Teheran Dalam Stoples

Aku melihat sepatu teman baikku yang berwarna merah muda itu sudah tak layak pakai lagi. Sepatu bagian bawahnya sudah jebol dan ia pasti kesakitan saat melintasi jalanan aspal dan bata tua yang panas. Ia tak pernah ingin bercerita tentang keluh kesahnya itu. Ia bahkan tak pernah mempersalahkannya. Itu adalah bagian dari kehidupannya.

Ia enggan menjawab jika aku bertanya dan ia juga enggan berkata jujur betapa menyakitkannya jika ia memakai sepatu itu. Dia memakai sepatu itu dari awal sekolah hingga usiaku delapan tahun. Sudah hampir dua tahun, sepatu butut bergaya wanita dengan hiasan emas imitasi yang berbentuk bros bertandar di tasnya. Ujudnya pun kini tak layak pakai, seperti sepatu zaman purba yang ada dizaman modern.

Aku bermain di ayunan halaman sekolah. Aku membuka bekal makananku. Sebuah kue basah yang enak dan juga jus apel buatan ibu. Temanku Khafsah sedang sibuk dengan sepatunya. Ia berusaha menyakinkan dirinya kalau ia mampu beradaptasi dengan sepatunya. Ia memutarkan sepatunya dan juga ia menekannya bagian sana sini.

Aku membagi kueku dan memakan sebagiannya. Aku menaruh makanan itu di depannya dan seperti biasa ia akan memakannya. Ia hanya membawa lembaran nan dan juga sedikit mentega dengan air putih.

Setelah itu ia menghadapi sepatu usangnya yang berkali-kali dijahit dan juga disol. Baginya itu adalah hiasan tersendiri dan aku sudah biasa melihatnya. Ia memakan bekalnya dan temanku Zahro mendekatiku.

Ia pasti akan memulai membuat amarah yang mendalam di hatiku. Tapi kali ini agak berbeda. Ia malah sangat ramah dan aku benci dengan keramahan itu.

“Mau kah kau ikut main denganku?”
Aku menggelengkan kepalaku.

“Kita akan bermain bola kau suka bola kan?”

Idenya bagus juga. Aku mengangguk dan aku mulai berdiri. Ia kaget dan juga agak kecewa ketika aku mengandeng temanku Khafsah.

“Apa yang kau lakukan? Aku hanya mengajakku bukan mengajak anak miskin ini.”
“Aku tak akan bermain denganmu kalau aku tak boleh bermain dengan Khafsah.”

Aku menarik tangan Khafsah.

“Aku tak apa disini.” Kata Khafsah sambil melepaskan tanganku.
“Baiklah kalian boleh ikut.”

Kami bermain di halaman. Kami membentuk satu lingkaran penuh dan menjadi seorang yang berperan sebagai macan yang menerkam mangsanya yakni bola. Kami yang ada di garis lingkaran akan melemparkannya dan membuat si macan selama mungkin tak mendapatkan mangsanya.

Semuanya nampak baik-baik saja hingga Khafsah menjadi si macan. Aku melihat teman-teman Zahro melempar bola sangat keras di tubuh munggil dan juga kurus temanku itu. Aku marah dan aku meminta semuanya berhenti. Dan aku peluk tubuh Zahro yang tersungkur. Mereka melempar bola ke arahku dan aku sangat marah.

Dia melemparkan bola tepat di depan wajah kami. debu halaman menguap dan memenuhi muka kami berdua. Khafsah menangis dan wajahnya menjadi menghitam. Air mata bercampur dengan debu itu. Wajah putihnya sangat tragis jika aku ingat.

Setelah itu ia tak lagi masuk sekolah. Kejadian yang bagi kaum miskin sangat memalukan hingga lukanya sangat mendalam. Pelecehan yang membunuh karakternya. Tapi aku tak mampu menolong. Entah kenapa aku selalu melihat kalau yang kuat menindas yang lemah dan itu adalah hukum alam yang sudah tak bisa kita hindari dan juga kita sangkal.

Di suatu pagi saat usiaku 8 tahun di musim dingin. Ibuku berlari setelah mendengar radio. Ia mencari ayah dan becerita tentang runtuhnya tembok berlin. Sudah setahun berlalu. Kejadian itu sudah menjadi kenangan namun ibu dan ayah baru merasakannya.

