Sekolah Tanobato dan Pencerahan Akal Budi di Tano Batak – Imran Hasibuan

Sedikit orang Indonesia yang pernah mendengar Mandailing dan Angkola di bagian selatan Tapanuli. Di Sumatra Utara sekalipun, wilayah itu agaknya lewat begitu saja, kalah pamor dari kawasan sekitar Danau Toba di utara Tapanuli, yang di jaman Republik Indonesia berkembang pesat. Pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, Mandailing dan Angkola yang lebih maju, dari aspek pendidikan maupun kesejahteraan ekonomi dengan beberapa putra asalnya berperan dalam pergerakan kebangkitan Indonesia. *** 

Willem Iskander alias Satie Nasution, tak pelak, adalah pelopor pendidikan modern Indonesia. Enam puluh tahun sebelum Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa, ia membuka sekolah guru di Tanobato, Afdeeling Mandailing-Angkola (Tapanuli Selatan), pada tahun 1862. Willem Iskander pula yang memulai tradisi menulis buku modern dengan menggunakan kertas dan aksara Latin, ketika masih studi di Negeri Belanda, beberapa tahun sebelumnya.  

Salah satunya, berjudul ‘Boekoe Parsipodaon di Dakdanak di Sikola’ -terbit tahun 1862- yang  merupakan bulu pelajaran sekolah pertama karya pribumi. Tapi yang paling terkenal adalah ‘Si-Boeloes-boeloes, Si-Roemboek-roemboek: Boekoe Basaon’. Terbit pertama kali di Batavia oleh Landsdrukkerij (Percetakan Negara) tahun 1872, kumpulan prosa dan puisinya itu dicetak ulang tahun 1903,  1906, dan 1915 sebelun diterjemahkan ke Bahasa Indonesia sekitar tujuh puluh tahun kemudian oleh Basyral Hamidy Harahap (1976).


Karena Sekolah Tanobato kualitasnya bagus, dua tahun kemudian diambil-alih pemerintah kolonial untuk dijadikan sekolah guru negeri atau Kweekschool. Sekolah guru yang ketiga didirikan di Hindia-Belanda, setelah di Soerakarta dan Fort de Kock (Bukit Tinggi). 

Kweekschool Tanobato sempat akan ditingkatkan dan dipindahkan ke kota yang lebih besar, Padang Sidempuan, sementara Willem Iskander dikirim lagi oleh pemerintah kolonial studi lanjut ke Negeri Belanda untuk mendapatkan akte kepala sekolah. Namun Kweekschool Tanobato malah ditutup dan Willem Iskander berangkat ke Belanda tahun 1875. Setahun kemudian, dia meninggal dunia di sana.
***

Salah satu hasil penting penerapan Politik Etis dalam masyarakat Hindia Belanda sejak akhir abad 19 adalah menimbulkan semacam ‘pertukaran mental’ antara orang-orang Belanda dan orang-orang pribumi. Kalangan pendukung Politik Etis merasa prihatin terhadap pribumi yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya dan berusaha menyadarkan kaum pribumi agar lepas dari belenggu feodal. Caranya adalah mengembangkan diri menurut model Barat, yang mencakup proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya.

Sebagaimana sejumlah daerah lain di Hindia-Belanda, wilayah Afdeeling Mandailing-Angkola juga terimbas semangat Politik Etis. Berbagai fasilitas pendidikan yang menjadi ujung tombak Politik Etis berkembang pesat di sejumlah kota di Mandailing-Angkola, seperti Padang Sidempuan, Panyabungan, dan Sipirok.

Keadaan politik yang relatif stabil di bawah pemerintahan kolonial, menyebabkan kemajuan ekonomi dan peningkatan prasarana dan sarana. Harga-harga kebutuhan pokok turun drastis, terutama setelah dibukanya jalan raya yang menghubungkan wilayah Tapanuli dengan Deli, hingga Sibolga dan Padang. Barang-barang yang belum pernah dikenal menjadi tersedia, juga beragam lapangan kerja baru. Wilayah yang pernah luluh-lantak akibat serangan Kaum Paderi itu, berkembang pesat.

