Dokter Zhivago

Boris Pasternak
(alih bahasa Trisno Sumardjo), disalin dari terbitan Djambatan, Maret 1960)

Dijumpainya Tonya serta ayahnya sudah antri dalam satu deretan tak berujung. Nyusha dan Sasha jalan-jalan di luar, sekali tempo menengok ke dalam untuk melihat apakah sudah waktunya datang pada yang dewasa itu; mereka mengeluarkan bau parafin yang kuat yang diusapkan tebal-tebal ke kuduk, pergelangan serta mata kaki sebagai lindungan terhadap kutu.

Orang antri berderet-deret itu sampai ke gerbang peron-peron, tapi sebenarnya para penumpang baru naik kereta api setengah mil lagi jauhnya. Tukang sapu tak cukup banyak, hingga stasiunpun kotor, sedangkan rel-rel di depan peron-peron itu tak dapat dipakai sebab penuh debu dan es. Semua kereta api berhenti agak jauh.

Tonya melambai pada Yury dan ketika ia cukup dekat, diserukannya petunjuk-petunjuk kemana ia mesti pergi agar surat ijin mereka distempel.

“Coba apa yang mereka berikan?” tanyanya sesudah dia kembali. Yury mengulurkan seberkas kertas lewat kisi-kisi

“Itu untuk kereta istimewa,” kata laki-laki yang berdiri di belakang Tonya dan membaca dari atas pundaknya.

Lelaki di depannya lebih tegas. Ia adalah salah seorang yang gemar pada formulir-formulir; dalam keadaan apapun ia mengetahui peraturan yang tepat dan sanggup membicarakannya dengan obyektif serta menerimanya tanpa tanya-tanya.

“Stempel ini,” ia menerangkan, “memberi tuan hak atas tempat duduk dalam kereta berkelas, yaitu kereta penumpang kalau ada kereta penumpang dalam kereta api.”

Segera seluruh deretan ikut serta.

“Kereta penumpang? Kalau dapat duduk di bufer saja, bolehlah berterima kasih sekarang!”

“Jangan dengarkan mereka,” kata ahli formulir itu. “Saya terangkan saja, mudah sekali. Karena semua kereta api istimewa sudah dibatalkan, hanya ada satu jenis kereta api, sama saja untuk siapapun –tentara, orang kerja paksa, ternak, rakyat– sama saja kereta apinya. Mengapa mesti menipu orang ini?” tegurnya pada khalayak. “Kata adalah cuma-cuma, boleh bicara sesuka hati, tapi bicaralah dengan jelas supaya ia mengerti.”

“Apa artinya keteranganmu?” seru orang mengatasinya. “Apa artinya ucapanmu, waktu kamu sebut ia mendapat cap untuk kereta isitimewa! Mesti kamu lihat dulu orangnya, sebelum kasi keterangan. Bagaimana orang begini rupa masuk kereta istimewa? Kereta isitmewa itu untuk pelaut. Pelaut matanya terlatih dan punya bedil. Dia melihat padanya dan apa yang nampak? Anggota kelas yang bermilik. Lebih buruk lagi, seorang dokter, bekas bangsawan. Lantas diambilnya bedil, nah selamat tinggal.”

Entah sampai kemana jauhnya simpati orang yang timbul oleh masalah dokter itu, andaikata khalayak tak memindahkan perhatiannya ke soal lain.

Berjurus-jurus lamanya orang telah melihat sepenuh minat lewat jendela-jendela kaca besar ke jalan kereta api yang dilindungi atap sepanjang jarak beratus-ratus jar. Salju yang turun hanya kelihatan di sebelah ujung atap yang terjauh; nampak sejauh itu salju seolah tak bergerak, gugur ke tanah selambat remah roti yang dilemparkan pada ikandan tenggelam dalam air.

Selama setengah jam yang lalu sosok-sosok tubuh tak dikenal berjalan jauh lewat rel, sendiri atau berkelompok. Mula-mula mereka disangka buruh kereta api yang sedang bertugas, tapi kini satu gerombolan berlari-lari sedangkan di jurusan yang mereka tuju itu nampak kepulan asap kecil,

“Buka pintu bangsat-bangsat!” teriak suara-suara dari deretan itu. Khalayakpun bergerak, bergegas ke pintu-pintu, yang di belakang mendorong-dorong yang di depan.

“Tengok itu! Di sini kita terkunci, tapi di sana itu kaum keparat dapat jalan belakang, tak usah antri. Buka, hai setan-setan; kalau tidak, kita dobrak gerbang-gerbang! Ayo kawan-kawan, dorong!”

“Tolol! Nasib orang-orang itu tak diiri -hatikan,” kata ahli formulir yang tahu segalanya. “Mereka milisi, dipanggil untuk kerja paksa dari Petrograd. Mereka tadinya akan dikirim ke Vologda dari Stasiun Utara, tujuannya dialihkan ke medan perang Timur, Mereka tidak pergi atas kemauan sendiri. Mereka dikawal. Dan akan menggali parit-parit.”
***bersambung