Suatu Pagi di Kantin Sekolah

Ketika arloji saya menunjukkan pukul 07.10 WIB, saya baru saja mengantar Hakim, anak saya kle sekolah. Saya tak langsung pulang kali itu. Sebab Hakim, masih minta ditunggu, karena  hari itu kali pertama dia masuk Sekolah Dasar (SD). Mengisi kekosongan, sembari menunggu Hakim, saya kemudian menyempatkan mampir di kantin sekolah. Hitung-hitung berkenalan dengan wali murid yang baru. Lokasinya hanya berjarak 10 meter dari pagar sekolah.

Saya kemudian berbaur dengan ibu-ibu yang juga wali murid di tempat anak saya sekolah.

Sebagai wali murid baru, kali itu saya hanya kenal beberapa orang. Diantara mereka, ada wali murid yang pernah saya kenal saat di Taman Kanak-Kanak. Sebagian lagi, wali murid yang baru saya kenal.

“Bi, aku bayarnya besok ya, sebab suamiku hari ini belum kasih duit sama aku,” ujar seorang perempuan tanpa malu-malu. Sesekali mata perempuan itu bertatap dengan saya. Sepertinya dia tahu kalau saya orang baru di sekolah itu. Hanya dua atau tiga detik mata saya bertatapan.

Setelah itu, beralih pada Bibi penunggu kantin yang spontan menyahuti ujaran perempuan itu.

“Ai, Ren, kau ini ngutang terus. Kalau minta duit suami jangan pas untuk anak kau bae, kau itu harus minta lebih. Jadi setiap kau jajan idak ngutang tiap hari!” ujar Bibi penunggu warung setengah menasihati. Pagi itu saya baru tahu kalau ternyata perempuan bernama Reni.

Kalau saya lihat usianya masih relatif muda. Sebab melihat dandanannya agak modis. Saya menerka umurnya baru 28 tahun. Itu seusia saya saat saya sudah punya anak pertama. Tapi saya tidak bisa memastikan berapa umurnya, karena saya baru bertemu sekali pagi itu.

“Jadi kau kapan nak bayar utang yang kemarin, Ren?” Bibi penunggu kantin sepertinya sudah hafal dengan gaya Reni dalam urusan jajan di kantinnya.

“Minta bayari samo Bu Pri bae Ren. Dio tu wong kayo,” ujar Nadia, seorang wali murid yang kenal dengan saya. Nadia adalah wali murid yang dekat dengan saya, sejak Hakim masih duduk di sekolah TK. Jadi wajar kalau kali itu Nadia tidak canggung meledek saya.

“Amiin, Nadia. Semoga itu doa,” saya hanya mengaminkan seloroh Nadia. Untuk kali sekian, satu detik mata saya kembali bertatap dengan Reni. Tapi saya kemudian melempar pandangan ke beberapa potong kue. Saya tidak ingin Reni menganggap ujaran Nadia itu serius.

Toh masalah kaya dan miskin hanya di dalam perspektif kita. Kata Dasril, teman akrab saya, kaya dan miskin  itu hanya sebutan. Saat kita menyebut dan melihat diri kaya, maka kitalah orang kaya. Tapi sebaliknya, kala kita melihat diri kita miskin, maka saat itulah kita menjadi miskin. Pesan suami saya : kalau kita mengaku miskin sama halnya kita sedang mengukur kekayaan Allah Swt, yang sudah mengaruniai langit dan bumi serta isinya dengan gratis.

“Cak mano aku nak minta lebih, Bi. Duit belanjo bae dibatasi. Cukup dak cukup sekian. Macem hari ini, aku cuma dikasih duit jajan tiga ribu. Itu bae untuk anak aku. Kato suami aku, kalau sudah dapat duit ngojek, dio nak kesini lagi ngasih duit samo aku,” ujar Reni membuka aurat keluarganya.