Tahun 1871, Padang Sidempuan ditetapkan sebagai ibukota Afdeeling Mandailing-Angkola, menggantikan Panjaboengan. Pertumbuhan Padang Sidempuan di paruh kedua abad ke- 19 itu terbilang pesat, dengan berbagai fasilitas umum terutama untuk orang-orang Eropa, pegawai (ambtenaar) pemerintah kolonial, serta kaum bangsawan setempat. 

Di masa itu komunitas orang-orang Eropa di Padang Sidempuan dari waktu ke waktu makin bertambah dan bukan hanya pejabat pemerintah atau kalangan guru, tapi juga ada wisatawan, peneliti, serta investor perkebunan kopi maupun polisi dan pasukan militer. Perkembangan yang memicu berbagai fasilitas umum, seperti: garnisun/markas militer, kantor, rumah dinas residen dan para pejabat pemerintah kolonial lainnya. Juga ada kantor pos dan telegraf, pasar, rumah sakit, pengadilan dan penjara, pesanggrahan, beberapa sekolah dasar, plus sebuah sekolah guru.

Pada 1873, Departement van Onderwijs di Batavia merencanakan pendirian 10 sekolah dasar pemerintah atau Inlandsche School di seluruh Keresidenan Tapanoeli. Dari 10 sekolah dasar itu, delapan berada di Afdeeling Mandailing-Angkola. Salah satu yang terbaik berada di Padang Sidempuan -yang kemudian dikenal dengan ‘Sikola Topi Saba’- menjadi tempat tujuan baru bagi anak-anak kota maupun anak-anak ‘parsabaan’ (persawahan, pinggiran atau pedalaman) seperti Batang Ajoemi, Tanobato, Sigiring-giring, Sihadabuan, Panyanggar, dan Sidangkal.
***

Sesuai rencana pemerintah kolonial Belanda, Kweekschool Padang Sidempuan dibuka tahun 1879 dengan kepala sekolah Mr. Harnsen. Empat tahun kemudian, Harnsen diganti oleh Charles Adriaan van Ophuijsen. salah seorang guru yang sudah mengajar di sana selama delapan tahun. 

Di bawah Van Ophuijsen (foto kiri), Kweekschool Padang Sidempuan pernah dinobatkan sebagai sekolah guru terbaik di Hindia-Belanda. Van Ophuijsen, yang belajar bahasa Batak dan bahasa Melayu di ‘Mandheling-Ankola’, kelak menjadi penyusun tata bahasa Melayu dan ejaan Ophuijsen, serta menjadi guru besar  tata-bahasa dan sastra Melayu di Universitas Leiden.


Dua tamatan Kweekschool Padang Sidempuan yang pantas disebut adalah Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan Soripada.

Dja Endar Moeda alias Haji Mohamad Saleh dijuluki ‘Raja Surat Kabar Sumatra’. Selain menjadi pribumi pertama yang memiliki percetakan di Sumatra, Dja Endar Moeda juga jurnalis andal, pemimpin redaksi merangkap pendiri, dan pemilik sejumlah surat kabar di Padang, Sibolga, Medan, sampai Aceh. 

Sedang Soetan Casajangan Soripada (1874-1927) menyelesaikan pendidikan di Kweekschool Padang Sidempuan -tempat lahirnya- sebelum berangkat ke Belanda tahun 1904 untuk melanjutkan pendidikan di sekolah guru di Haarlem. Dia menjadi asisten Prof. Charles Adriaan van Ophuijsen di Rijksuniversiteit Leiden untuk mata kuliah Bahasa Melayu, Sejarah Indonesia, Islam, Daerah dan Penduduk Indonesia. Pada Juni 1908, Soetan Casajangan menggagas pembentukan Indische Vereeniging atau Perhimpunan Hindia, dan terpilih sebagai ketua pertama.

Pada tahun 1913, Soetan Casajangan menerbitkan buku kecil atau brosur berjudul ‘Indische Toestanden Gezien Door Een Inlander’ (Negara Bagian di Hindia Belanda dilihat oleh Penduduk Pribumi). Brosur monograf (kajian ilmiah) ini membahas perihal ekonomi, sosial, sejarah budaya Asia Tenggara (Nusantara), khususnya pembangunan pertanian di Indonesia.

