Dokter Zhivago 51

Boris Pasternak (alih bahasa Trisno Sumardjo), disalin dari terbitan Djambatan, Maret 1960.

Rumah sakit tempat Yury sembuh kembali di bagian perwira, telah diungsikan dan rupa-rupanya dilakukan orang dalam kota kecil di depan rel kereta api, dekat markas besar Umum. Hari panas pada akhir bulan Februari. Jendela dekat ranjangnya tebuka.

Pasien-pasien membuang waktu sebelum makan siang. Mereka dengar ada jururawat baru dipekerjakan pada staf rumah sakit dan hari itu akan pertama kali keliling. Dalam ranjang di seberang Yury, Galiullin sedang melihat-lihat surat kabar yang baru datang dan marah-marah keras tentang tempat-tempat kosong, akibat penyensoran. Yuri membaca surat-surat Tonya yang diantar ke pos lapangan dalam seberkas kiriman. Angin menggerisikkan surat dan orang. Mendengar bunyi langkah ringan, iapun mendongak. Lara masuk kamar.

Baik Yuri maupun Galiullin ingat akan dia, meskipun yang satu tak mengira bahwa yang lain mengenalnya, sedangkan Lara tak ingat kedua-duanya. Ujarnya; “Apa kabar? Mengapa jendela terbuka? Tidak kedinginan?” Menghampiri Galiullin, ia bertanya bagaimana ia merasa, lalu memegang pergelangannya guna mengetahui detak nadi, tapi seketika itupun ia melepaskannya dan duduk di sisi ranjang, sambil memandangnya dengan ungkapan ragu-ragu.

“Sungguh tak terduga, Larissa Fyodorovna,” kata Galiullin. “Saya kenal suami nyonya. Kami seresimen. Saya simpan baran-barang ini untuk nyonya.”

“Mustahil,” katanya berulang-ulang, “mustahil. Tuan kenal dia! Kebetulan sekali, luar biasa. Lekas ceritaakanlah, bagaimana terjadinya. Ia tewas kena granat, bukan, dan teruruk oleh ledakan? Tuan lihat sendiri, saya sudah tahu, jangan kuatir menyampaikan halnya padaku.”

Keberanian Galiullin lenyap. Diputuskannya menceritakan kebohongan yang menyenangkan.

“Antipov ditawan. Ia terlalu jauh ke muka beserta kesatuannya. Dikepung dan hubungannya terputus. Ia terpaksa menyerahkan diri.”

Namun ia tak percaya. Terharu oleh pertemuan setiba-tiba ini dan karena tak ingin dilihat orang-orang lain pada saat ia tak menguasai diri, larilah ia ke dalam gang.

Sejurus kemudian ia kembali, tenang pada lahirnya; kuatir akan menangis lagi bila bicara dengan Galiullin, sengaja ia tak melihat padanya dan mendekati Yury. “Apa kabar. Bagaimana rasanya?” tanyanya dengan suara merata.

Yury menyaksikan kerusuhannya dan air matanya tadi. Ia ingin bertanya mengapa sebingung itu, ingin menuturkan bahwa ia pernah melihatnya dua kali dalam hidupnya, sekali sebagai anak sekolah, kemudian sebagai mahasiswa, tapi ia kuatir akan menganggunya, pun ia mungkin akan salah paham. Lalu diingatnya tiba-tiba hari Natal bertahun-tahun yang lampau, keranda dengan jenasah Anna serta jerit pekik Tonya. Ia berobah pikiran dan berkata.

“Terimakasih. Saya dokter, dapat menjaga diri sendiri. Tak perlu apa-apa.”

“Mengapa ia seperti sakit hati?” pikir Lara. Heran ia menatap orang yang tak dikenalnyua itu dengan hidung pesek dan mukanya yang biasa,

Berhari-hari hawa redup, tak menentu dengan angin hangat yang berkerosok waktu malam berbau tanah basah.

Selama itu ada kabar-kabar aneh dari Markas Besar Umum dan desas-desus yang mengkuatirkan dari pedalaman. Hubungan telegram dengan Petersburg berkali-kali terputus. Dimana-mana, di tiap sudut, orang membicarakan politik.

Jururawat Antipov keliling tiap pagi dan sore, bertukar kata sedikit dengan tiap pasien, termasuk Galiullin dan Yury. “Mahluk aneh,” pikirnya tentang Yury. “Muda dan perengut. Tak dapat disebut tampan dengan hidung ungkitnya itu. Tapi ia cerdas dalam artian setinggi-tingginya, penuh hayat dan pikirannya menarik. Walaupun bagaimana itu bukan urusanku. Urusanku di sini menyelesaikan pekerjaan selekas-lekasnya, lantas pulang ke Moskow agar dekat Katya, kemudian minta dibebaskan dari pekerjaan juru rawat dan pulang ke Yuryatin, balik ke sekolahan. Sekarang sudah terang benderanglah apa yang terjadi dengan Pasha, tak ada harapan, jadi kian lekas aku berhenti berperanan pahlawan ini, kian baik. Aku tak terdampar di sini, andaikata aku tak mencari Pasha.

Bagaimana dengan Katya di sana, pikirnya, kasihan si yatim! Itulah selalu membuatnya menangis.

