Teheran Dalam Stoples

. Paris
Sebelas bulan kemudian aku berangkat menuju Paris. Aku belajar di salah satu universitas terkemuka di bidang seni di La Cote Des Beux Art. Lima belas tahun aku meninggalkan Teheran, delapan tahun aku meninggalkan Kediri dan diantara penantianku, ternyata hanya lima tahun dari dua puluh lima tahun umurku yang selalu berkenang.

Bukan saat-saat bersama kakek nenek, atau saat-saat SMP, SMA maupun saat bertemu Khasan, melainkan lima tahun saat aku masih kecil: ketika aku memandang bahwa dunia sangatlah indah.

Aku menaikkan kedua kakiku di malam buta di musim panas, ketika daun-daun dengan bugarnya menampakan gairah akan kehidupan. Di sana, diatas balkon apartemenku, aku sebarkan remah roti agar burung-burung merpati mau mampir. Hanya melihat mereka memakan yang kami sebarkan saja aku sudah mendapat hiburan.

Aku bisa menghibur mereka ketika bosan, entah itu bosan dengan ruang gelapku atau bosan ketika aku mencari ide atau bosan mengumpulkan banyak foto. Menyusun kata-kata, foto-foto, mengabungkan keduanya dan yang terakhir adalah harus menjilitnya dan mencetaknya.

Hasilnya adalah sebperti sebuah buku yang hanya dimakan saat hangat dan entah di mana ketika dingin. La famille, majalah kosmopolitan yang menyajikan gaya hidup. Setiap dua minggu sekali aku -dan keempat temanku dalam sub-bagian kreatif harus kerja keras mencari ide.

Terlepas dari semua yang aku peroleh, aku merasa kalau hidupku tidaklah sempurna.

Aku masih suka melamunkan hal yang tak berguna padahal hidup di tengah kota yang mendapat predikat salah satu kota terindah dunia. Apa lagi yang harus aku cari sebagai diriku.

Aku tinggal di jalanan utama kota Paris yang memiliki trotoar terluas di dunia, Champs-elysées: jalanan yang dipenuhi dengan butik dan juga puat perbelanjaan. Dengan hanya mengangkat tubuhku, melongok ke arah selatan aku bisa melihat menara Eifel dan juga monumen kemenangan Arc de Triomphe. Orang-orang dari seluruh dunia menempuh perjalanan ribian kilometer untuk bisa menyaksikan keduanya, dan aku cukup bangkit berdiri dari tempat tidur atau sofa untuk melihatnya.

Aku juga dengan mudahnya bisa berjalan-jalan di sepanjang sungai Seinem, melintasi air mancur St. Michell, menikmati panasnya matahar dari samping kanal St. Martin. Hidupku mestinya terasa sempurna, namun aku tak merasakan seperti itu.

Seperti hari ini, sepulang kerja aku hanya mengangkat kedua kakiku di atas sofaku dan membuka candela lebar-lebar sambil melihat burung merpati yang dipikirannya hanya bisa melakukan yang sudah ditakdirkan. Merpati tak pernah meminta yang lebih dan juga tak pernah meminta yang tak mungkin. Ia sadar benar dengan yang ia dapat dan senantiasa selalu bersyukur.

Aku memainkan gelas cangkir porselenku sambil menunggu ibu. Aku menunggu telepon ibu dan ia akan dengan senang hati bercerita tentang yang harus aku lakukan dan berita tentang kampung halaman yang selalu terdengar menyenangkan, sekaligus mengantarkanku kepada kenangan di Teheran lalu.

Tentang musim semi Teheran yang menyentuh kuncup-kuncup dan menjadi semarak bermerkaran. Siang hari mulai terasa lebih panjang, sedangkan malam terasa menyusut. Pohon apricot mulai siap dipanen sedang pohon persik masih dengan buah yang kemerahan. Kami terjebak di musim yang indah. Diantara apricot, persik, dan pohon fig tua keluarga Khan.