Meski masih dalam kerangka berpikir loyalis Kerajaan Belanda, brosur itu bernada kritis. Soetan Casajangan mengemukakan tuntutan mendasar, bahwa persamaan di hadapan hukum bagi orang pribumi dan orang Belanda harus segera diwujudkan. Hal ini, tulis Soetan Casajangan: “…. mengacu pada hak yang lebih tinggi, yaitu hak asasi manusia. Apakah semua orang di negeri Belanda sama semua sifatnya, tabiatnya, kebajikannya, dan kemajuannya? Tidak ‘kan? Tapi, di hadapan undang-undang, semua orang di negeri Belanda sama, ‘kan?”

Kesamaan di hadapan hukum, menurut Soetan Casajangan, juga berarti pemerintah secara luas menyelenggarakan pengajaran dan dia kembali mengemukakan rencana program beasiswa untuk anak-anak kaum pribumi. Penerangan pertanian, dan penggalakkan perdagangan pun merupakan tugas penguasa kolonial. Dengan menjadikan orang pribumi sama dalam hukum dan membuat mereka sama dalam kemajuan lewat pengajaran, maka mereka pun akan sama, kata Soetan Casajangan “dalam menyatakan kesetiaan dan keterikatan, dan dalam menghormati bendera Belanda.” (Poeze, 2008:81)

Brosur yang mengejutkan orang Belanda itu mendorong penyatuan yang lebih besar di kalangan perhimpunan kaum pribumi. Bisa dikatakan, brosur ini adalah karya pertama pribumi yang diterbitkan dan diedarkan di Eropa.

Selama bermukim di Belanda, Soetan Casajangan juga menjadi mentor para pelajar dan mahasiswa yang belajar di Belanda, terutama yang berasal dari Tapanuli, tanah kelahirannya. Beberapa diantaranya kemudian menjadi tokoh terkemuka: Todoeng Soetan Goenoeng Moelia (pernah menjadi anggota dan Wakil Ketua Volksraad dan Menteri Pengajaran dalam Kabinet Sjahrir), Abdoel Firman gelar Mangaradja Soangkoepon (mahasiswa ilmu hukum di Leiden, yang kemudian dikenal sebagai vokalis Volksraad), dan Sorip Tagor Harahap (pelopor pendidikan kedokteran hewan di Indonesia).

Jelas bukan Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan Soripada yang berperan penting dalam kebangkitan kebangsaan Indonesia.

Alumni Kweekschool Padang Sidempuan yang dikenal meluas.

-. Muhammad Taif Nasution

Guru di Aceh. Dia merupakan ayah Muhammad Amin Nasoetion (sering disebut S.M. Amin), yang menjabat gubernur pertama dan ketiga Sumatra Utara.

-. Adem Loebis

Guru di Aceh. Salah seorang putranya adalah Kolonel Zulkifli Lubis, berkarir di bidang intelijen militer hingga pernah menjadi Wakil KSAD.

-. Hoemala Mangaradja Hamonangan

Guru di Sipirok sebelum menekuni perdagangan dan hasil bumi. Dia adalah ayah Todoeng Soetan Goenoeng Moelia (Menteri Pengajaran di masa awal kemerdekaan RI) dan paman Amir Sjarifuddin Harahap (pernah menjabat Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan RI).

-. Mangaradja Salambuwe

Pemimpin redaksi Pertja Timoer, surat-kabar berbahasa Melayu pertama di Medan yang terbit sejak 1902. Menurut Muhammad TWH dalam buku Sejarah Perjuangan Pers di Sumatra Utara, Mangaradja Salambuwe tidak mengenal rasa rendah diri dan memimpin Pertja Timoer -milik warga Belanda, J. Hallerman- dengan pemberitaan kritis atas pemerintah Hindia-Belanda dan Kesultanan Deli. 

-. Mohammad Djamil bergelar Mangaradja Ihutan
***

Pemimpin Pewarta Deli sepeninggal Dja Endar Moeda, sejak tahun 1923 hingga tujuh tahun lebih. Tokoh kelahiran Kampung Sabadolok, Kotanopan, ini adalah wartawan alam alias otodidak.

Putra Padang Sidempuan lain yang berkiprah hingga tingkat nasional adalah tokoh pendidik cum politisi, Todoeng Soetan Goenoeng Moelia Harahap. Kakeknya, Ephraim Soetan Goenoeng Toea (1840-1916), adalah salah seorang pemeluk Kristen awal di Tanah Batak dan menduduki jabatan resmi tertinggi untuk pribumi pada masa itu: jaksa utama (hoofddjaksa) di Tapanuli.

