Innerbeauty of The Night

Ronny P. Sasmita

Ada yang sengaja membawa tinta hitam untuk membuat gelap malam menjadi hitam pekat yang menakutkan, lalu menghalangi bulan dan bintang untuk sedikit melemparkan senyum pada pandangan. Ada pula yang sekedar mempergelap malam hanya dengan menutup kedua mata lalu mengucapkan selamat tidur kepada siapa saja yang sedang mengangkang telanjang disebelah kiri dan kanannya, menikmati malam dengan bermimpi menjadi penyelamat dunia dalam dua dekapan paha yang mengapit selangkangan wanita.

Tapi apakah malam pernah menuntut balas pada mereka?

Tentu saja, keindahan dan kemegahan tak mau menceburkan diri ke dalam segala kenistaan nan rendah begitu. Maka cacilah sesukamu, tak akan kau temui cacian balasan secuil pun. Tatkala kau habiskan seluruh air laut untuk dijadikan tinta hitam pemusnah malam, maka lakukanlah, karena esok malamnya lagi kau akan kehabisan tinta. Lalu kau kehausan, kemudian terkocar-kacir mencari tinta yang telah terlanjur kau habiskan sebagai penawar obat hausmu itu.

Maka kuingatkan, jika engkau ingin menyambangi malam, siapkanlah tinta putih sebanyak-banyaknya untuk kau gunakan melukis di kegelapan langit, membuat garis diantara jajaran bintang-bintang, dan membuatkan sayap pada bulan supaya bisa kau minta untuk datang sebentar menyampaikan salam padamu. Kau akan tahu sebenarnya betapa akrabnya dirimu dengan malam yang telah kau bubuhi tinta putih itu, bahkan setelah kau pahami itu, kuyakin tak sedetikpun kau ingin menjauh dari lukisanmu itu. Tak sedetikpun kau akan merindukan kesombongan dan keangkuhan, serta tak sedetikpun akan kau sisakan waktumu hanya untuk mengucapkan sepatah kata konyol yang berbunyi ‘aku.’

Setelah kau lalui itu semua, dengan sendirinya akan kau putuskan segera, tanpa melalui persetujuan rasionalitas atau metodoligis intelektualmu tentunya. Bahwa ada sebuah tempat persembunyian yang indah yang sedang ditutupi olehnya. Ya, sebuah persembunyian yang tidak dimaksudkan untuk bersembunyi, cuma sekedar ejekan pada kita-kita yang lupa bahwa hati ternyata terpasang rapi di dada cuma beberapa centi saja dari kepala. Artinya, sebuah tempat dimana yang sedang bersembunyi tidak  sedang takut dikebiri, tapi bersembunyi untuk berdiam diri karena akan menimbulkan efek ditakuti jika permunculan asli dibuat terjadi.

Jadi, tak perlu kau cari karena tak mungkin akan kau temui dalam kondisi diri  yang masih tersusun dari unsur-unsur manusiawi ini. Cukup kau rasakan, lalu  buka pintu diri yang selama ini tak kau sadari telah kehilangan kunci. Dibalik pintu itu praktis akan berdiri sesosok keyakinan yang sedang bersujud pada sebongkah kecil kehadiran. Cukup sampai disitu, kembalilah pada dunia dan mulailah menginjak-injakan kaki pada lembaran kitab suci yang belum kau tempuhi secara berarti. Kembalilah pada dirimu yang sejati, yaitu bertubuh dan berjiwa manusiawi, bukan adimanusiawi.

Malam pun berlalu, karena jadwal yang diberikan oleh Yang Sedang Bersembunyi  hanyalah sampai disitu.  Sebentar lagi ayam berkokok, muadzin kembali mengingatkan akan kekecilan dunia, membangunkan mata-mata yang terlelap disantap bayang-bayang hitam  tragis yang pernah terlihat di siang hari dalam episode mimpi. Tapi keterserahan dan kekhalifahan memberikan semacam pilihan, bangun atau terus mendengkur.  Pilihan yang sama-sama tidak berisiko dalam kacamata masing-masing pemilih.
***

Gelap yang hampir berganti sedikit demi sedikit dengan cahaya matahari, sehingga menimbulkan efek kekuning-kuningan yang ditaburi sedikit nuansa merah pada angkasa, melemparkanku kembali  pada dunia dan menetesinya dengan sedikit kesadaran manusiawi seperti semula. Dengan setetes kesadaran itu, benar belaka apa yang diucapkan Milan Kundera; “Manusia berfikir, Tuhan Ketawa.”.

