Maling dan Ustadz

Imron Supriyadi

Di Kotabumi aku melanjutkan sekolah di Madrasah Aliyah GUPPI, lembaga pendidikan Islam swasta yang sebenarnya tak begitu bonafide. Tetapi bagiku kualitas sekolah bukan satu-satunya penentu manusia akan terlahir menjadi baik atau buruk. Semua tergantung individunya. Walau aku sekolah di lembaga pendidikan yang baru tiga tahun berdiri, dari materi yang kuperoleh sedikit banyak telah menambah wawasan keilmuan ke-agamaan.

Lagipula sejak awal ketika masuk Madrasah, aku memang mengambil jurusan ilmu-ilmu agama. Semula pilihan ini hanya didasari oleh kebencian terhadap pelajaran matematika, fisika, dan kimia. Tetapi nyatanya ketika masuk ke kelas II Aliyah, aku masih juga bertemu dengan si matematika itu. Apa boleh buat, aku tak bisa lari dari kenyataan, namun tetap meneruskan pilihanku untuk ilmu-ilmu agama.

“Hidup itu bukan untuk ditakuti, tetapi harus dihadapi,” begitulah pesan ayahku yang selalu saja memberiku semangat agar aku mengeluh dalam keadaan bagaimanapun.

Di Kotabumi aku sebenarnya tidak pernah berpikir bagaimana aku bisa makan dan minum karena tugasku hanya sekolah saja sedang semua urusan perut sudah ditanggung paman dan bibi. Masuk ke Kotabumi, jelas membuat aku harus meninggalkan semua kegiatan yang berbau ‘geng’ sebagaimana di Metro. Hidupku dikatakan berubah 180 derajat. Aku lebih sering terlibat dalam kepanitian berbagai acara di sekolah dan sekaligus aktif di remaja masjid.

Bahkan suatu ketika, aku juga diberi kesempatan menjadi utusan lomba pidato dan lomba khotbah Jumat yang mewakili remaja masjid Nurul Ihsan Sekip, Kotabumi. Untuk kedua nomor itu. aku berhasil meraih juara satu, Dan keberhasilan itu mengantarkan aku -setiap kali Bulan Ramadhan- mengisi kultum di beberapa masjid dan musholla di Kotabumi, terutama setiap ba’da Ashar di sekolah.

Aku menduga ayah bercerita tentang kehidupanku di Metro, entah itu aksiku bersama Genessis atau yang dianggap guna-guna gadis tetangga. Dugaan itu membuat aku lebih berhati-hati karena tidak ingin membuat paman dan bibi gusar dengan potensi negatif dari kehadiranku bersama mereka. Aku benar-benar menjadi anak manis yang tekun belajar. Selain ke sekolah, aku hanya pergi ke masjid atau ke rumah Edyi, yang sejak tiba di Kotabumi sudah bisa akrab seperti saudara.

Dari Edy aku belajar membuat spanduk. Sesekali -jika pas ada pesanan spanduk- aku diajak untuk ikut mengerjakannya dan jika sudah mendapat bayaran diapun kemudian membayarku. Berapa saja yang ia beri aku terima dengan senang karena memang aku membantunya bukan untuk mencari uang semata, tapi lebih karena bisa berkegiatan bersama. Pertemanan dan profesionalisme spanduk membuat kami berdua semakin hari semakin akrab.

Suatu kali, ketika paman dan bibi pulang ke Pulan Jawa sebentar, aku minta Edy menemaniku untuk menunggui rumah. Ada sepekan kami berdua menunggu rumah paman dan bibi. Pada suatu malam di tengah pekan. Edy punya inisiatif masak nasi goreng.

“Kau bisa masak nasi goreng?” tanya Edy.
“Bisa,” jawabku yakin.

Memasak nasi goreng, sayur atau apapun bentuk masakannya sudah tidak asing lagi buatku karena aku belajar cepat dari paman dan bibi, yang kebetulan rajin masak sendiri. Maka aku dan Edy menyiapkan bumbu dan api kompor. Setelah selesai, kutuangkan minyak goreng. Di dekat kompor, ada dua jerigen kecil dan aku yakin keduanya berisi minyak goreng. Setelah minyak mendidih, kumasukkan bumbu nasi goreng.

“Lif, kok minyaknya berbusa,” tanya Edy merasa aneh.
“Ini kan minyak bekas menggoreng telur. Jadi ya biasa berbusa begini,” kataku mantap untuk meyakinkan Edy walau di dalam hati aku juga bertanya-tanya, kenapa minyaknya berbusa. Kalaupun memang bekas menggoreng telur, kapan pula aku menggoreng telur?

Edy  kemudian mencicipi dengan sendok. Dengan hati-hati dia tiup nasi goreng panas dalam sendok.

“Gimana Ed?” tanyaku penasaran tak sabar melihat Edy hanya meniup-niup.
“Beuih!” Edy memuntahkan nasi dari mulutnya. “Kok pahit, Lif?”

Aku tidak langsung percaya walau memang rada curiga dengan nasi gorenganku, Tapi bisa saja mulut Edy sariawan dan pecah-pecah akibat pukulan lawan -mengingat dia suka latihan tinju- sehingga mulutnya terasa pahit.

“Beuih! kok pahit ya?!” aku menatap Edy kosong.

Nasi goreng itu akhirny kami buang, digani dengan mie instan. Keesokan harinya, aku penasaran dan masuk lagi ke dapur untuk memeriksa 2 jerigen kecil di sana. Barulah ketahuan -di pagi hari yang terang itu- kalau minyak goreng yang kami pakai sebenarnya adalah oli.

Di Kotabumi, prestasi sekolahku bisa dibanggakan. Sejak semester awal aku sudah menempati peringkat satu. Ini berarti sebuah peningkatan drastis karena di Metro aku hanya masuk dalam 3 besar terbaik, sampai akhir semester. Prestasi di Kotabumi ini membuat aku tersadarkan kalau ternyata aku bisa meningkatkan prestasi sekolah jika memang mau.

Dari prestasi inilah, aku dan Heri -teman sebangku yang memegang peringkat dua- serta Munawati terpilih sebagai peserta MTQ. Kami bertiga diutus ikut dalam lomba Fahmil Quran (Cerdas Cermat Al-Qura) di tingkat kecamatan dan berhasil lolos ke seleksi kabupaten. Memasuki tingkat Kabupaten, Munawati tak ikut lagi dan digantikan dengan Marsidi, dari Madrasah Aliyah Negeri Candimas.

Kesungguhan mengantarkan kami bertiga lolos sampai di tingkat Provinsi Lampung, namun saat seleksi tingkat nasional kami hanya mencapai peringkat kedua dan gagal berlomba di tingkat nasional di Yogyakarta. Walau kami siap menerima kekalahan itu, di hati kecilku ada sedikit perasaan kecewa dan malu karena tidak bisa mencapai yang terbaik. kami bertiga harus kembali pada fatawakkal ‘alallah. (bertawakallah kamu kepada Allah) agar tidak terus menerus dirundung kekalahan.
bersambung