Dua langkah kemudian, seorang anak laki-laki dengan wajah yang lebar memberikanku beberapa butir biji dari pohon fig. Ia menyuruhku untuk menyimpannya. Setelah dikira tak ada lagi yang unik kami berenam duduk di bawah pohon fig tua sambil melihat awan. Kakiku yang berbalut kaos kaki putih dengan sepatu perempuan berhak, kugoyang-goyang. Bayangan terbentuk di ujungnya, ia tersenyum dan itu aku. Senyumku yang aku rindukan.

“Apa awan yang aku lihat ini sama dengan awan yang akan kau lihat Leila?” tanya gadis berkerudung mungil.
“Ya,” kataku dengan bangga namun segera terhenti ketika aku merasa tak yakin, “Mungkin namun aku tak tahu. Tapi jika aku sudah ke sana kelak akan aku ceritakan padamu.”
‘Kapan kau ceritakan pada kami?’ tanya sebuah mata tanpa suara dan hanya tatapan padaku.
“Saat aku kembali ke sini.” Kataku.
“Kapan itu?” tanya Faris.
“Aku tak tahu. Pokoknya aku akan ceritakan pada kalian.”

Sebenarnya aku tak tahu sama sekali kapan aku kembali namun batinku sangat yakin kalau kami akan segera kembali. Kami akan kembali ke Teheran, itu bisa aku pastikan.

Tercium aroma masakan. Kami berlarian menuju dapur rumah Khan itu. Kami berenam melihat seorang nenek tua yang sedang memasak. Ia berkomat-kamit dan aku sangat asyik melihatnya. Aku tak takut karena itu hal yang biasa. Nenek Faris sedang memiliki nadzar.

Orang Iran akan membagi berkah jiga nadzarnya tekabul. Biasanya dengan berbagi makanan, permen, atau yang lainnya. Wanita berambut cahaya putih dengan sedkit kemilau itu mengucapkann nadzarnya ketika masak agar asap yang membumbung di langit menggemakan kalimat yang diucapkan hingga bisa terdengar Tuhan di surga atas sana.

Kami berenam bersembunyi di bawah cendela sebelah luar dapur, mendengar dan menyaksikan Nenek Faris yang sedang menyiapakan nadzarnya.

“Nenekmu bukan nenek sihirkan?” tanyaku sambil melihat Ali yang tersenyum.
“Bukan.” kata Faris.
“Tapi ia sungguh mirip nenek sihir,” kataku. “Ayo kita lihat sekali lagi. Nenek sihir punya rambut beruban, lalu senang memakai pakaian hitam, berhidung mancung, bermuka keriput dan juga bermata tajam. Bulu matanya selalu rapi dan ia suka melakukan guna-guna.”

Ketiga anak keluarga Khan berdiri, memandangi dengan seksama wajah wanita tua itu. Mereka berpikir dan juga menyamakan yang mereka lihat dengan yang aku katakan sebelumnya. Khafsah ikut berdiri. Walau ia tak ikut menonton film yang bercerita tentang nenek sihir, ia seolah tahu dengan benar dan yakin tentang ciri-ciri nenek sihir yang kujelaskan.

Wanita tua itu memang memiliki kriteria nenek sihir. Wajah keriput, rambut putih bercahaya, hidungnya mancung, bulu mata dan juga alis yang terrawat, mata hijau yang tajam dan komat-kamitnyaplus spatula serta kuali yang mengeluarkan asap tebal. Ketiga anak khan kembali duduk dengan wajah yang pucat. Mereka seperti mengetahui kebenaran dengan keyakinan yang kuat. Tubuhnya bergetar, giginya menggigil dan juga kepiluan yang sangat.

“Kau benar,”kKata Jalaluddin.
“Kalau ia nenek sihir maka ia jahatkan?” lanjutnya sambil melihatku.
“Aku tak tahu, mungkin.” Aku menganggat tanganku kedagunya dan mulai membuatnya takut.
“Pantas aja aku memiliki rambut kriwu. Jangan-jangan aku adalah seorang pangeran yang tampan dulunya lalu disihir,” kata faris.

