Lebaran…di dalam bis

Ani Mulyani

“Bukkk,…”kepalaku terkena kipasan ransel seorang pria yang berdiri di depanku dan tidak ada kata maaf yang terucap dari bibirnya. Aku menggerutu dalam hati; ‘inilah resiko di dalam bis antar kota yang sesak penumpang.’

Kuhabiskan malam lebaran kali ini di dalam sebuah bis antar kota, karena aku masih harus bekerja sampai hari terakhir. Ketika orang-orang sudah bersiap merayakan hari yang sangat fitri, aku tetap berkutat dengan pekerjaan. Dan sudah bisa dipastikan peristiwa tahunanmenjelang liburan Idul Fitri kembali berulang; angkutan-angkutan antar kota atau propinsi berjubel oleh penumpang, jalanan macet penuh dengan kenderaan dari orang yang mau pulang kampung. Mudik lebaran mungkin sudah menjadi ritual dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia, bukan lagi sekedar tradisi berkumpul bersama keluarga dan orang-orang tercinta. Mungkin saja ada orang-orang yang sudah lebih menikmati seluruh perjalanan; mulai dari persiapan, kelelahan sepanjang perjalanan, hingga kelegaan tiba di tempat tujuan.

Jelas perjalanan bukan ritual buatku, tapi amat praktis karena aku bekerja di ibukota Republik Indonesia, yang bukan kota asal. Jadi dengan ransel dan beberapa tentengan akupun harus masuk bis antar kota untuk pulang. Di terminal sudah terasa sesaknya penumpang, padahal terminal sudah menjadi langgananku untuk pulang hampir setiap akhir pekan. Aku sudah sangat mengenal ‘peta’ terminalu, mulai tukang ojek, pedagang kaki lima, dan bis-bis antar kota. Tapi malam menjelang lebaran itu, aku harus meningkatkan kewaspadaan, kuatir dengan copet-copet amatiran maupun professional yang bertebaran di balik sesaknya penumpang.

Akhirnya bis yang kutunggu datang dan akupun bergabung dengan penumpang lain berebut tempat duduk; maklum, penumpang membludak tapi bis sedikit.

Kegesitanku berbuah tempat duduk yang layak. Kenapa aku sebut layak, karena aku bisa duduk. Mungkin terdengar soal kecil tapi dalam hari-hari biasa sekalipun aku sering berdiri sepanjang perjalanan. Walau tak ada tempat duduk lagi, aku ering tidak sabar ingin segera pulang dan rela berdiri selama berjam-jam. Bagaikan tentara pengawal istana presiden, aku berdiri berjam-jam diantara padatnya penumpang. Bis sudah penuh masih juga dijejal penumpang dan penumpang barupun tak keberatan masuk ke dalam bis yang sudah penuh, walau bis sampai seolah-olah miring ke kiri.

Badan pegal sudah pasti; berdiri tegang tanpa gerakan bebas selama berjam-jam, sampai menggaruk kaki yang gatal pun tidak bisa, Dan kalaupun berhasil menggaruk kaki yang gatal itu –karena demikian gatalnya jadi kuangkat kakiku– masih ada masalah menurunkannyat. Belum lagi pedagang asongan –tukang jeruk, air mineral, mainan anak, penjual koran– yang mondar-mandir memaksa menyelinap di sela-sela kecil antar penumpang yang tersisa.

Kalapun duduk tak selalu harus duduk yang layak; duduk di jok penutup mesin jelas tidak layak. Kurasakan pantatku memaanas dengan posisi membelakangi supir dan melihat ke samping. Setelah beberapa waktu kemudian baru aku bisa menghadap ke depan dengan posisi kepala normal, karena penumpang di sebelahku yang juga duduk di atas jok penutup mesin sudah lebih dulu turun.

Itulah maksudnya duduk layak tadi; di atas kursi yang memang disediakan untuk duduk.

Bis yang kutumpangi siap meluncur. Dari tempat duduk yang layak, aku bisa seperti menyaksikan diriku sendiri pada waktu yang lain; ketika menjadi penumpang yang masih saja masuk ke dalam bis walau sudah penumpang sudah berjubel berdiri. Dan pada malam lebaran, jelas siuasinya lebih berjubel lagi.

Ketika memasuki tol, kulihat antrean panjang mobil-mobil. Segala jenis dengan segala tujuan; mulai mobil kelas bawah sampai ke mobil mewah. Hendak kemana? Mungkin orang-orang itu juga punya pertanyaan yang sama dengan aku; mau ke mana aku dan para penumpang yang berdiri padat ini?

Aku hanya terdiam melihat pemandangan ke luar.Di sampingku seorang bapak gemuk membuat aku agak kewalahan karena hanya kebagian sedikit tempat duduk –‘yang penting duduk! Itu saja.’

Tapi ternyara kutatap mobil-mobil mewah dari jendela; andaikan saja aku di dalam mobil tersebut dengan tempat duduk yang nyaman, AC dingin, ransel bisa kusimpan di bagasi…

Pernah suatu siang ada kemacetan panjang dan aku hampir matang di dalam angkutan umum. Saking panasnya, begitu tiba seorang teman mengatakan mukaku sudah seperti tomat. Kalau roti masih hangat ya enak tapi kalau orang? Jelas fresh from oven tak layak untuk orang.

Tapi malam itu aku jelas tak dipanggang mesin yang panas. Juga aku naik bis. bukan jenis Colt L-300 yang bukan main ngebutnya. Konon kalau kendaran tersebut tidak bisa cepat maka tak laku, sehingga disebut ‘mobil setan’ dan cocok untuk para pekerja atau orang-orang yang mengejar waktu. Seolah tidak menghargai keselamatan manusia-manusia di dalamnya, supir mobil setan seenaknya saja menyetir Colt L-300.

Akhirnya sampailah aku di rumahku tercinta setelah perjalanan panjang dan sesak. Ttak lupa aku mengucap syukur kepada Allah. Satu penggal perjalanan usai dan berharap kelak angkutan umum yang kugunakan akan lebih nyaman dan keselamatan transportasi. Semoga… (tentu saja aku yakin seratus persen harapanku itu tidak akan terwujud saat perjalanan pulang usai lebaran, emangnya bisa disulap sim sala bim!)
***