Baru baru ini dilihatnya ada perobahan besar di lingkungannya. Sebelumnya ada segala macam tugas, kewajiban suci ; kewajiban terhadap tanah air, tentara, masyarakat. Tapi kini setelah kalah perang, dan bencana ini mendasari yang lain-lainnya, segala hal agaknya hilang, tak ada lagi yang keramat.

Segala-galanya tiba-tiba berobah, nada, iklim akhlak; orang tak tahu apa hendak dipikir, siapa akan didengarnya. Seolah seumur hidupnya ia selalu dituntun seperti anak kecil, lantas sekonyong-konyong ia sendirian, harus belajar berjalan sendiri. Tak ada siapa-siapa di sekitarnya, kerabat atau orang lain yang pendapatnya dapat dihormati. Pada waktu demikian terasa kebutuhan untuk berserah diri pada yang mutlak -hidup atau kebenaran atau keindahan- untuk diatur olehnya sekarang karena tata tertib bikinan manusia telah tersisihkan. Orang ingin menyerahkan diri pada tujuan tertinggi demikian, lebih banyak lebih siap sedia dari yang pernah dibuatnya dulu dalam waktu damai yang telah dikenalnya, dalam penghidupan lama yang kini dibuang, lenyap selama-lamannya. Tapi dalam halnya sendiri, demikian Lara memperingatkan diri, ada Katya untuk memenuhi kebutuhannya akan sesuatu yang tak bersyarat, kebutuhan akan mempunyai tujuan. Karena Pasha kini tak ada lagi padanya, Lara tak hendak lebih dari seorang ibu saja yang mengabdikan seluru tenaganya pada anaknya, si yatim yang patut dikasihani itu.

Dari Moskow, Yury mendengar bahwa Gordon dan Dudorov tanpa ijinnya telah menerbitkan bukunya yang mendapat pujian dan dianggap mempunyai kemungkinan susastra yang besar; bahwa Moskow mengalami jaman kacau lagi rusuh, sedang menghadapi sesuatu yang penting; ketidak-puasan di kalangan khalayak terus meningkat, kejadian-kejadian politik yang gawat sedang menjelang.

Malam larut. Yuri ngantuk bukan main. Sekali-sekali ia terselap dan membayangkan bahwa segala kerusuhan akhir-akhir ini membuatnya bangun terus. Nafas angin yang ngantuk lesu menguap, bergerak di luar jendela. Angin itu meratap dan mengeluh: “Tonya, Sasha, aku rindu padamu, aku ingin pulang, aku ingin bekerja kembali.”

Diiringi gumam angin ini, Yury tidur dan bangun dan tidur lagi, dalam selingan gembira dan sedih yang keruh lagi cepat, bergairah dan gelisah bagai cuaca yang berganti-ganti, bagai malam resah.

Lara teringat bahwa setelah Galiullin menunjukkan jasa untuk mengenangkan Pasha dan bersusah payah menjaga barang-barangnya, ia belum pula menanyakan pada siapa dia dari mana asalnya. Ia mengecilkan diri sendiri.

Guna memperbaiki kelalaianya dan supaya tak disangka tak tahu budi ia tanyakan segala hal tentang diri sendiri, ketika esok harinya ia berkeliling lagi.

“Astaga,” serunya sesudah mendengar ceritanya. Jalan Brest dua delapan, keluarga Tiverzin, Revolusi 1905, musim dingin! Yusupka? Ia tak ingat pernah ketemua dia, maafkan saja. Tapi tahun itu, tahun itu, dan rumah itu pula! Benarkan pernah ada tahun demikian, rumah demikian? Jelas benar ia ingat semuanya kembali! Tembakan itu –dan bagaimana ia menyebutnya waktu itu? ; ‘Pendapat Kristus!’ Betapa kuat betapa tajam menusuk segala perasaan yang kita alami pertama kali sebagai kanak-kanak. “Maaf, maaf, Letnan siapa nama kecil dan nama keluarga tuan? Ya, ya pernah tuan sebut pada saya. Terima kasih Osip Gimazetdinovich, saya banyak hutang budi karena tuan mengingatkan saya, memulihkan semuanya dalam kenangan saya.”

Sepanjang hari kemanapun perginya, ia berpikir tenang ‘rumah itu,’ hampir bicara dengan diri sendiri dan keras-keras.

Coba pikir, Jalan Brest no. 28! Dan kini orang menembak lagi tapi jauh lebih menakutkan! Sekarang tak dapat dikatakan “Itu anak-anak yang menembak.” Anak-anak sudah dewasa semua, yang lelaki semua di sini, di tentara, semua orang bersahaja yang dulu tinggal. dalam rumah itu dan di rumah-rumah lain semacam itu dan di dusun-dusun yang juga seperti itu, mereka semua di sini. Betapa luar biasa, luar biasa benar!

Semua orang sakit yang tak harus tinggal di ranjang, masuk cepat dari kamar-kamar lain, berjengkang dengan ramainya pakai kruk atau lari-lari atau jalan dengan tongkat sambil berseu :

“Pertempuran di jalan-jalan Petersburg” Tangsi Petersburg bergabung pada pemberontak! Revolusi!.”
***bersambung