Moelia menjalani pendidikan dasar di sekolah melayu di Sibolga, dan berlanjut ke ELS (Europeesche Lagere School) di Padang Sidempuan, yang membawanya menapaki ‘dunia baru’ dengan basis rasionalitas daripada tradisi. Tamat ELS dalam usia 14 tahun pada 1911, Moelia menceburkan diri dalam kubangan modernitas di negeri Belanda, tepatnya di Leiden dengan studi pedagogi. Diapun bergaul dengan para mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Perhimpunan Hindia (Indisch Vereeniging). Dari pergulatan pemikiran dan pergaulan dengan kalangan aktivis Perhimpunan Hindia, Moelia mulai menemukan jati dirinya: jati diri pribadi maupun jati diri kebangsaan. 

Moelia juga bergabung di Gerakan Mahasiswa Kristen Belanda (Nederlandsche Christen Studenten Vereeniging, NCSV) dan bertemu bertemu dengan aktivis Kristen serta tokoh-tokoh Politik Etis. Salah seorang yang berpengaruh besar atas Moelia adalah Hendrik Kraemer, seorang misionaris, teolog, intelektual, dan tokoh oikumenis Hervormd, yang bersimpati pada nasionalisme Indonesia.

Menjadi pendidik merupakan cita-cita Moelia. Maka ketika menyelesaikan pendidikan di negeri Belanda, dia langsung membenamkan dirinya dalam dunia pendidikan. Seperti disebutkan antropolog Rita Kipp, Moelia mencurahkan perhatian terhadap dunia pendidikan untuk semua golongan. Itu sebabnya, ketika menjadi anggota Volksraad, Moelia mengkritik sistem pendidikan kolonial yang diskriminatif, sekaligus memperjuangkan pendidikan untuk semua golongan pribumi.

Alasan itu yang membuat Kipp menghormati Moelia dengan menyebutnya sebagai ‘Nasionalis Kristen’ karena pada masa itu tidak banyak intelektual yang mampu melewati sekat-sekat rasialis. Kecintaannya terhadap dunia pendidikan tidak pernah luntur: sebagai anggota Volksraad periode 1927 ia tetap bolak-balik ke Tapanuli untuk mengajar.

Moelia mulai menjadi anggota Volksraad dalam usia 26 tahun, mewakili pemilih dari Tanah Batak. Meski ada jeda beberapa tahun, keanggotaan Moelia di Volksraad cukup panjang dan sempat menjabat Wakil Ketua Volksraad untuk menggantikan M.H. Thamrin yang wafat.  

Selain menjadi anggota Volksraad, Moelia merupakan kader partai Kristen, CEP (Christelijk Etische Partij). Kendati menempuh perjuangan politik lewat jalur Volksraad, bukan berarti upaya untuk memerdekakan negerinya padam. Moelia justru tercatat sebagai salah seorang anggota Volksraad yang bersuara cukup lantang dalam membela hak dan kepentingan kaum pribumi. Dengan caranya sendiri, ia menyumbangkan pemikiran untuk kemerdekaan Indonesia. Bagi Moelia, menjadi anggota Volksraad dan CEP tidak otomatis menjadi Barat dan ‘kaki tangan’ kolonial. 

Ia tetap memiliki semangat nasionalisme pribumi yang menginginkan sebuah kemerdekaan negerinya. Jejaknya itu terekam dari berbagai tulisannya di majalah Zaman Baroe, yang dia pimpin.

Sebagai orang Indonesa ketujuh yang meraih gelar doktor di Belanda, Moelia menjadi anggota ‘Bestuur van Academie’ di masa pemerintahan Hindia-Belanda. Dedikasinya di dunia akademis dan pemerintahan mengantarkan dia menerima anugerah ‘Officier der Orde van Oranje-Nassau’ pada tahun 1927. Itu adalah bintang kehormatan tertinggi yang pernah diberikan pemerintah Belanda kepada pribumi Indonesia, kendati Moelia masih terbilang muda: 31 tahun. 

