Dari Kehidupan Para Jutawan

Victoria Tokareva
Penerjemah: Victor Pogadaev

Kalau memisahkan penyair Pushkin dari namanya, apa bisa melihatnya? Lemah, berdada sempit, badan pendek, dengan wajah berwarna zaitun dan bibir ungu. Seekor kera hidup!

Tetapi ketika kita mengerti bahwa itu Pushkin, maka kita tidak memerhatikan tinggi badannya atau corak wajahnya. Kita hanya mengagumi tenaga kreatif geniusnya dan menyesal dia meninggal jauh sebelum kita lahir. Ada baiknya kalau orang seperti dia hidup selama-lamanya. Alam harus memberi pengecualian kepada orang seperti itu.

Sesuatu yang sama aku rasakan terhadap Moriska. Matanya yang tak berkelip-kelip menunjukkan kepada aku bahwa dia pandai dan tajam pikirannya, mampu  pula meninjau masalah secara mendalam dan menyeluruh. Gelambir di bawah dagu tidak mengganggu apa-apa. Tentu dia mampu menjalani pembedahan plastik. Tetapi untuk apa?

Dia bukan seorang perempuan melainkan lelaki. Dan bukan lelaki biasa tetapi jutawan. Penguasa kehidupannya.

Maurice mencapai dua keping coklat dari bawah tempat duduk. Sekeping diulurkannya kepadaku, sekeping lagi kepada Anestezi. Aku berasa lapar dan langsung mengunyahnya.

“Jangan melahap,” kata Anestezi dalam bahasa Rusia. “Kita sedang dalam perjalanan ke restoran untuk makan malam.”
“Ada apa?” tanya Maurice.
“Tidak apa-apa,” jawab Anestezi.

Dan aku mengerti Anestezi bukan seorang pengkhianat. Dia tidak mau  kelihatan lebih baik dari aku. Aku menutup bungkusan coklat, mengangkat mata dan pada saat itu terpandang sekeping logam melayang di udara. Logam itu melayang pelan-pelan menuju mobil yang justru berhadapan mataku.

Tiba-tiba aku mengerti bahwa logam itu telah dirampas oleh Oscar dari atap rumah dan beberapa detik kemudian kita akan bertemu di titik yang sama.

Sekeping logam itu menyentuh kaca depan mobil. Aku menjerit dan menutup muka dengan kedua tangan. Terdengar bunyi derai  pukulan terhadap kaca dan bunyi logam jatuh menggeser.

Maurice memekik perlahan “Ah…”, menghentikan mobil dan keluar melihat apa yang terjadi. Pada kaca tampak goresan, sayap kanan mobil koyak sedikit. Tidak ada kerugian lagi.

Kiranya kaca pada Jaguar kuat seperti logam.

Sekiranya sekeping logam jatuh pada mobilku di Moskow, pasti aku kehilangan hidung atau kedua mata. Tetapi di sini aku selamat dari malapetaka dengan pekikan “ah” saja, lagi pula bukan pekikanku, tetapi pekikan Maurice.

Maurice kembali ke mobil dan berkata sesuatu kepada Anestezi.

Dia menanyakan, masakan mana kau lebih suka: masakan Jepang, Cina, Itali atau Prancis?
Aku termenung. Di restoran Jepang perlu makan dengan kayu supit manakala aku tidak pandai dan mau tidak mau akhirnya akan makan dengan tangan saja karena garpu di sana biasanya tidak diberi.

“Sama saja,” jawabku dan dengan demikian menyerahkan masalah pilihan itu kepada dia.
“Jadi, seperti biasa” kata Nastya.

Tentunya  Maurice dan dia ada tempat pilihan dan kesukaan mereka.

Kami duduk di restoran kecil Cina. Datang tuan punya yang ternyata terlalu tinggi untuk orang Cina. Pastinya berdarah campuran orang Cina dan orang Prancis. Tetapi rambut dan mata seperti pada orang Cina.

ia dan Maurice berbicara dalam bahasa Prancis. Aku menangkap kata ‘poisson’ yang berarti ‘ikan. Maurice dan tuan punya restoran itu berbincang  kapan ikan ditangkap, yakni berapa jam yang lalu dan dengan cara apa: dengan joran atau jala.

Kalau dengan joran ikan menderita dan akibatnya ikan itu berbau lumut. Ikan yang ditangkap dengan jala tidak ada waktu untuk mengerti apa yang terjadi dan karena itu berbau sungai dan matahari saja.