Tembok yang memisahkan Jerman menjadi dua bagian. Saat itu aku bertanya kenapa ibu sangat peduli. Bukankah kita tak ada hubungannya dengan kota itu. Tapi bagi ibu tidak. Banyak temannya yang tinggal disana dan tak lama kemudian telepon berbunyi. Ibuku tertawa riang dengan manusia yang ada di ujung telponnya. Ia bahagia dan itu sama dengan kebebasan.

Aku tak mengerti dengan dunia orang dewasa hingga aku hanya bisa menuju kamar Ali.

Aku ambil jaketnya dan aku pakaikan. Kami menuju halaman, bermain aneka salju. Saling melempar dan juga kini aku mampu melihat tawa Ali yang tanpa paksaan itu. aku sangat menyukainya. Aku suka ketika kedua pipi merah itu mengembung dengan dua cekungan diujung bibirnya.

Tapi ia masih belum bisa bicara. Dan aku semakin ingin tahu suara itu. aku melempar bola salju tepat di punggungnya.

“Kena!”

Ali menoleh dan melemparku. Sepatu bootnya terlepas dari kakinya. Bertengger di antara gudukan salju. Sepatu itu seperti pohon yang baru ditebang atau mungkin seperti batu nisan.

“Sepatumu.”

Ia menoleh dan memasangnya kembali namun ia tak lupa melemparku.

“Ali kapan kau mau biacara denganku?”

Ia hanya tersenyum dan matanya berkata, suatu hari nanti. Itu yang aku tangkap dari mata yang berbinar bahagia itu.

“Kau akan bicara denganku kan?” aku mendekatinya dan tersenyum menatapnya. Ia mengangguk dan matanya berkata, “suatu hari nanti.”

“Kau janjikan?” aku menatap dalam mata itu. Namun matanya menutup dan meninggalkan senyuman. Aku tahu ia akan bejanji mau berkata denganku. Semoga saja hari itu semakin cepat.

“Saat kau berkata, kau pasti senang sekali, aku akan memiliki teman yang mau bicara denganku. Kita akan saling bercerita dan saat itu tiba. Sungguh menyenangkan sekali.”

Kami berdua, bertengger di atas ayunan. Mengayun sekuat mungkin dan kami berusaha melompat setinggi mungkin. Dinginnya udara tak kami rasakan dan yang ada hanyalah perasaan puas dan juga puas.

Kami ingin terbang dan satu-satunya hiburan yang menarik perhatianku adalah ayunan ini. Boneka, buku cerita dan juga televisi tak cukup menyediakan ruang bebas untuk terbang. Hanya dengan ayunan, aku mampu terbang, melihat temanku tertawa dan aku seolah mampu mengayuh matahari dan juga banyak awan yang ada di langit sana.

“Ali ayo kita lomba, siapa yang paling cepat mengayuh dan juga paling tinggi dan tak jatuh dia yang akan mendapatkan hadiahnya.”

Aku tersenyum dan menoleh padaku. Dari matanya aku tahu kalau ia bertanya, “Hadiah apa yang akan kau berikan?”

“Aku akan memberikanmu buku ceritaku dan jika kau kalah, kau harus memberikan aku hadiah. Yah.. terserah kau mau memberikan aku apa. Pokoknya harus hadiah,” tegasku.

Aku menarik tali ayunanku kebelakang. Aku berjalan mundur dan setelah dirasa cukup aku meluncur. Kami terbang dan berkali-kali kami terbang. Rasanya seperti terbang di awan dengan aneka burung dan kami bisa menyatu dengan mereka. Dengan sayap dan dengan hati yang penuh kebahagiaan. Saat itu Ali terjatuh. Aku menghentikan ayunanku. Aku berlari dan juga berteriak. Seolah aku terluka dan juga aku sakit.

Aku pecahkan kesunyian rumahku dengan teriakan, “Ibu… Ayah… khala…….”

Aku berlari melihat ruang tamu, ternyata kosong. Aku berlari menuju dapur tak ada siapapun di sana. Aku menuju ruag tengah, dimana ada cerobong api. Mungkin mereka ada di sana. Yah… para orang tua itu ada di sana.

“Ada apa sayang?”

Nafasku terhenti. Separuh sukmaku datang setelah terhempas. Aku menangis dan aku menangis. Aku memeluk tubuh ibuku, aku hanya berani menunjuk ke arah halaman. Aku takut jika aku menolehnya aku akan terluka. Aku juga takut jika aku menoleh sekali lagi aku akan kesakitan.

“Ali… ibu.. ia terjatuh.”

