Antara Cinta dan Tulisan – Endang S. Sulistiya

Haris menggulung lengan kaosnya. Dengan satu tangan, dia angkat tutup mesin cuci, menjimpit celana dalam istrinya, lalu melemparnya cepat dengan dua ujung jari ke dalam ember hitam. Dia tak mau tangannya ternoda celana dalam itu, yang, gilanya lagi, selalu menjadi tumpukan teratas. Berputar-putar nyaris satu jam dalam mesin cuci  bersama kutang, handuk, baju, oblong, kaus kaki, dan sempak renang, akhirnya tetap saja celana dalam hitam istrinya yang terlempar paling atas. 

Memuakkan.

“Mas! Cepat ke sini!” panggilan nyaring yang membosankan, seperti dering ponsel monokrom kuno, memecah udara.

“Masih jemur pakaian!” seru Haris lantang bagai petugas upacara merapikan barisan namun langkahnya sendiri malah sengaja diperlambat. Baju-baju yang sudah nangkring di jemuran diambilnya lagi, ditaruh ke ember hitam, dan dikibaskan pelan-pelan satu persatu  sebelum digantung kembali.  Mengulang pekerjaan.

“Ya ampun! Dari tadi belum selesai juga!” bentak Rista yang tiba-tiba muncul di pintu belakang. Tangannya berkecak pinggang, matanya menikam. Bukan pelototan mata yang bulat penuh tapi sipit seperti ras Mongoloid. Dua bola matanya memiliki lubang-lubang kecil yang melempar anak-anak panah mini. Haris cepat menghindar dari sorot mata itu.

 Takut dan jijik.

“Ada apa?” ujar Haris seraya memutar tubuh yang tadi refleks berbalik karena terkejut. Membelakangi istrinya lagi, dia tak mau lubang-lubang kecil di mata sipit itu terbawa ke  mimpinya.

“Antam ngompol di ruang tamu. Kamu pel dulu sana! Sebentar lagi teman-temanku mau datang.” Rista hampir mencabut tangannya yang tertancap di pinggang yang berombak lemak. Tak ada suara Haris, juga tak ada anggukan kepala. Rista menekan  kedua tangan ke pinggangnya.  

“Kenapa diam? Tidak mau?” Kali ini Rista membungkukkan badan. Haris tak melirik, takut menemui lubang-lubang kecil itu. 

“Antam ngompol terus juga gara-gara kamu. Uang belanja nggak  cukup buat beli diapers. Kondisi susah begini, bukannya kerja tambah giat, malah malas-malasan,” omel bibir mungil Rista, tetap nyaring dan tetap membosankan. 

Kawan-kawan Haris yang pernah menonton live pertunjukan harian ‘Ratu’ Rista, berkomentar Rista imut, lucu, dan mengemaskan. Tubuhnya tidak tinggi dan tidak pendek, tidak kerempeng dan tidak montok, tidak cantik dan tidak juga jelek, tapi cukup menyimpan receh-receh yang sangat didambakan kaum adam. 

Sekali waktu pernah ada Rista yang periang, mudah bergaul, asyik ngobrol, dan selalu pas milih pakaian, yang melelehkan hati Haris. 

Itu dulu. 

Sekarang? 

Haris belum yakin betul walau ada rasa yang menyusut terus, hari demi hari.  Rista yang kini adalah yang pemarah, yang setiap detik selalu berubah menjadi lebih pemarah. “Dan lubang-lubang kecil di mata itu…” gumam Haris amat pelan. 

Namun suara yang terlempar ke luar dari mulutnya berbeda, ”Sudah selesai. Aku  pel sekarang,” sambil memungkasi lamunan, omelan istri, dan jemuran. Terganti dengan pel, ember, air kencing, dan lamunan lain. 

Mengapa dia pernah bersikukuh harus punya anak laki-laki? Tiga anak perempuan cantik, jadi bukan cuma yang sedang-sedang seperti Rista, ternyata belum memuaskan. Saat itu dia memang gemar menikmati erangan istrinya di ranjang yang empuk pada masa-masa puncak kesuburan dan menunggu-nunggu kejutan susulan. Perempuan atau laki? Mirip siapa? Mancung atau pesek? Belok atau sipit? 

Dia pun riang kedatangan anak perempuan keempat hasil kerja nikmatnya, yang sama cantik dengan tiga perempuan kecil lainnya. Dan dia masih punya kesempatan. Anak kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, dan seterusnya sampai anak laki-lakinya kelak lahir walau, dia yakin, cantik atau ganteng adalah karunia Tuhan yang harus dihargai. 

Tapi pandemi datang, ikut memukul Haris: mendadak tak ingin punya anak laki-laki lagi.