Sikap politik Moelia memang tergolong kooperatif terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Ketika Sumpah Pemuda diumumkan 28 Oktober 1928 -salah satunya penggagasnya adalah adik sepupunya: Amir Sjarifuddin Harahap- Moelia bersikap kritis. Bagaimanapun sikap itu tidak mengikis semangat nasionalisme di jiwanya. Bisa jadi, karena kompetensi dan nasionalismenya itulah ia didaulat sebagai Menteri Pengajaran dalam Kabinet Sjahrir I, menggantikan Ki Hajar Dewantara. Sedang dalam Kabinet Sjahrir II, yang berakhir Oktober 1946, ia ditunjuk sebagai Menteri Muda/Wakil Menteri Pendidikan.

Sampai kinipun, sejumlah warisan Moelia masih hidup di tengah negara-bangsa Indonesia, seperti Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Univeristas Kristen Indonesia (UKI), dan Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Ia juga menulis sejumlah kitab, yang paling terkenal -tentu saja- ‘Ensiklopedia Indonesia’ yang terdiri dari tiga jilid dan ribuan halaman. 

Sahabat Moelia sesama anggota Volksraad, yang seringkali bahu-membahu berjuang untuk kepentingan rakyat, adalah Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon, anggota Volksraad  dari Mandailing-Angkola. Sikap politik kedua kawan lama sejak sekolah di Belanda itu berbeda. Jika Moelia terkesan moderat terhadap pemerintah Hindia-Belanda, maka Mangaradja Soangkoepon terkenal kritis dan galak, bahkan kadang bersikap tanpa kompromi. 

Mangaradja Soangkoepon, yang juga kelahiran Padang Sidempuan, adalah anggota Volksraad yang dikenal dengan sebutan ‘Macan Pejambon’ —merujuk sikap kritisnya terhadap pemeruntah kolonial Hindia_benalda dan kawasan kantor Volksraad di kawasan Pejambon, Batavia. Dia terpilih selama tiga periode secara berturut-turut sebagai anggota Volksraad. Sebagai wakil dari Sumatra Timur, Soangkoepon dikenal sangat gigih memperjuangkan dan membela nasib kuli kontrak di Tanah Deli.
***

Sejak Willem Iskander membuka Sekolah Tanobato di tahun 1862, dunia pendidikan di Tano Batak (Tanah Batak) berkembang pesat. Di awal abad 20, tercatat 19 sekolah pemerintah dengan total sekitar 2.400 siswa

Pada awal abad-ke 20, kawasan Tapanuli bagian utara (yang mencakup kawasan Humbang, Toba, dan Samosir) masih merupakan ‘wilayah merdeka’ yang belum dikuasai pemerintah kolonial. Barulah setelah Perang Batak usai, tahun 1907, pendidikan di wilayah Tapanuli bagian utara berkembang pesat, terutama karena kerja zending Kristen. 

Pemerintah kolonial Hindia-Belanda mulai mendirikan sekolah-sekolah pemerintah (orang Batak menyebutnya Sikola Gubernemen) di seluruh Keresiden Tapanuli. Juga didirikan sekolah berbahasa Melayu kelas rendah (Kampong Scholen) tanpa kurikulum Bahasa Belanda, serta sekolah Melayu kelas tinggi dengan pelajaran Bahasa Belanda.

Di masa itu, pendidikan di wilayah Tapanuli atau Tano Batak paling berkembang dibanding daerah-daerah lain Sumatra. Wilayah Tapanuli memiliki jumlah sekolah—mencakup sekolah pemerintah, swasta (zending dan misi)— yang cukup banyak. Pada tahun 1901 jumlah sekolah yang didirikan RMG/Batakmission saja berjumlah 217 sekolah, dan meningkat menjadi 497 sekolah pada tahun 1910 (Aritonang 1988, hal. 281). Padahal di seluruh Sumatra—kecuali Tapanuli— hanya ada 98 sekolah.  

Pada tahun 1910 didirikan HIS Sigompulon untuk anak-anak pejabat pribumi di Sigompulon, Tarutung, oleh Batakmission, untuk memenuhi tuntutan masyarakat Tanah Batak yang makin menggebu terhadap sekolah dasar berbahasa Belanda. Sebagian besar muridnya adalah rakyat biasa walau awalnya dikhususkan untuk anak-anak raja. HIS Sigompulon punya asrama (internaat) agar pembinaan disiplin dan watak kristiani dapat dijalankan, dan murid-muridnya terlatih menggunakan bahasa Belanda. (Aritonang 1988, 215-218).