Orang Cina itu berbicara dengan ceria dan tidak memandang pada kami. Kami tidak menarik baginya. Yang menarik baginya pelanggan jutawan.

Anestezi mengambil cermin dan membetulkan mekap. Rambut perangnya mengembang seperti awan dan berkilat memperlihatkan kesegaran. Dekolte gaunnya rendah, antara buah dada tampak lurah yang menuju ke bawah, bibir berkembang mekar seakan-akan sesudah ciuman panjang. Segi tiga mistrius juga membakar dan dia duduk di atasnya sebagai cacing kepasanan. Pada hal dia tidak berbuat apa-apa, hanya melihat ke depan dengan mata terbelalak dan terpaku.

Maurice bersikap tenang dan  mengawal dirinya. Tangan gebunya terletak di atas taplak putih. Jarinya lurus dan kuat. Karena pikiranku tak bisa dibaca orang, aku dengan diam-diam berpikir begitulah kiranya juga ‘jari’ utamanya: kuat dan lurus. Aku pernah membaca bahwa jari dan alat kemaluan lelaki diciptakan alam menurut pola yang sama. Memang, untuk apa menciptakan pola baru? Dalam satu orang, alam menciptakan satu pola saja.

Seorang pelayan datang, kecil dan kurus seperti anak panah. Gerak tangannya sangat artistis. Tak ada dalam gerak tangan itu sesuatu yang berlebihan atau tidak tepat. Aku heran, berapa Maurice berikan tip kepadanya.

Aku pernah mendengar, semakin kaya orang semakin rakus dia. Sekiranya aku  jutawan aku berderma saja karena memberi lebih bermanfaat dari mengambil. Tetapi aku pasti tak akan menjadi jutawan. Aku mencari nafkah hidup dengan bekerja jujur dan berat. Dan mustahil meraih uang banyak dengan kerja jujur.

“Dia dalam bidang usaha apa?” aku menanyakan penerjemah itu.
“Logam berat,” jawab Nastya.
“Apa dia buat dengan logam itu?”
“Entah tak tahu. Pasti tidak memuatnya.”

Nastya jengkel karena sesuatu sebab. Maurice seperti tidak mau masuk ‘meganya'” dan tidak menghirupnya, tidak digairahi dengan suasana seks. Duduk seakan-akan memakai topeng gas. Dan tak  tahu bagaimana hendak mempengaruhinya.

Pelayan membawa piring dengan bebek dan cabai besar. Cabai itu ada berbagai warna, hijau dan ungu dan tidak dipotong melainkan dirobek dengan tangan. Bebek  tenggelam dalam saus manis Cina. Lemaknya hampir tidak ada, hanya daging saja nampak. Aku menggigit sedikit dan memejamkan mata. Alangkah bagusnya makan ketika ada selera makan.

Tetapi kiranya perlu memelihara perbicaraan.

“Maurice punya pendidikan apa?” aku menanyakan Nastya.
“Dia belajar  sendiri. Berasal dari keluarga biasa. Dia tak sempat belajar di institusi tinggi.”

Aku mengamati tangan Maurice lagi –berat seperti tangan seorang pekerja kasar. Dan matanya juga seperti mata seorang petani. Biar  pun dari Prancis, tetapi petani juga.

Jadi duduklah di situ seorang lelaki yang membikin sendiri. Aku duduk di sebelahnya dan merasakan diri seakan-akan memegang sesuatu yang kukuh. Seperti pegangan tangga ketika turun tangga yang curam.

Biasanya aku naik dan turun tanpa memegang pegangan tangga. Begitulah kehidupanku. Ke atas tanpa memegang pegangan, ke bawah sama juga.

Jadi apa peganganku? Itulah meja tulisku dengan mesin tik yang lama, hampir antik. Setimbun naskhah dan titik yang menyanyi dalam dadaku. Kami bertiga: aku, titik dan mesin tik sampai ke Paris. Dan sekarang kami duduk di restoran bersama dengan seorang jutawan yang masuk daftar sepuluh orang yang terkaya.

Pelayan membawa ikan dan mulai menghidangkannya dengan memisahkan tulang di depan kami. Gayanya  bagaikan satu acara pertunjukan yang bisa diadakan dalam arena sirkus atau di panggung.

***
bersambung