Adakah Surga Untuk Mak? – Syifa Aimbine

”Mak, aku mau belajar ngaji!”

Loli berhenti memulas bibir dengan gincu berwarna semerah darah. Ia menoleh sebentar ke arah Dian, putri semata wayangnya yang tahun ini sudah masuk sekolah dasar -kelas dua atau tiga… Loli agak lupa. 

“Buat apa?” jawabnya sekenanya dan melanjutkan memulas bibir menjadi semerah darah, lalu meraih kembali puntung rokok, yang sudah sependek ruas jari kelingkingnya. Hisapan terakhir, sebelum mematikan bara filter putih pada asbak aluminum yang hampir penuh dengan puntung miliknya dan para tamu.

“Teman-teman Dian ngaji semua, Dian mau ikut ngaji dari pada ikut Ibu ke sini… Berisik,” protesnya.

Bunyi musik bertempo cepat memang hingar bingar terdengar, bukan hanya dari petakan yang disewa Loli. Semua rumah di lokalisasi memang memutar musik berisik yang hampir sama. Belum lagi lampu disko yang berkelap kelip dengan penerangan yang sengaja dibuat temaram. Jelas bukan lingkungan untuk belajar. Namun Loli tidak punya pilihan, ia masih belum yakin meninggalkan Dian sendirian di rumah kontrakannya yang lumayan jauh dari tempat kerjanya.

Pun ada soal kebiasaan. Sejak masih balita Dian sudah sehari-hari hidup di tempat ini, ikut Loli bekerja dan beristirahat. Baru setahun, Loli menyewa rumah kontrakan, setelah beredar kabar lokalisasi kelak akan ditutup pemerintah kota.

“Mau dijadikan masjid,” cerita salah seorang rekannya.
“Cih… bekas bisnis lendir mau dijadikan tempat ibadah? Emang Tuhan mau terima?” sinis Loli.
”Hahaha, gak tau dah kalau itu. Yang penting sekarang lu ikut gak, pindah?”
“Ke mana? Kebon sawit? Ih, ogah. Emang di sana ada pelanggannya apa?”
“Ada, monyet.”
“Lah ngapain jauh-jauh, di sini juga pelanggannya monyet semua.”

Walau disudahi gelak tawa, Loli tahu mereka semua kecewa. Mereka harus berpikir mencari kerja lain tapi apa yang bisa dilakukan selain menjual diri. Orang boleh bilang mereka adalah pekerja seks komersial, tapi itu omong kosong besar. Mereka semua menjual diri, atau lebih tepat menyewakan diri sejam atau dua jam, syukur-syukur seharian biar dapat lebih banyak. Nyatanya tak ada yang membeli dan membawanya pulang bersama Dian namun hanya sekedar menyewa.

Loli kembali memandangi Dian dengan seksama. Anaknya sedikit tak biasa dibanding anak-anak lain di lokalisasi. Dian sejak kecil lebih senang menyendiri dari pada bermain dan meniru-niru makian kotor, gaya mabuk, dan merokok seperti anak lain. Ketika anak-anak lain asyik bermain dan menari-nari, Dian duduk menyendiri di sudut yang sepit. Dian tak pernah suka keributan. Makanya sejak pindah ke kontrakan baru, Dian terlihat lebih senang dan beberapa kali menolak ikut ke tempat Loli kerja. Tapi Loli belum siap jika anaknya ditinggal sendirian di rumah.

“SPP-nya berapa?” tanya Loli akhirnya.

Sebenarnya ia bahagia jika Dian ingin belajar agama agar tidak jadi mengikuti dirinya yang tenggelam dalam dosa melayani nafsu para pria. Namun, ada sedikit kekhawatiran yang sulit ia kemukakan. Mungkin juga hanya rasa bersalah menjalankan hidup yang tak pantas jadi panutan anaknya.

”Boleh Mak? Gak Mahal kok, malah kata Nek Ima boleh gak bayar”

Loli mengerutkan kening, “Nek Ima yang ajar?”

