Fatamorganisma – Sitok Srengenge
Jari-jari musim yang jail
menggramul pinggul seorang gadis kecil ,
kupu yang gemetar menunggu angin lewat
menuju Buchenwald
Aku menahan kesiur jantung,
di balik punggung patung yang dipancung,
di depan gedung pemerintah yang hancur
disatroni amarah para penganggur
Seketika kota menjelma seorang lelaki apak
dengan jambang dan jenggot selebat semak,
kusut masai
dan padangnya samun matahari sore
Angin datang berisik
mengosak-asik rambutnya yang penuh kersik,
menyurukkan kenang pada riuh gerimis
yang turun berderai jauh di pagi Simbrisk,
menyeruakkan serumpun rumput hitam
meruyak seluas malam
Lalu ia dengar kelepak murung dari timur, burung-burung walet
meninggalkan layung yang hancur, sebuah Soviet
“Nasib memang tak selicin tenun linen, Tuan Lenin,” ufuk hanya sepi,
tak ada lagi burat matahari, ketika ia gumamkan solilokui
“Sungguh maklum, jika tak ada mausoleum bagi Mussolini,
setelah ideologi yang memihak orang banyak
mengeras jadi sebengis kapak,
mengayau sulur-sulur nalar dan naluri.”
“Dan kaum buruh, kaum buruh, terus diburu dan dibunuh
oleh kapital yang tumbuh.”
Kata-kata magel tanpa gaung tanpa magnet,
tapi langit memekikkan laung, menderikkan rangket
Tubuh lelaki itu pun sirna bersama senja
ambyar selamur fatamorgana,
kepalanya tergolek di antara serakan batu
dan serpih sepasang sayap kupu
Di antara patung buntung, kepala batu,
bangkai kupu, aku termangu
menyaksikan derap harap sebagai kereta penghabisan
ke kamp pengasingan
***
1997