Faris memang tak pernah puas dengan rambutnya. Setiap bulannya ia harus bercukur agar rambut kriwulnya bisa masuk ke dalam topinya. Ibunya sudah melakukan banyak hal untuk mengubah rambutnya, namun tak ada hasilnya.

“Ah… kalau itu tak mungkin. Mana ada pangeran yang suka menjahili anak lain,” kata Khafsah sambil batuk. Khafsah sudah sakit-sakitan sejak dua bulan lalu. Tubuhnya makin kurus namun ia berupaya melupakannya. Ia dan kami sudah terlalu asyik dengan dunia kami.

“Aiapa tahu kan?” bantahnya.
“Aku mau menanyakanny,.” tegas Ma’arif sambil berdiri.

Dia berdiri, menantang wajah wanita tua yang berchadar dan sedikit mendekatkan bahunya.
“Kau bukan nenek sihirkan?”

Wajah keriput dan juga mata yang dalam dan kosong melihat kami. Ia melirik kami dan sedikit menyondongkan bahunya. Mengacungkan spatula kayunya dan meminta kami pergi. Ia menganggap kami sebagai penganggu. Selalu seperti itu.

Kami berlari dan tertawa terpingkal-pingkal. Seolah kemarahan wanita tua itu adalah hiburan.

Hiburan yang juga ada di Sibab Sinema, bioskop yang ada di ujung blok. Waktu itu ada sebuah film yang menayangkan tentang putri salju buatan inggris dengan adegan seorang nenek sihir sedang meramu obat sambil bergumam. Nenek itu mengucapkan mantra dan mengacungkan spatula ketika sekumpulan serangga mendekatinya.

Adegan itu membuat kami anak kecil tertawa terpingkal-pingkal karena nenek sihir itu sempat terjatuh. Ia terjatuh karena mengurusi hal yang tak penting. Kami berlima, selain Khafsah, masih mengingatnya dengan baik.

Saat itu Faris berteriak, “Dasar nenek tua yang aneh.” Itu yang ia ucapkan. Aku meliriknya dan tangan Ali memegang tanganku. Aku menutupi kedua telinga bonekaku itu dari kata-kata kasar yang diucapkan ketiga khan kecil. Suara bioskop riuh dengan komentar pedas yang membuat kami anak kecil asing merasah risih. Saat itu ingin rasanya aku dan juga Ali ke luar.

Lapp… satu kilatan sinar langsung mengubah sebuah latar menjadi hitam. Dan musnah sudah Sebuah latar indah dan juga menyenangkan untuk dikenang.

Aku membuka mataku. Kulihat temanku Jane -adalah seorang desainer baju- datang. Dia mengubah satu ruangan menjadi lemari pakaiannnya. Ia juga sering menjadikan aku objek percobaannya. Kami sudah berteman selama enam tahun dan aku senang biwa berteman dengannya.

“Selamat malam,pukul berapa anda selesai?” kusapa dia.
“Saya selesai pukul 16.30,” katanya sambil mengambil cangkir dan mulai menyeduh kopi.

Keesokan paginya, sehari setelah lompatan kenanganku ke Teheran itu, aku membeli roti ke warung dekat tempat tinggalku.

Aku berjalan menelusuri toko-toko, rumah mode dan juga barisan cemara yang ditanam di sepanjang jalanan champs Ellysées. Jalanan panjang yang tiada ujung. Jalanan yang berlatarkan aspal bukan bata, sebuah jalanan yang sengaja dipagari dengan aneka kemewewahan.