Dian mengangguk. Meski lampu di ruangan itu remang-remang, Loli bisa melihat bola mata anak itu berbinar seterang mata kucing di kegelapan. Ada rasa hangat menjalar di hati Loli, semua ibu pasti ingin anaknya pintar mengaji dan kelak mendoakan ibunya masuk surga. Apalagi Nek Ima adalah di tetangga di rumah kontrakan, sehingga Dian mungkin bisa ditinggal. Perempuan sepantaran ibunya di kampung itu juga cukup ramah dan sesekali datang membawa sekantong rambutan untuk Dian. Dan Nek Ima adalah salah satu tetangga yang tidak pernah mengungkit pekerjaan Loli. Jadi, Loli percaya dan senang jika Nek Ima memberi les mengaji pada Dian.

”Oke. Tapi selepas ngaji, kamu gak boleh ke mana-mana lagi, langsung pulang, kunci pintu, tidur. Jangan…”
”Nyalain kompor, colokin listrik… iya, iya, Mak, Dian tahu,” potongnya.
”Baguslah, ya sudah kamu masuk kamar belakang sana, sebentar lagi tamu mak dateng.”

Dian pun lekas berlari menuju kamar belakang yang terpisah dari petakan induk sewaan. Sebenarnya lebih seperti kandang dengan dinding triplek. Namun Dian lebih bahagia di tempat itu. Ia tak perlu bertemu pelanggan ibunya yang berwajah culas dan menggeram liar seperti binatang melihat ibunya mengenakan baju tanpa lengan dengan belahan di bagian dada yang rendah. Di kandang tripleks itu pula, ada kasur tipis dengan alas selimut yang bisa membuat Dian lelap tertidur. Menjelang subuh, Loli akan datang, menciumnya lembut, menggendongnya pulang ke rumah kontrakan guna melanjutkan tidur dan siap bangun pagi untuk berangkat sekolah. 

***

”Mak…,kapan Mak berhenti menjadi pelacur?”

Loli terjaga seketika, padahal sejak tadi matanya sulit terbuka. Tadi malam ramai tamu yang datang: ada enam pria yang harus dia layani. Agar tak terlalu lelah, dia tenggak dua sloki whisky untuk membuatnya sedikit bertenaga dan juga sedikit melayang di awang-awang, bukan bekerja di dunia nyata. Namun, ujungnya seperti pagi ini, ia akan lemas tak bertenaga. Tubuhnya meriang, matanya berat, dan jika dipaksakan bangun lulutnya akan gemetaran. Maka ia memilih tidur seharian.

Tapi pertanyaan Dian sontak mengejutkannya. Rasa remuk seperti dipukul ribuan palu di seluruh tubuh musnah seketika. Emosinya memuncak. Bagaimana Dian bisa mengatakan hal itu padanya? Tanpa sadar, tangan Loli melayang di pipi putih Dian. Anak itu terkesiap.

“Siapa yang ngajarin kamu ngomong gitu!!!” cecarnya.

Dian terkejut, terisak pelan, lalu meraung keras. Ini kali pertama ibunya memukul: satu tamparan yang membuat panas pipinya. Loli mengguncang bahu Dian tanpa perduli raungan keas putrinya. Ia terlalu marah dan malu mendengar pertanyaan yang pertama kalinya keluar dari mulut putri kecilnya.

Dian melepaskan tangan ibunya, lalu berlari ke luar rumah. Masih dengan emosi memuncak dan kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul, Loli mengejar. Dian lari ke halaman tetangga, menghampiri Nek Ima yang tengah menyapu halaman rumahnya yang ditanami cabe dan rimpang-rimpangan.

”Dian! Sini kamu!”

Dian mengintip dari balik tubuh Nek Ima. Ibunya kini terlihat lebih mengerikan dari Hantu Kuntilanak yang ada di TV. Tubuhnya gemetaran, tangisnya makin sekeras sirene ambulan yang meminta jalan.