Pada tahun 1910 didirikan HIS Sigompulon untuk anak-anak pejabat pribumi di Sigompulon, Tarutung, oleh Batakmission, untuk memenuhi tuntutan masyarakat Tanah Batak yang makin menggebu terhadap sekolah dasar berbahasa Belanda. Sebagian besar muridnya adalah rakyat biasa walau awalnya dikhususkan untuk anak-anak raja. HIS Sigompulon punya asrama (internaat) agar pembinaan disiplin dan watak kristiani dapat dijalankan, dan murid-muridnya terlatih menggunakan bahasa Belanda. (Aritonang 1988, 215-218).

Setahun berikutnya, 1911, didirikan pula HIS Sidikalang, yang semua muridnya adalah anak-anak raja sehingga awalnya disebut ‘Sekolah Anak Raja’. Yang menyusul kemudian adalah HIS di Narumonda di Sibolga, HIS Padang Sidempuan, dan HIS Kotanopan (Simanjuntak: 1986). 

Untuk menampung lulusan HIS yang sudah cukup banyak, pemerintah kolonial mendirikan sekolah MULO (Meer Uitgebred  Lagere  Onderwijs) di Tarutung, tahun 1927, disusul dengan  MULO Padangsidempuan, lima tahun kemudian. 

MULO Tarutung merupakan semacam sekolah untuk kalangan Batak-Kristen di Tapanuli dan Simalungun. Beberapa alumni MULO Tarutung yang menjadi tokoh nasional adalah T.B. Simatupang, Sitor Situmorang, dan J.H. Hutasoit (ahli peternakan). “Waktu itu, MULO Tarutung termasuk yang terbaik di seluruh Hindia-Belanda,” kenang T.B. Simatupang dalam memoarnya ‘Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos’  

Kalangan zending Kristen juga mendirikan sekolah-sekolah dasar di kampung-kampung, dengan subsidi dari pemerintah kolonial. Menurut perhitungan Joustra, sampai tahun 1909 -atau 42 tahun sejak sekolah zending pertama didirikan di Parausorat- terdapat 365 sekolah di wilayah Toba dengan jumlah murid 18.000 orang dan sekitar 6.700 yang belum di-Kristenkan. Pada tahun 1931, jumlah sekolah yang didirikan zending di seluruh wilayah Tapanuli, Toba, Samosir, Simalungun, dan Tanah Karo, sudah berjumlah 462, dengan jumlah murid 31.741 orang.

Meningkatnya hasrat masyarakat Tanah Batak untuk menyekolahkan anak-anaknya menyebar ke anak perempuan namun sekolah yang disediakan Batakmission—ditambah milik pemerintah dan swasta lain—tidak cukup untuk menampungnya. Maka, sejak tahun 1910, banyak anak perempuan Batak yang bersekolah di rantau, dengan tujuan utama adalah Normaalschool voor Inlandsche Hulp Onderwijzeressen (Sekolah Guru Puteri) Padang Panjang dan Bukit Tinggi, yang telah berdiri sejak awal abad 20 (Aritonang, 1988: 349) 

Barulah pada pertengahan 1920-an bermunculan Meisjesschool (sekolah puteri) di Tanah Batak, seperti Meisjesschool Balige -diberi nama ‘Prinses Juliana Meisjesschool’- yang diresmikan tahun 1925. Dengan masa belajar enam tahun, pengajarannya lebih banyak pada pengetahuan teoritis, termasuk bahasa Belanda dan Melayu, dengan maksud tamatannya menjadi pegawai atau guru. Sekolah ini diharapkan mencegah puteri-puteri Batak jangan terlalu banyak mengalir ke luar Tanah Batak (Aritonang 1988, 346).
***

Ilustrasi foto:
1. Peta Sumatra Utara – enacademic.com
2. Si-Boeloes-boeloes, Si-Roemboek-roemboek: Boekoe Basaon – books.google.co.uk 
3. Charles Adriaan van Ophuijsen – geni.com
4. Hollandsch Inlandsche School – collectie.wereldculturen.nl 
5. HIS Sigoempoelon – Facebook Perpustakaan Nasional
6. Sidang VolksraadCollectie Tropenmuseum

Imran Hasibuan, lahir dan tumbuh di Medan. Setelah selesai kuliah di Universitas Nasional di Jakarta, menjalani profesi jurnalis selama dua puluh tahun. Kini menjadi penulis dan produser film/pementasan teater.