Jawabku Untukmu

Suhendri Chaya Purnama

Ini raga akan hendak dibawa ke mana?
Ini hati akan dipautkan kesiapa?
Dan ini hidup akan dipersembahkan untuk apa?

Malam telah merangkak mendekati titik terkelam. Sisa-sisa lantunan takbir, tasbih, dan tahmid masih mengalun indah. Mengawang ke angkasa. Menembus tujuh lapis langit dengan membawa impian-impian terjauh manusia.  

Siklus itu senantiasa berulang. Setiap waktu. Setiap masa. Setiap tahun. Setiap jarum jam di penghujung kamar bercat putih itu yang masih berdetak.

Ya. Kau ada di sana. Tepat di bawah jam Seiko dengan polesan hitam yang telah kusam.  Detakannya menemani ragamu yang terpekur di antara manuskrip-manuskrip yang kau tulis. Sebagian berisi goresan-goresan tulisan tanganmu. Sebagiannya lagi masih kosong melompong. Sekosong hidup yang kini kau telusuri.

Hei!

Tidak sadarkah engkau bahwa aku ada di samping? Sedari tadi menatap ragamu yang semakin lama semakin terpuruk karena asa yang menggelayut. Mengkerut oleh berbagai ambisi yang kini menjadi musuh bagimu. Mengisapmu dalam lorong kelam yang tak kau kenal. Black hole. Dan kau terkapar disana tanpa daya. Hampir menyerah. Tinggal selangkah lagi.

Dulu, sepuluh tahun yang lalu ketika ragamu masih remaja, kau tinggalkan segala kehangatan tanah kelahiran. Mengejar impian yang kau kira ada nun jauh di seberang pulau. Mengejawantah dalam rupa-rupanya yang memikat. Kau tergoda. 

”Sekali layar terkembang, pantang untuk digulung kembali. Sekali tekad terpancang, amat nista bila luntur oleh kerdilnya semangat,” demikian kata-kata yang kau ucapkan padaku. Kala kakimu meninggalkan tanah kelahiran, kala itu pula kau masih bersahabat denganku. 

Ya. Kau masih bersahabat denganku, kala itu.

Tapi waktu memudarkan. Di pulau antah berantah, manisnya impian telah menyihir segalanya. Dengan ragamu, setiap waktu kau terabas. Setiap tanah kau jamah. Dan egomu pun semakin memuncak. Kau pun akhirnya melupakanku. Bahkan, ragamu sendiri tak kau pedulikan. Kau terasing dari dirimu sendiri.    

Kau lupakan nyanyian burung pipit di pematang sawah yang dirimbuni padi menguning. Kau lupakan gemiricik air mengalir disela-sela bebatuan hijau berlumut. Kau juga lupakan semilir angin yang berhembus diantara pohon bambu yang selalu berderit. Pelukan alam tak lagi bersamamu. Ia tergantikan oleh cita, cinta, dan cipta yang semu. Kau benar-benar terasing!

Aku merindukanmu. Merindukan manisnya ragamu dan juga ragaku yang dulu pernah bersatu. Tapi lihatlah engkau kini. Dengan raga yang termakan usia, kau menjelma menjadi makhluk tak bernama. Tak berasa. Tak berpikir. Jiwa manusiamu telah termakan oleh impian dan ambisi. Hanya tersisa raga yang malam ini hendak kau nistakan. Kau kehilangan tujuan. Dan kau telah lelah berkelana.

Pelan kau berbisik, entah pada siapa: ”Sebongkah raga ini akan hendak dibawa ke mana?”

Pernah, kau temukan seorang bidadari dalam hidupmu. Berparas oriental, bermata segaris, berkulit putih sehalus sutra, dan berhati emas tanpa cela. Dengan rambut berombak digerai lepas, berponi bak kuda surga, dan memiliki suara laksana buluh perindu. Hatimu terpaut. Tergetar oleh dawai asmara.

Ihya, kau panggil ia. Lim, itu marganya. Lim Ihya, perempuan Tionghoa berbalut merah menyala. Ialah bidadarimu. Ialah pesonamu. Untuknya, kau hembuskan nafas cinta. Untuknya, dawai itu semakin mengalun kuat, meraja di hatimu. 

