Titah Nenek Terasi dan Anak Sekolah yang Tak Tergugah – Aminatul Faizah

Penjual pisang tengah berjejal penuh, menggoreng di antara gugusan pelepah pisang yang memadat. Anak itu bertanya pada dirinya sendiri. Bertanya tentang pelepah pisang yang menyerap air tiada tersisa untuk yang lain, tetap hijau di tanah yang ia gembosi tiap hari. Tiada mampu kuasa bertanya kenapa dan apa yang akan ia berikan setelah mengambil. Tiada yang bisa menjawab.

Tapi seorang nenek di bawah pohon tersenyum seolah yang diapertanyakan adalah sesuatu yang konyol. Ia tertawa tentang kaum muda yang bertanya. Ia tahu rahasia kehidupan bijak namun licik, dan ia tahu manusia macam apa yang ada di atas.

“Untuk perut mereka mencuri…untuk kekuasaan mereka berbohong.”

Anak itu hanya diam. Tak percaya dengan titah nenek tua penjual terasi: bagaimana mungkin tahu tentang kehidupan sementara ia tak pernah mampu menjulang masa tua dengan karir yang membanggakan. Apa hebatnya penjual terasi? Pekerjaan terakhir yang akan dipikirkan seorang yang pandai namun putus asa karena tak punya biaya sekolah dan pupus karena dunia pendidikan tak pernah memihaknya.

Si anak meneruskan diam, ia acuh tak acuh dengan tetuah si nenek. Pertanyaan tentang pelepah pisang sudah punah. Lalu dengan pongah beranjak meninggalkan si nenek karena bau terasi yang menyengat. Ia sedikit kalap dengan kemiskinan. Kenapa orang terlahir malas tak berpikir jauh tentang ancaman kemiskinan jauh di belakang masa-masa hidup di ujung sana kelak. Mimpi kesempurnaan yang ia idamkan menyeruak namun di jiwanya hanya ada pertanyaan.

Si nenek tak ambil pusing. Ia biarkan bau terasi menyeruak di lorong pasar. Satu dua menutup hidung walau menyantapnya dalam porsi-porsi sambal yang menggiurkan. Dia sudah lama menatap pembeli yang munafik dan menebar senyum tajam di kedua ujung bibirnya. Tapi ini jual beli di pasar, si penutup hidung tak perduli senyum tajam dan si nenek tak perduli kepekaan hidung. Ini jual beli. Bisa cepat bisa pula lambat tapi tetap jual beli. Bisa kerja keras bisa pula licik, tapi ada yang menjual dan ada yang membeli. Rakyat membeli mimpi, pemimpin menjual bual.

Si anak diam. Harusnya si nenek tak perlu mengais lagi di lorong. Harusnya, ia sudah pensiun seperti oma.

“Omaku adalah pensiunan pegawai negeri. Kalau kita rajin belajar maka kita akan sukses. Dan jika kita sukses maka kita bisa menikmati hari tua, seperti oma.”

Si nenek tersenyum, menggeser terasi di pinggir tampah yang hampir jatuh. Seekor lalat terbang lepas dari terasi itu, pindah ke terasi yang di tengah. Bau terasi yang terbawa angin menjamah hidung si anak sekolah. Dia bergegas.

“Percuma kau rajin belajar jika kau tak didukung mereka. Bagaimanapun uang akan mengubah jalanmu lebih mudah.”

“Kepandaianlah yang mengubah semua,” jawab si anak sambil menahan langkahnya.

“Jika kau punya uang dari mamak…nenek…oma…ompung…atau dari atokmu maka itu akan lebih mudah. Kau adalah binatang yang kuyakin tak akan mampu hidup di rimba kemiskinan. Lalat-lalat lebih punya semangat bertahan hidup,” si nenek bergumam cepat, mengibas-ngibaskan tangan di atas terasi yang dibaringkan di tengah tampah. Lalat-lalat berterbangan.

Ada tujuh ekor lalat, hitung si anak dalam hati.

Nenek penjual terasi ingin agar si anak tak mengantungkan diri pada empunya. Mengatakan dengan sedikit kesadaran bahwa uang adalah jalan untuk memuliakan tujuan, mempermudah jalan, dan memuluskan langkah. Uang adalah senjata pamungkas.

“Buat apa beruang jika tak pintar?”

“Buat apa pintar jika tak beruang. Tahukah engkau berapa manusia lebih mumpuni hidup di lorong ini? Dia lebih pandai darimu dan dulu lebih giat belajar darimu, sebelum mereka sadar kepandaian dan kerja keras tanpa dukungan mereka cuma omong kosong yang laris di lorong pasar berbau terasi…”

“Apa?” anak itu berhenti dan berbalik mendekati nenek penjual terasi. “ Tahu apa nenek tentang sekolah…jikalau nenek hanya mencari udang dan melumatkannya.”