 “Jadi cak mano duit masak, Ren?” Nadia terpancing.
“Yo, sesuai pemberian laki kito. Kalau duitnyo agak banyak, lauknyo agak bagus. Ikan, telok atau ayam. Tapi kalau duitnyo dikit secukupnya bae,” ujar Reni.
“Suami kau dak marah?” tanya yang lain.
“Nak marah-marahlah. Kan duitnyo dikit,” tukas Reni tanpa beban.
“Pernah laki aku ngaseh duit dikit. E, dio minta lauk ayam,” kisah Reni.
“Terus apo kato kamu, Ren?” yang lain penasaran.
“Kau goreng bae barang kau itu kak untuk lauk! Berapo nian kau ngasih duit samo aku! Nak ayam pulok! Nah, belanjolah dewek, mangko kamu tahu berapo hargo ayam!” ujar Reni dengan mengekspresikan kekesalannya pada suamimya ketika itu.
“Berani nian kau Ren dengan laki!” ujar Nadia agak terkejut.
“Yo, cak mano. Makonyo aku ni maseh cari caro, cak mano nian mangko suami aku pacak ngasih duit agak lebih,” reni melempar pertanyaan.
“Ado, Bu caronyo,” kata saya menimpali. Mata Reni dan sebagian ibu-ibu seketika tertuju pada saya.

Sebenarnya saya hanya ingin berseloroh. Tapi sepertinya sebagian mata ibu di kantin itu serius.

“Cak mano Bu?” sepertinya ibu yang lain ingin tahu. Atau mungkin sekadar memancing.

Saya tak paham batin apalagi niat mereka apa pagi itu. Ini adalah cara saya untuk mengenalkan diri pada mereka. Kali itu seolah saya mendapat panggung. Saya harus nimbrung menari diatasnya. Saya tidak bisa terus menerus diam. Batin saya berbisik.

“Iyo Bu, kalu bae biso dicubo?” Reni makin penasaran.

“Sebelum berhubungan, minta dulu sama suami. Kalau deal baru dikasih jatah, kalau tidak, suruh suami tidur di luar kamar,” kata saya sekenanya.

Kali itu saya sengaja memancing suasana supaya ramai. Sekaligus untuk sosialisasi saya sebagai warga baru di komplek itu. Tepat dugaan saya, gelak tawa mereka pun meningkahi doa murid-murid sekolah yang terdengar samar.

“Aih, Bu aku ni bukan lonte!” ujar Reni. “Kalau dengan bebayaran cak itu itu samo bae aku ni jadi lontenya suami aku!” Reni setengah tidak menerima.
“Tapi bener nian kato Bu Pri! Aku jugo mak itu,” ujar Bu Wati yang sedari awal hanya diam. Tapi akhirnya terpancing juga.

“Sebelum berhubungan, aku minta duit samo suami seperlunyo aku. Buat jajan, anak, jajan aku dan belanjo. Kadang-kadang aku minta lebih. Alhamdulillah dikasih terus samo suami aku,” Bu Wati tak tahan membuka aibnya.
“Jadi, setiap kali nak berhubungan, tawar menawar dulu?” Nadia penasaran.
“Dak mesti tawar menawar. Tapi kito kan pasti tahu kapan suami nak minta jatah. Laki kito itu kalau lagi kangen, pasti bekusel bae dengan kito. Tapi kalau lagi idak butuh, dio milih teduk di depan tivi dari pado teduk dengan kito. Tapi kalau lagi pengen, sejak kito masuk kamar la didekatinyo terus,” ujar Bu Wati tanpa malu-malu.

Sebagian ibu-ibu tertawa. Diantara mereka ada yang hanya tersipu. Mungkin ada diantara mereka yang juga melakukan hal serupa. Hanya saja pagi itu tidak mau menceritakannya. Kali itu pancing saya seolah mendapat ikan paus meski umpannya hanya ikan asin murahan.

“Jadi kapan minta duitnyo, Bu,” Reni makin penasaran.

“Cari waktu yang tepat. Pokoknyo jangan dulu dibuka sebelum ado deal,” tegas Bu Wati.

“Nah, kito kan biso menerka kapan suami kito benar-benar sudah on tau belum. Nah, saat itu tangan kito dibuka. Omongke be samo laki kito: Mano jatah duit untuk aku. Kasihke dulu duit, baru kito becinto,” Bu Wati menjelaskan secara teknis. Bu Wati sepertinya benar-benar menjalani proses itu sehingga dia menjelaskan sangat detil. Tapi saya tidak etis kalau harus
menuangkan semua kisah Bu Wati dengan suaminya saat dia meminya uang di
ranjang.

“Kalau suami nolak?” Nadia juga ingin tahu.

“Jangan dikasih, Bu! Kita pada posisi bertahan,” tegas Bu Wati.

Semua tertawa. Saya hanya ikut tersipu.

