Dokter Zhivago 37 – Boris Pasternak (alih bahasa Trisno Sumardjo)

Disalin sesuai aslinya dari terbitan Djambatan, Maret 1960 dengan penulisan ejaan baru.

Layatan telah selesai. Dalam hawa dingin itu para pengemis menyuruk-nyuruk berkumpul dalam dua barisan. Kereta mayat, pedati dengan karangan-karangan bunga serta kereta keluarga Krueger bergerak dan goyang sedikit. Sais-sais mendekati gereja, Shura Schlesinger keluar dengan muka tercoreng oleh bekas air mata; ia buka cadarnya yang basah, pandangannya memancar mencari-cari di barisan kereta; setelah menemukan kereta, tempat menunggu orang-orang yang mengangkat keranda, iapun memberi perintah dengan aggukan kepala lalu lenyap bersama mereka dalam gereja. Makin banyaklah orang yang tercurah ke luar.

“Nah, jadi berpulanglah Anna Ivanovna. Ia tak lagi bersama kita, sukmanya yang malang telah melawat ke tempat mubarak.”
“Ya kasihan, hidupnya lampau dan kini istirahatlah ia.”
“Kau punya kereta atau kau ambil nomor sebelas?”
“Aku semutan karena berdiri saja selama ini. Mari melundjurkan kaki sedikit, cari kereta.”
“Kau lihat betapa sedihnya Fufkov? Ketika melihat Anna, ari mata mengalir dimukanya, hidungnya merah dan ia memandang nanap kepadanya. Berdiri di sisi suaminya pula.”
“Ya, selalu menaruh hati padanya.”

Demikian orang berjalan ke pekuburan di ujung lain dari kota. Hari itu salju beku meleleh. Hari tenang, muram, hari berakhirnya pembekuan salju, hari yang tepat untuk penanaman mayat. Salju kotor nampak seperti bersuar dari belakang sutra dan pohon-pohon ru di belakang pagar gereja basah dan gelap bagai perak redup, nampak seperti jubah kabungan.

Di pekuburan itu juga Ibu Yura dimakamkan. Tahun terakhir ini ia tak mengunjungi kuburannya. Ia memandang ke arahnya sambil berbisik : “Mama,” hampir seperti yang mungkin dilakukannya bertahun-tahun lebih dulu.

Orang pulang dalam kelompok-kelompok piktores yang murung; lenggak-lenggok di jalanan kecil yang disapu bersih itu agaknya tak selaras dengan langkah para pengabung yang tenang lagi sedih. Tonya bergandengan dengan ayahnya. Mereka diikuti keluarga Krueger. Tonya nampak manis dalam pakaian hitam.

Salju beku kelabu, rumbai seperti bulukan, merecup-recup di rantai yang mengikat salib-salib pada kubah dan pada tembok-tembok jingga dari biara. Jemuran tergantung dari tembok ke tembok di pojok terjauh perkarangan biara –kemeja dengan lengan berat karena kuyup, cita dan taplak meja makan yang basah dan menggelembir. Yura sadar bahwa inilah sebagian tanah biara –kelihatan lain akibat gedung-gedung baru– darimana malam itu taufan mengamuk.

Yura berjalan terus sendirian , mendului yang lain-lain, sekali tempo berhenti agar mereka mengejarnya. Untuk membalas tantangan kesepian yang terbawa oleh maut dalam hidup masyarakat kecil yang para anggotanya berjalan pelan-pelan di belakangnya itu, iapun bagai air yang mau tak mau tersalur ke bawah, terhanyut untuk mimpi, berpikir, menyusun ujud-ujud baru, mencipta keindahan.

Lebih bersemangat dari yang pernah dialaminya, sadarlah ia bahwa kesenian mempunyai dua ketekunan yang tetap dan tak berakhir; seni selalu bersemadi tentang maut dan disamping itu selalu menciptakan kehidupan. Ia yakin bahwa ini berlaku untuk semua kesenian besar dan sejati; demikianlah karya seni yang dinamakan Friman Santa Johan serta semua karya yang telah melengkapkannya dari abad ke abad.

Ia gembira menghadapi waktu sedikit hari lagi yang hendak disisihkannya untuk dipergunakannya seorang diri, jauh dari universitas dan dari rumah, supaya ditulisnya sajak untuk memperingati Anna. Di dalamnya akan disiapkannya semua hal seada-adanya yang oleh penghidupan ditebarkan dalam perjalanannya –beberapa gambaran tentang segi-segi terbaik dalam watak Anna; Tonya yang sedang berkabung; beberapa persitiwa ketika pulang dari melayat; jemuran yang tergantung di tempat ia menangis dulu sebagai kanak-kanak, dimana taufan mengamuk.
***