Aku membuka candela disebelah dapur. Jane sedang membaca majalah Elle dan tersenyum saat melihatku memasukan bahan makanan di kulkas. Aku memotong roti bougette, membelahnya memanjang. Aku lumuri dengan minyak zaitun dan kusebar dengan parutan keju mozzarella lalu aku panggang. Menunggu matang seperti biasa aku menyeduh kopi. Aku terdiam dengan pikiran entah ke mana. Tak tahu ujungnya dan juga tak tahu pangkalnya. Ingin sekali aku bertemu dengan banyak hal yang aku pikirkan namun sayangnya aku sama sekali tak tahu yang aku pikirkan.

Rasanya hatiku kosong. Hatiku selalu merasa ada yang kurang. Rasa yang kualami saat bertemu dengan kakek dan nenek untuk pertama kalinya. Aku takut dan aku tak yakin. Mimpi yang aku rajut bukanlah seperti itu.

Aku membayangkan banyak hal kehangatan dan juga kasih sayang. Sayangnya walau mereka sudah melakukan yang seharusnya mereka lakukan, tetap saja aku tak pernah puas. Aku terlalu serakah hingga tak pernah puas.

Aku iri dengan diriku yang berusia lima tahun, ketika masih di Teheran. Aku lebih suka jika aku bisa kembali ke masa usia lima tahun itu. Aku iri ketika bahwa aku bisa dengan bebasnya berlarian di antara embargo Amerika Serkat atas Iran, perang teluk, dan juga krisis politik. Tak ada yang bisa menyentuh kehidupan kami saat itu. Tak ada yang bisa memisahkan tawa dan juga pertemanan kami.

Roti panggangku matang. Aku tambahkan irisan tomat dan ikan salmon goreng lalu selada. Aku tumpuk membentuk sandwich dan aku taruh dalam dua piring. Aku menyajikannya dan Jane duduk, siap menyantapnya. Ia gadis yang baik walau tergolong sagat dingin bagi orang asing. Dia memiliki wajah yang sempurna dengan garis wajah yang simetris. Semua yang ia pakai selalu pas dan tampak indah. Dia memang benar orang Prancis tulen. Dia adalah orang pertama yang tahu apa yang pantas untukku dan juga tidak. Ia juga selalu menyatakan perasaannya secara terbuka.
“Nanti sore kau makan apa?” tanyanya sambil mengunyah masakanku.
“Terserah kau saja.”
“Kau baik-baik saja kan? Aku lihat kau sering tak fokus akhir-akhir ini. Dan satu hal lagi,” tambahnya sambil mengacungkan tangannya yang penuh dengan potongan sandwich, “Jangan terlalu banyak melamun, kau akan cepat tua karena wajahmu menjadi kusam.”
“Benarkah?” tanggapku tak terlalu bersemangat seolah aku tak keberatan jika wajahku mennadi kusam.
“Tadi ibumu menelpon, katanya kiriman akan datang dua hari lagi.”
“Kiriman? Aku tak meminta apapun. Kira-kira apa ya?”
“Dia kan ibumu, mana kau tahu?” kata Jane sambil menghiruo jus lemonnya, lalu berangkat kerja.

Klik…, nada terakhir dari pintu yang tertutup.

Aku kembali terdiam dan merasakan amat akbar dengan suara itu. Bukan karena sudah lima tahun aku menghuni apartemen ini melainkan aku pernah mendengar bunyi itu sebelumnya.

Kketika itu bukan ibu atau ayah yang datang, melainkan Ali yang masuk ke kamarku. Ia menunjukan kreasi bayangan yang ia bentuk. Kali ini bayangan kepala bebek yang terbuka.

Tangannya yang panjang sangat piawai memainkan jemarinya. Sinar rembulan membuat bayangan itu tampak hidup dan juga sempurnya. Ia memainkannya di dekat candela sehingga bayangannya terpantul di sekitar tembok dan juga pintu kamar. Ia tersenyum saat aku bertanya apa itu. Dia tak menjawab, begitulah dia memang selalu.
“Ayam?” ia menggelengkan kepala.
“Flaminggo,” Kali ini ia tersenyum sambil tetap menggelengkan kepalanya.
“Aku yakin kali ini aku benar. Bebek kan?”