Khala berlari tanpa berkomentar. Aku tak tahu apa yang dilakukannya dan juga anaknya. Aku hanya tahu kalau aku yang bersalah. Ali mana mungkin mengajakku untuk bermain ayunan. Ia kan hanya boneka yang tak punya pilihan dan hanya selalu saja mengekor. Tatapan mata ibu dan juga para orang tua itu seolah menyalahkan aku atas luka Ali. Luka yang ada dijidatnya dan mengalirkan darah yang mampu mencairkan salju putih itu.

“Ibu…”
“Tak apa sayang. Lain kali, kau harus hati-hati,” kata ibu sambil memelukku.
“Aku takut.”
“Jangan takut, sudahlah…”

Ibu mengangkat tubuhku dan menidurkan aku. Aku mengangkat selimut dan aku merasa sangat bersalah. Bagaimana jika Ali, mati saat itu. aku tak akan memiliki teman sepertinya. Aku lebih merasa kesakitan dari pada Ali. Aku yang sakit. Ali bahkan tak menangis, menjerit dan juga memberikan ekspresi kesakitannya. Ia hanya melakukan tatapan standarnya. Ia seperti biasa. Bonekaku hanya mampu tertawa tanpa mampu terluka.

Saat makan malam tiba, aku tak makan dahulu. Aku takut melihat wajah Ali temanku. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan jika kau bertemu dengannya. Aku masih tak punya kesiapan mental untuk menjumpainya. Aku hanya menundukan kepalaku saat aku melintasi pintu kamarnya.

Aku juga tak memberikan sapaan padanya. Mulutku hanya tertutup dan aku menutupi diriku dengan selimut biru dengan banyak bintang bertaburan di sana.

Malam semakin larut ketika aku melihat seserang membuka pintu kamarku. Aku meliriknya dari bawah selimut. Itu Ali. Aku langsung menyelimuti tubuhku. Aku tak mau melihatnya. Kulihat sebuah perban mendarat dikepalanya.

Perban yang sama dengan warna baju putihnya. Ia menaruh sesuatu dan membuka selimutku.

Aku menariknya lagi namun aku langsung menariknya dan mengambil alih. Ia menaiki ranjangku dan memeluk tubuhku. Ia berbaring di dekat ranjangku dengan mimik yang biasa.

Ia melihat ke arah atas. Seolah itu lebih baik dari pada memeluk tubuhku. Aku membuka selimut. Kulihat dengan seksama bagaimana wajahnya itu. Aku melihat wajah tampannya yang sangat ingin aku sentuh. Perasaan yang aneh muncul pertama kalinya. Itu adalah cinta pertamaku. Cinta yang kabur antara boneka dengan tuannya, cinta antar teman dan cinta antar generasi yang berbeda.

“Ada apa Ali ?” ia menoleh padaku, memberikan senyum hormatnya.

Aku memalingkan wajahku. Melihat meja yang berisi setoples permen, sebingkai fotoku dan sebuah benda. Aku mengakat bahuku, ku ambil pinus itu. bunga pinus tua. Aku mengambilnya dan ia melihatku.

“Itu hadiah dari kekalahanku,” itulah kurang lebih yang diungkapkan matanya.
“Terima kasih Ali. Hadiah ini sangat indah. Aku minta maaf karena mengajakmu ke permainan konyol. Jika aku tak mengajakmu kau tak mungkin terluka. Ali alangkah senangnya jika kau bisa mengungkan perasaan hatimu, agar tak ada yang terluka. Ali temanku, tahukah engkau?” aku menoleh padanya.
“Apa?” matanya berkata demikian saat wajah kami saliang memandang.
“Jika aku pergi suatu hari nanti apa kau akan menungguku?”

Ia tersenyum dan itu aku analogikan dengan jawaban ya, aku akan menunggumu. Meski aku tak punya dasar untuk menyimpulkannya namun aku tahu kalau mungkin atau kemungkinan besar itulah yang mau ia ucapkan padaku.

“Ali, aku bukanlah orang Iran. Suatu hari nanti entah kapan aku akan pergi bukan? Kita akan pulang ke kampung halaman masing-masing. Seperti angsa putih yang pergi di waktu musim dingin dan datang di waktu musim semi atau panas.”

Aku membaringkan tubuhku dan aku menoleh padaku. Tubuhku aku miringkan ke arah tubuhnya dan tangan kananku menggenggam bunga pinus itu. Kami saling berhadapan dan saling berkata lewat mata. Mengungkapkan bahasa yang hanya mampu dimengerti dengan mata.
***
bersambung