“Lihat di sana…anak yang memanggul adalah juara kelas. Tapi dia selesai karena mamaknya, bapaknya, neneknya, atoknya tak punya uang…Dia kembali menjadi miskin dan akan mewariskan kemiskinan kepada cicit buyutnya. Anak itu miskin dan seluruh generasinya akan terus miskin,” si nenek menunjuk seorang anak laki-laki yang tengah menaruh sekarung beras di atas becak.

“Kau di sekolah belajar apa?” sambung si nenek menatap tajam mata si anak. “Sekarang lihat lagi di sana…Anak di balik jendela mobil itu. Kau tanya satu kilogram terasi sama dengan berapa ons, apakah dia tahu? Tapi bapaknya kaya, dan bapaknya kaya karena kakeknya kaya, dan kau pikir kakeknya kaya karena kerja keras?.”
 
“Inilah duniaku, duniamu… negaramu dan bangsamu yang semakin bau, lebih bau dari terasi.”

Si anak diam. Di sekolah, di rumah, di masjid, ia yakin pada semburan nasihat agar mengantungkan cita-cita setinggi langit. Dengan cita-cita kita akan maju dan terus berjalan untuk menggapainya atau berlari. Sedang si nenek penjual terasi hanya yakin pada uang dan berkisah tentang orang-orang terbuang karena pupusnya kemampuan mereka mengubah takdir.

Si anak tak tergugah.
 
“Lalu kenapa kau hanya menjual terasi jika kau orang pandai?”
 
“Karena negaramu hanya perduli pada jual beli, yang membeli hanya yang beruang dan yang menjual semakin beruang. Kalau kau tak punya uang, kau tak bisa membeli dan kalau kau tak beruang kaupun tak bisa menjual. Tanpa uang kau cuma bisa menjual terasi.”

“Tapi ada orang miskin yang sukses?,” si anak berseragam putih dan abu-abu itu mendekat untuk menantang namun terhenyak berhenti karena seekor lalat hijau terbang melintas hidungnya.

“Kelak kau akan bisa menghitungnya,” si nenek menguncang tampahnya. Bau terasi dan lalat bertebaran di ruang hampa antara dia dan si nenek.

Si anak diam dan mundur selangkah.

Si nenek diam memandang kosong terasinya. Baru sepotong terasi yang terjual dan seorang anak sekolah yang sok tahu telah menghina kemiskinan. Ingin ia berjumpa pada bapak anak itu, pada mamaknya, neneknya, dan melemparkan seluruh terasi ke ruang tamu mereka. Tapi terasi tidak akan mengubah apapun, bahkan sekedar kehidupannya sekalipun.

Diambilnya kain batik tipis peninggalan mamaknya dulu. Kain itu sudah seperti plastik transparan, tipis dan warnanya coklat pucat dengan sisa-sisa motif yang tak jelas lagi bentuknya. Dikibaskannya tangannya beberapa kali, lalat-lalat beterbangan dan cepat ditutupnya tampah itu dengan kain. Digengamnya sisa kain di bagian kiri dan kanan dan diangkatnya tampah ke atas kepalanya. “Kepalaku bukan berisi terasi…” diliriknya sekilas ke kiri dan ke kanan: anak sekolah tadi tidak terlihat lagi.

Ditinggalkannya lorong pasar. Beberapa orang menutup hidung, tapi dia sudah terlalu lelah untuk mengangkat ujung bibir guna menyebar senyum tajamnya yang sinis.

Dia diam namun bergejolak mencari anak sekolah tadi.
 
“Inikah aku? Tiada berguna? Benarkah dikatakan anak tadi? Benarkah yang dipikirkan orang-orang? Benarkah oma si anak itu adalah orang yang sukses.”

Dia berbelok di ujung lorong, menelusuri tempat parkir dan melintasi sekelompok anak sekolah yang duduk bergerombol di atas sepeda motor.

Terhenti sejenak, si nenek menyapu mata anak-anak itu: tak dia temukan mata yang tadi.

“Nek, jalan terus sana nek, bau terasi,” suara seorang anak di bagian belakang dan seorang anak lain meludah.

“Jalan…jalan…jalan nek,” kata suara yang lain.

Si nenek tersadar. Mata yang tadi tak terlihat atau mungkin anak sekolah itu sudah mengganti sorot matanya. Dia lanjutkan jalannya, menunduk, dan meludah: “puih.”

Di gerbang pasar, dua orang anak perempuan melintas di depannya. Keduanya melotot ke arahnya sambil menutup hidung.

Diangkat hidungnya, dia tidak mencium terasi tapi semerbak bunga. Diikutnya sepintas semerbak bunga itu, setengah bergegas tapi gerakan tampah di atas kepalanya membuat bau terasi menyebar kembali. Dia beratkan langkahnya, memelan, dan kembali menunduk, meludah: “puih.”

Petang itu, lampu-lampu jalan mulai menyala, redup dan pelan-pelan menerang, putih benderang. Ingin dia meludah ke lampu itu, tapi terlalu tinggi.

Jadi ditundukkan kepalanya dan dia meludah keras-keras “puih… puih… puih…”

Ia berjalan…nun…nun…nun…jauh menuju titik kiblat
***
Gresik, 16 April 2010