Ternyata ada sebuah keluarga yang menerapkan manajemen lokalisasi di ranjang meskipun suami isteri. Naudzubillahi min dzaalik. Batinku berbisik.

“Tapi sejauh pengalaman aku, dalam kondisi kangen yang sudah memuncak, laki kito dak mungkin nak mbatalke di ranjang. Pasti duit dikaseh tulah. Laki-laki itu, mayoritas tidak bisa menahan untuk hal yang satu itu. Kalu perempuan lebih bisa menahan diri,” ujarnya.

“Tapi kesannya kito ini jadi lonte suami kito!” ujar yang lain.

“Cak mano, Bu Pri. Kamu tadi yang melempar tapi dari tadi kamu diem bae,” Nadia minta tanggapan saya tentang hal itu. Seolah dia minta pertanggungjawaban saya.

“Mohon maaf Bu. Aku ndak biso ngomong soal itu. Sebab suami aku tidak seperti itu,” saya mengelak. “Kapan bae butuh aku siap. Atau sebaliknya, kalau aku yang butuh, suami aku jugo siap. Soal duit, semua diserahkan samo aku,” kata saya.

“Ai, lemak nian laki kamu, Bu,” sergah yang lain.

“Nah, cubolah Ren. Gek malam pakai cari Bu Wati,” Nadia mendesak Reni. Semua tertawa.

Wajah Reni agak memerah. Ada perasaan malu. Melihat sorot matanya, di balik jantungnya setengah ada penyesalan : mengapa urusan keluarganya dibuka di kantin sekolah pagi itu. Tapi pagi itu Reni tak bisa lagi menutup aurat keluarganya.

“Aku dak galak, ah! Kesannyao aku jadi lonte!” Reni tak menerima.

“Itu hanya istilah Ren. Ado salah satu ustadzah yang ngomong, semua isteri memang harus jadi WTS bagi suaminya,” Bu Wati menguitp kalimat seorang mubalighah.

“Ah, Bu. Yang bener bae, Bu!” kata saya menimpali.

Sebelumnya kalimat serupa juga pernah saya dengar dari salah satu ustadz di Palembang. Tapi apapun alasannya, saya tidak menerima argumentasi itu. Sebab bagaimana mungkin pasangan sah secara agama dan negara, kemudian mengaku diri kita sebagai WTS? Meski itu bagi suaminya sendiri. Jangankan itu, membayangkan orang lain saat berhubungan intim saja hukumnya berzina, apatah lagi mengaku WTS? Itu tidak bisa,” Batinku berontak.

“Maksudnyo kito ini harus bejualan cak WTS?” tanya Nadia.

“Bukan cak itu, Nad. Kata ustadzah, dalam al-quran disebut : isterimu adalah ladang bagi kamu. Maksudnyo bagi suami kito. Kalau namonyo ladang, kato Ustadzah, nak dicangkul dari mano bae terserah selera suami. Nak dari depan, dari belakang, nak nungging, nak ngangkang itu urusan kito dan suami. Tapi butuh kesepakatan,” ujar Bu Wati.

“Jadi kato kamu WTS tu dimanonyo?” serga yang lain.

“Siap melayani dengan segala gaya, itu kan service WTS. Jadi sebelum kita ngasih samo suami, kalau aku minta duit dulu samo dio, baru aku buka dan layani segala gaya. Kalu idak, aku tinggalke dari kamar dio. Palling-paling gek dijepitke pintu kamar,” kata Bu Wati yang ditingkahi gelaj tawa para ibu. Sebagian hanya menggelengkan kepala. Tak jelas makna gelengan itu. Geli, lucu, atau entahlah…”

“Tapi menolak suami itu bedoso lho, Bu?! Kita dikutuk sampai pagi samo malaikat,” ujar yang lain.

“Itu kan kewajiban kito melayani suami?!” timpal lainnya lagi.

“Bener, tapi dalam keluarga itu kan ada hak dan kewajiban. Jangan bae suami kito minta haknyo, minta jatah ranjang, tapi kewajiban dio dak dijalanke. Suami kito harus ngasih nafkah lahir, baru kito kasih service batin di ranjang,” Bu Wati setengah protes.

Sejumlah ibu-ibu ada yang membenarkan. Tapi dari sorot matanya ada juga yang menolak.

Dalam hati saya hanya bersyukur: alhamdulillah Tuhan, suami saya sudah lengkap dunia akhirat. Saya tak perlu menjadi WTS bagi suami saya sendiri.
***