Namun demikian, setetes kesadaran sudah cukup bagiku untuk mengenal lokasi keberadaanku saat itu. Semua kembali nyata dalam pengertian manusia. Aku tidak sedang tersadar dari jeratan astral yang menggeluti orang-orang okultis. Atau pula tidak sedang gagal menirukan alur-alur cerita yang tertera dalam kitap mutakhir Paulo Coelho –Veronica Decides To Die– alias gagal melakukan bunuh diri lantaran ingin lari dari rutinitas kaku duniawi.

Kemudian pencarianku ini bukan pula semacam adventurisme Peter Carey melintasi Malaysia, Indonesia, dan Australia hanya untuk menemukan beberapa kata konyol diatas kertas lusuh yang berbunyi “My Life Is a Fake”. Bukan seperti itu tujuanku sama sekali. Aku hanya sekedar memindahkan kesadaran mungilku ke langit untuk menemui Sang Maha Sadar,  lalu dengan cepat aku dilempar kembali ke kesadaran awal karena kesombongan mulai mengincar.

Akhirnya, aku pun mendapati malam sudah hampir berlalu, tapi masih menduduki motorku yang sedang berjalan dalam kecepatan 40 km/jam. Tiba-tiba adzan subuh membuat tangan kananku malas untuk terus memutar gas. Tak terasa perputaran waktu telah melingkari kita sebegitu pasti dan cepatnya, sesuatu yang indah seringkali berlalu sampai-sampai sedikit rasa tak rela menyelip disudut hatiku. Jelas kutepis sekuat tenaga, karena pelajaran utama yang kudapat setiap malam adalah menerima dengan besar jiwa segala sesuatu yang tak perlu kita campuri urusan keberadaannya. Tidak mencampuri karena jauh berada diluar kuasa kita sebagai manusia tentunya.

Dinginnya kawasan Dago samasekali tak menjadikanku sebagai musuhnya. Sampai subuh 4.20 pagi, semangatku untuk tetap berdekapan dengan malam tidak sedikitpun berubah. Motor kukemudikan dengan pelan sembari celingak-celinguk berusaha menemukan mesjid terdekat. Sesampai di Simpang Dago, aku teringat mesjid yang diapit-gang-gang tikus di Cisitu Baru. Aku berbelok. Suara adzan berakhir,  malam yang sedang menyambut pagi kembali disesaki oleh berbagai aktivitas duniawi. Apalagi daerah Simpang Dago adalah sebuah area pasar.

Tapi aku merasa tak terhalang menuju mesjid itu –“Ah, kalau tak salah namanya Mesjid Al-Falah.” Sekejap motor kuparkir di sebelah mesjid. Orang-orang berpakaian gamis cukup banyak yang berdatangan, tapi tidak seramai sholad Jumat. Tas dan jaketku gantung di kedua stang motor, lalu mencari tempat penyimpanan sepatu. Aku langsung ke tempat wudhu, dan kKembali segarnya air Dago, yang menyentuh rasa simpatiku. “Alhamdulillah”, ucapku pasrah. Pagi kubiarkan menjelang dan kemudian berlalu di Al-Falah.

Jam 7.30 pagi, saatnya mengalah pada rutinitas kantor. Aku sempatkan kembali ke tempat wudhu, mencuci muka, membasahi sedikit rambut, menuju samping mesjid tempat anak-anak kampung mengaji. Kusisir rambutku seadanya dengan lima jari tangan kanan sembari menatap wajah pada jendela kaca mesjid. Aku merasa aneh, atau mungkin asing, dengan bayangan wajah dipermukaan kaca itu.

Melotot semalaman mestinya membuat aku tampak kusut, urakan, dan rambut acak-acakan. Tapi tidak. Aku terlihat semakin segar, terasa sedikit muda, rambut yang leibh rapi dari pagi sebelumnya. “Sungguh aneh.”

Aku mengambil tas lalu melesat menuju tempat sepatu, lalu malu-malu kududuki motorku. Waktu sudah mendekati jam delapan, kuarahkan motor ke Jalan Dago, dan sekejap aku pun hadir kembali dipelataran parkir kantor, bertemu dengan Pak Supri.

“Walah Kang Raffy, seger banget pagi ini, rapi, ceria, tidak seperti biasanya, motornya juga mengkilap, habis dicuci ya?” Pak Supri memberondong pujian. Aku bingung, mungkin linglung, mungkin pula grogi. “Benarkah kaca jendela mesjid pagi tadi?” tanyaku berbisik ke diriku sendiri.

“Ah, biasa saja kok pak,” kusapa Pak Supri dan masuk ke pintu kantor. Kuhirup bau yang rada pengap, dan aku tiba-tiba Innerbeuty of The Night.