”Kenapa ini, Li?” tanya Nek Ima. Perempuan paruh baya itu ikut terkejut melihat Dian yang mendadak lari bersembunyi di belakangnya, disusul Loli yang datang dengan daster lusuh, rambut semerawut, dan mata murka. 

“Gak usah ikut campur, Buk. Sini kamu Dian, sini! Siapa yang ngajarin kamu kurang ajar?” pekiknya.
”Sudah, Nak Loli, kita bicara di dalam sana….” 
”Saya mau bawa Dian pulang kok, sini kamu, Dian!”

Dian malah makin ketakutan dan makin menguatkan cengkeraman di belakang tubuh Nek Ima, yang berusaha menenangkan Loli.

“Dian biar sama saya dulu. Kamu tenangin diri sana… Jangan emosi, kasian anakmu sampai ketakutan.”
“Gak usah ikut campur, Buk. Jangan-jangan Ibuk yang ngajarin Dian jadi kurang ajar.”
“Astagfirullah, Loli, kamu bicara apa? Ngajarin apa…”
“Dian!” pekik Loloi semakin keras.
“Gak! Dian gak mau sama Mak, Mak jahat, Mak pelacur… Kata guru Dian, pelacur itu masuk neraka. Tubuh Mak akan disetrika bara api. Dian gak mau punya Mak pelacur. Nggak mau!!!” balas Dian tak kalah kerasnya. Beberapa pintu tetangga lain mulai terbuka. 

Loli makin kalap. Emosinya menusuk ujung ubun-ubun, matanya mengabur. Sesuatu dalam dirinya seolah bangun, menyeringai, menghembuskan hawa dingin yang gelap, dan meracuni akal sehatnya. Di salah satu sudut pandangannya menangkap batu sebesar kepalan tangan. Cepat diraihnya batu itu dan cepat pula diraihnya Dian dari balik tubuh Nek Ima. Hawa dingin yang gelap itu juga bekerja amat cepat menghantamkan batu ke kepala putrinya.

Lalu semua menjadi gelap dan dingin.

***

Lantunan suara orang mengaji mengalun merdu dari mushola penjara. Di dalam salah satu sel seorang perempuan bermukena putih duduk di atas sajadah lusuh berwarna hijau lumut. Beberapa jahitan di sajadah tua itu sudah terlepas, memperlihatkan bahan dasar berwarna coklat pudar. Terdengar isak tangis dan pelan-pelan menjadi panjang dan pilu, seperti auman serigala di hutan yang sepi. 

Perempuan itu mengeluarkan selembar foto dari seragam biru tahanan: seorang gadis kecil sedang tekun menggambar di kandang berdinding triplek. 

Raung tangisan semakin panjang dan pilu. Rasa perih di kulit yang sudah menjadi koreng tak dirasakannya lagi karena dia akan terus menggaruk, menggaruk, dan menggaruk seluruh tubuhnya hingga kukunya menghitam seperti bara arang di mesin setrika. 

“Maafkan mak, Dian… Lambaikan tanganmu nak, untuk menjemputku ke surga.”
***

Depok, 22 Agustus 2022

Syifa Aimbine, Ibu dua anak berzodiak Taurus ini mulai belajar menulis fiksi sejak pensiun dini dari profesinya sebagai dosen. Salah satu karyanya yang berjudul ‘Rentak Zapin’ dan ‘Jejak Luka’ sempat menjadi salah satu cerpen pilihan Laman Cipta Sastra Dewan Kesenian Riau 2022. Beberapa karyanya dapat ditemukan di media lain di antaranya ‘Emas dan Batuk Karman yang Menggila’ (Kompas, September 2023), Mimin, Ibu dan Ayah-ayah’ (Ceritanet, Agustus 2023), dan lain-lain. Ikuti laman Facebooknya: @SyifaAimBine.