Ia menutup matanya dan mukanya memerah.

Tebakanku benar, aku turun dari ranjangku. Kami menyalakan lampu tidurku dan sinar oranye yang menyebar. Kali ini kami akan bermain bayangan menggunakan bayangan lampu. Dia duduk di sisi ranjangku dan kami memainkan jemari. Kami mainkan mahluk Tuhan dalam gerakan mungil kami. Milikku tak sesempurna milik Ali. Jarinya cukup sempurna untuk ukuran manusia. Jari dewa cukup pantas menyebut jari jemari Ali.

‘Ali, jika kau besar kau mau jadi apa?” tanyaku sambil mendekatkan bayangan bebekku ke bayangannya. Dia menegadahkan wajahnya ke langit-langit. Lalu ia teringat sesuatu dan berdiri. Ia menarik tanganku. Aku berjalan mengikutinya. Dia berjalan menuju ruang baca. Ia ambil buku dengan judul A Doktor. Dia membuka halaman demi halaman dengan rangkaian huruf itu dan berhenti di sebuah halaman yang berisi gambar seorang dokter dengan stetoskop. Ia tersenyum dan menoleh padaku.

“Kau mau jadi ini?” aku menunjuk gambar itu. “Kau harus sekolah dulu jika kau mau jadi dokter namun sayangnya semua dokter harus bisa bicara. Ntar kalau ada pasien yang sakit kau memberi tahunya. Kalau kau belajar dan guru bertanya, kau akan jawab dengan apa. Kalau kau mendiskripsikan penyakit dan juga bertanya pada pasien, kau lakukan dengan apa?”

Ia terdiam seolah tahu kalau hal itu tak mungkin ia lakukan. Ia tak mau bicara maka tak ada sekolah yang bisa menerimanya. Bukankah di Teheran sekolah itu masih belum ada. Kasihan Ali, aku menutup buku itu dan aku mengembalikannya. Kami mematikan lampu dan kami duduk di sofa dekat candela.

“Ali, kapan kau akan berbicara. Bukankah kau harus bicara. Aku ingin kau bicara sebelum aku pergi.”

Aku sedih jika melihat Ali. Jidatnya masih meninggalkan sisa luka karena insiden di ayuanan. Aku menyentuh jidatnya, dengan penuh perasaan. Rasanya sama seperti bagian yang lain namun tak enak untuk dipandang. Aku menutupnya dengan poni rambutnya. Aku ingin Ali memiliki wajah seperti tanpa luka. Wajah tanpa luka kecil yang sangat menyiksa batinku. Luka itulah yang selalu mengingatkan aku akan betapa sakit hatinya. Dan akulah yang menyebabkan itu.

“Ali, jika aku kembali ke Teheran lagi apa yang akan kau lakukan dan kau akan jadi apa?’’

Dia menggelengkan kepalanya dan terdiam. Ia tak tahu jawaban atas pertanyaanku. Matanya menunjukan kebingungan. Aku terdiam dan menjulurkan kakiku.

“Jadilah apa yang kau mau, agar aku tenang meninggalkanmu dan agar aku bangga padamu.”

Ia tersenyum, seperti senyumku saat ini saat mengingat yang kukatakan padanya.

Aku berdiri dan mengambil tasku, berjalan menuju kantorku.

Aku berjalan dengan senyuman pada diriku yang konyol. Aku tak percaya saat usiaku baru hampir sembilan tahun namun aku sudah bisa berbicara demikian. Aku berbicara kepada pemuda yang tak mau bicara. Aku berbicara seolah-olah ia mengerti yang aku katakan.

Jadilah apa yang kau mau, agar aku tenang meninggalkanmu dan agar aku bangga padamu. Itu adalah kata-kata bijak yang aku ingat. Kata yang terucap saat aku sebenarnya masih terlalu kecil untuk mengatakannya.
***
bersambung