Jembatan Dukuh

Lagu duka buat istriku
Ajip Rosidi (1955) Djakarta Dalam Puisi Indonesia

Kita berdiri jauh di atas kota, angin lepas menusuk
Kita berdiri diam semua rintih disilirkan lembut
karena antara kira dan kota yang kita tinggali
karena antara rumah dan kita sendiri, tiada lagi hubungan
Kita kini berdiri terasing dari segala yang kita cintai
Mereka tidak ambil peduli tapi toh sebagian dari hidup dan daging kita sendiri
Ingin mendekapkan wajah ke dada kota karena cinta padahal sudah tak ada lagi jabat tangan, semua lepas seperti tangan yang sudah kelu terkulai lemar
Kota yang dibangun dan megah berdiri di depan kita tidak punya tempat buat kita, pun kita terusir dari pojok-pojoknya yang paling hina

Malam-malam dingin dan pekat, kita masih berjalan
Rumah-rumah besar dan megah kita lewati tegap dan angkuh tapi kita musti terus berjalan menyusuri malam, menyusuri kepekatan untuk sejemput harapan, untuk sejumput kecintaan

Berdiri lama-lama dalam lorong penuh nafas megap-megap berhenti lama-lama di jalan-jalan terang penuh cahaya tapi senyap
Bulan yang tergantung lemah kehilangan indah, pucat mega yang melekat di langit, saat-saatpun lewat dan kita musti terus menyusuri malam, mengucur hujan di badan
Bukankah kita warga kota yang cinta kepadanya?

Ada daerah penuh rumah-rumah indah dalam malam mandi cahaya
Ada daerah bersesakkan gubuk-gubuk, gelap dan melarat dari bocah-bocah yang tersita daerah mainnya, menghitung-hitung jam di jari-jari tangannya, gosong, dan terasing
Bukankah merka warga kota yang cinta kepadanya?

Jauh dalam malam di liku-liku lorong samar sinar
Jauh dalam malam di rusuk-rusuk tulang kota terbujur tubuh-tubuh tersia, terkapar dalam sepinya bisik adalah bisik buat hati sendiri mengusap kening dengan mesra karena nasib yang sama kutukan dilepaskan, meluncur giling-giling malam disapa keasingan diri sendiri

Akan lelapkah kota tidur malam ini, sedang kita gelandangan, padahal kita warga yang mencintainya? Akan cenderakah tangan yang mengulurkan kasih sedang kita dilewatinya, walau kita warganya setia?

Pandanglah kota di bawah yang megah dan sibuk sekali
Pandanglah redup oleh kesia-siaan yang mesra, karena antara kota yang kita tinggali dan rumah kita sendiri
Padahal kita warganya yang setia cinta padanya

Tangan yang digenggamkan sudah lepaskan harapan demi harapan
Hati yang berdegup sudah lekapkan darahnya ke bibir mati
Tanpa satu yang bisa diperdapat, karena kitapun tak percaya pada kekuatan tangan dan degup hati sendiri
Jauh dalam malam di liku-liku lorong samar sinar membujur
kesepian dan hidup tak ambil perduli

Lorong-lorong yang kita jalani, penuh nafas-nafas megap
Jalan-jalan hitam dan bening penuh rumah mandi cahaya adalah tempat tinggal kita, tapi kita terasing daripadanya
***