Pandemi yang juga memukul banyak usaha, termasuk penerbit, surat kabar, dan media daring. Haris pun terpukul dua kali. Proyeknya banyak yang tertunda,  naskah buku terbarunya ditolak, royalti pelan-pelan menipis sampai akhirnya macet, dan honor tulisan, kalaupun ada, menurun drastis. Maka uang belanja untuk istrinya anjlok. 

Datanglah pukulan ketiga. Istrinya cemberut, marah, dan mengerang keras bertubi-tubi justru sedang tidak di atas tempat tidur. Musnah sudah daya tarik Rista dan seleranya menguap, bersamaan dengan menghilangnya daya juangnya. Itulah rantai korelasinya: tak perlu anak laki-laki. 

“Mas sudah mengepelnya! Teman-temanku sudah dekat. Sana bawa anak-anak keluar.,” pekik Rista menenggelamkan perahu memori Haris. 

“Kami di rumah saja. Aku harus menulis. Biar dapat uang.”

“Menulisnya nanti-nanti saja,” buru-buru Rista menggiring suami dan keempat anaknya ke pintu. Lima buah masker biru dimasukkan ke dalam kantong Haris.

Anak keempat digendong Haris di depan. Pertama dan kedua berjalan bergandengan tangan di depan, sedangkan yang ketiga berpegangan pada kantong celana Haris. Mereka melangkah menuju taman. Tak lupa mereka memakai masker. 

Tapi benaknya berlari pulang kembali ke rumah, ingin menulis, bukan untuk uang tapi untuk email, yang sudah tertunda sejak pagi tadi. 

Email untuk Denik, yang pernah ikut kelas menulisnya, tiga tahun lalu.

Terkenang lagi wajah Denik yang tersipu malu menurunkan masker ketika mereka bertemu di taman, usai kelas menulis itu. Dia nikmati juga kenangan dua rona merah yang  mempesona terbit di pipinya. Tak lupa dia nikmati jantungnya sendiri yang berdebar kencang, dulu ketika bertemu Denik dan sekarang ketika berjalan ke taman bersama keempat anaknya.

Tiga tahun sudah mereka berdua saling menulis cinta, lewat email, WA, atau telepon walau tak pernah lagi langsung lewat mulut masing-masing di dunia nyata tempat keduanya berpijak. Denik, muridnya yang pintar dan cantik itu, sudah menjadi penulis terkenal, menjadi saingannya namun sekaligus tetap menjadi muridnya yang setia, yang selalu menyisipkan pertanyaan tentang apa saja di ujung ujaran-ujaran cintanya. Pertanyaan-pertanyaan yang butuh jawab panjang, maupun yang amat singkat, tentang email editor-editor media yang dia kenal. Dan Denik selalu sibuk, tak punya waktu sekejap pun untuk bertemu lagi, sejak saling menyapa  di taman usai kelas menulis dulu.  

Tadi pagi, sebelum mencuci, ada email Denik, bertanya tentang konspirasi, setelah menyebar kata-kata cinta, seperti biasanya. 

“Menurut bapak, konspirasi itu apa?”

Sambil menjemur tumpukan pakaian, termasuk celana dalam istirnya yang memuakkan itu, dia sudah menyiapkan jawabannya.

“Konspirasi itu adalah imajinasi. Bagaimana seseorang yang tidak cukup kemampuan, sedikit ilmu, kurang percaya diri dan telah putus asa, mencoba membuktikan bahwa yang benar adalah pendapat darinya.”

Ada empat pertanyaan Denik lainnya, yang belum dia siapkan jawabannya tapi, seperti biasa, kelak akan mengalir setelah nafas-nafas cinta dihembuskan. 

Malam itu, ketika istri dan keempat anaknya tertidur lelap, dia menulis perlahan-lahan. Bukan artikel untuk uang -seperti alasan kepada istrinya pagi tadi- tapi jawaban untuk Denik. Usai menulis panjang dan lengkap, dia baca sekali lagi, juga perlahan-lahan, sebelum memencet ‘Kirim’ dan barulah dia lanjutkan tulisannya yang sudah tertunda sejak kemarin, dengan amat serius dan terselesaikan ketika adzan subuh terdengar. 

Selang dua hari, artikel ringan Denik tentang konspirasi dimuat di media daring. Artikel yang persis sama dengan jawabannya untuk Denik,  sedang tulisannya, yang dia kirim ke media daring yang sama, tidak dimuat walau sembilan hari sudah berlalu, ketika email baru dari Denik masuk ke inbox-nya, berjudul ‘Apa kabar sayangku?’. 
***

Endang Sri Sulistiya, lahir dan besar di Boyolali, menuntaskan studi Administrasi Negara dari FISIP UNS. Sempat bertahun-tahun bekerja di pabrik hingga memutuskan membuka usaha sendiri. Beberapa cerpen sudah berjodoh dengan media dengan nama pena Lara Ahmad/Endang Sulistiya.