Duh, masih terbayang jelas dalam ingatanku betapa cerianya kau saat itu. Dunia menjadi sempurna di matamu. Semesta menebar warna cemerlang yang pernah ia punya. Bagaikan tarian aurora di angkasa, daya pikatnya membuatmu hilang tenggelam dalam riuh keindahannya.

Setiap saat, telingamu mendengar simponi kehidupan yang mengalun lagu cinta. Lagu tentang engkau dan ia, bidadarimu. Ya, kau telah terasuki oleh cinta.

Tapi, takdir langit tak memihak padamu. Ada aturan yang tak mungkin kau langgar, meski hatimu teramat menginginkan. Ada tembok yang tak boleh kau lewati.

”Seekor ikan dan burung memang bisa saling memiliki. Saling mencinta. Tapi, mereka nantinya akan hidup di mana?” ujarmu pada bidadari itu saat matamu dan matanya saling bertatap di penghujung sore yang kelam. Detik-detik menyiksa yang tak mungkin kau hapus dalam sepenggal kisah hidupmu. Kau pun terpisah dan tercerabut dari impian indah bersamanya. Sebentuk rongga menyisa di hatimu.

Sejak saat itu, kau membenci langit yang kau tuduh menjadi dalang kehilangan bidadarimu. Kau pun membenci sore yang kau tuding sebagai sahabat yang berkhianat. Karena sorelah yang memberi bidadari dan kemudian, sore pula yang mengambilnya kembali. Kau tak akan pernah memaafkannya.

Hatimu terluka begitu dalam. Dan ketika kuulurkan tangan, dengan pongah kau tepiskan tanganku. Bahkan, kau mengusirku. Tak mau lagi bertatap mata. Lengkaplah sudah kau campakkan aku. Sejak itu pula, kasih tak pernah lagi bersua di hatimu.

Namun kini, kuyakin engkau menyesali kesombongan itu. Karena lembut kudengar kau bergumam, mungkin kepadaku: “Sekeping hati ini akan dipautkan ke siapa?”

Dan hingga malam mulai meninggalkan singgasananya, kau masih bergelut dengan duniamu. Dunia yang tak mungkin kumasuki.  Karena kau telah mengharamkannya untukku.

Ingin rasanya kubelai rambutmu. Menggenggam jemarimu. Bersama-sama duduk berdua menatap lembayung senja yang terukir indah di pantai cinta. Diiringi hembusan angin, akan kubisikkan kata-kata mujarab itu: “Everything is ok.”

Dulu, itu yang sering kulakukan padamu. Setiap kau resah, kau pasti panggil aku. Setiap kau gundah, kau pun panggil aku. Dan aku akan mulai bercerita tentang kisah-kisah yang akan mengobarkan semangatmu. Menghidupkan kembali bara asa yang hendak padam. Bersama-sama kita memaknai hidup untuk satu cinta. 

Masihkah kau ingat kenangan itu?

Ku tak terlalu yakin. Atau maukah kau mengingatnya? Kau telah begitu berubah, hingga aku pun merasa asing denganmu.

Tapi, kesangsianku itu terkejutkan oleh ucapan lirihmu untukku. “Sebentuk hidup ini akan dipersembahkan untuk apa?” 

Maafkan aku. Hanya ini jawabku, sebentuk jawab yang dititipkan padaku oleh kawan perjalanan yang tanpa cela menemanimu untuk menapaki jalan menuju Dia, Maha Sempurna.

“Pandanglah sesuatu dengan iman, bukan dengan rasa. Karena rasa mudah berubah layaknya musim yang senantiasa berganti. Rasa juga bagaikan bunga, yang mekar dan layu pada masanya. Tak abadi. Tapi iman, akan meneguhkan segalanya. Membuat cinta menjadi syahdu terdengar.”

“Milikilah iman maka kau akan menjadi raja bagi ragamu, hatimu, dan hidupmu. Milikilah iman maka kau akan meraih segalanya.”

Itulah jawabnya. Untukmu, diriku.
***