbalik melihat layar TV dan sempat juga terlihat sepintas tampang Raden Adigung Adiguna sebelum digantikan wajah presenter; ‘tetaplah bersama kami.’Aku besarkan volume TV, dan kami duduk tegang, bersiap-siap menanti ledakan besar berita selepas iklan.

Dan muncul kembali tampang seorang lelaki setengah baya yang sedang digiring polisi. Wajahnya tertunduk lesu, tapi kami kenal baik dia; Raden Adigung Adiguna. ‘RAA telah menjalankan bisnisnya money game selama tiga tahun dan berhasil mengumpulkan uang dari peserta sampai 200 miliar rupiah. Kepada polisi, RAA mengaku memiliki sejumlah alamat tempat tinggal, antara lain di Sumedang, Bogor, dan Surabaya.’ Kok kayak cerpen banget.
***
Maruyung – Juli 2003