Ke Filipina Aku Bepergian

Ani Mulyani

Udara begitu panas dan matahari terasa amat menyengat ketika pertama kali kuinjakkan kaki di tanah kelahiran Ferdinand Marcos. Pesawat mendarat dengan mulus di bandara internasional Filipina Ninoy Aquino; dari Benigno –suami dari Presiden ke 11 Filipina, Corazon Aquino.

Ninoy, sebagai politisi oposisi, dibunuh di bandara ini pada tahun 1983 sekembalinya dari Amerika Serikat pada era rezim Marcos. Tapi kematian Ninoy menggelinding menjadi gerakan People Power dan menggulingkan Ferdinand Marcos dan mengantarkan istri Ninoy, Corazon Aquino, menjadi presiden.

Setelah perjalanan cukup panjang dari Jakarta dan mampir sebentar di Singapura akhirnya aku dapat mengunjungi negara yang acap diguncang kudeta militer. Aku sedikit paranoid dengan cap kudeta militer dan membuatku sedikit was-was. Tapi aku sudah putuskan ke Filipina.

Awalnya adalah menuju Pulau Cebu, salah satu pulau penting Filipina yang indah walau ternyata waktuku tak cukup. Jadi –walau relatif sering dilanda kudeta militer—  aku yakin memilih Filipina, bukan Singapura yang sepertinya kering sejarah walau menjadi semacam pusat pertokoan belakang rumah bagi kebanyakan perempuan Indonesia.
 
Dan pandangan berwarna cap kudeta militer Filipina terasa sirna ketika menuju Makati City, pusat ibukota Filipina, Metro Manila. Pengaruh budaya Barat terasa di negara ini, mereka menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa kedua disamping Bahasa Tagalog. Ini amat memudahkan untuk bertanya-tanya di jalanan —“you will not be lost here, everybody speaks and understands English” begitu pemandu tour meyakinkanku.

Aku habiskan malam pertamaku di Ayala Avenue, sebuah jalan yang lebar di Makati City. Pusat bisnis Manila ini dibangun oleh Zobel de Ayala, di bawah bendera Ayala Corporation yang disebut-sebut sebagai lembaga keuangan tertua di Asia Tenggara. Dalam waktu singkat Makati tumbuh menjadi kawasan Wall Street-nya Filipina. Di Makati kita akan menemui bank, mall, hotel-hotel berbintang lima, pusat perbelanjaan terbaik, dan perkampungan elit. Seperti Jalan Thamrin dan Jalan Sudirman Jakarta, namun terlihat lebih rapi.

Makati adalah pusat bisnis Filipina yang sibuk, dan di baliknya adalah kelompok berpengaruh dalam kehidupan politik, sosial, dan ekonomi Manila. Kudeta militer atau politik di Filipina, katanya, harus menguasai Makati atau paling tidak mendapat dukungan dari Makati. Dan masih dapat kulihat para petugas keamanan berjaga di setiap sudut dengan senapan laras panjang dan anjing-anjing pelacak.

Sempat juga aku dicengkram  seram untuk pergi ke toko-toko, tapi pemanduku menegaskan Makati adalah daerah yang jauh lebih aman dibanding kawasan Metro Manila lain yang mempunyai catatan kriminalitas cukup tinggi.

Masyarakat Filipina sepertinya selalu bersiap dengan segala kemungkinan. Akhir tahun lalu sekelompok tentara melancarkan kudeta militer dengan mendobrak salah satu hotel ternama di Makati City, tapi upaya mereka tidak berumur lama. Selain ancaman kudeta, masih ada gerakan separatis Muslim di sebelah selatan Mindanao, atau pemberontakan Tentara Rakyat Baru (New People’s Army) yang beraliran komunis di wilayah-wilayah pedesaan.

Dan di tingkat politik, suasana juga tidak aman tentram. Selain kudeta akhir 2007, Presiden Gloria Arroyo digoyang dengan impeachment atau tuntutan mundur Agustus 2006 walau dia akhirnya selamat. Sementara tingkat kriminalias meningkat, dan –selayaknya negara-negara lain di Asia Tenggara— tak lepas dari kerusakan lingkungan seperti penebangan hutan dan polusi laut.

Filipina juga menhadapi i kepadatan penduduk di perkotaan –sekaligus pula kemiskinan di kawasan kumuh– akibat kurangnya lapangan pekerjaan di pedesaan dan tingkat kelahiran yang tinggi.

Tahun 2000, tanah longsor di kawasan pembuangan sampah akhir di Payatas, pinggiran Manila, sampai menewaskan sekitar 200 orang. Bencana longsor itu seperti membuka mata orang Manila, betapa tingginya gunungan sampah di sana dan betapa banyak orang yang tinggal di tengah-tengah sampah itu. Kehidupan yang tak bisa kubayangkan ketika menyaksikan kemegahan dan kemewahan Makati. 

Kutinggal Makati yang sibuk, menuju tempat pemakaman yang dulu bernama Fort McKinley dan sekarang bernama Fort Bonifacio. Beda dengan Makati yang meriah dan sibuk, tempat ini amat tenang. Kuhirup udara sejuk di halaman terbuka yang tidak terkesan sebagai pemakaman umum, tapi lebih sebuah taman, dengan ratusan salib-salib berjajar 

Di tempat ini beristirahat ribuan tentara –yang dikenal maupun tidak dikenal– yang gugur dalam sebuah pertempuran sengit Perang Dunia II. Inilah Manila American Cemetery Memorial Park; terawat sangat bersih, rumput-rumputnya konon didatangkan dari Amerika Serikat, di salah satu sisinya berdiri kokoh peta-peta Perang Dunia II dan nama-nama para serdadu yang gugur. Mungkin hanya Taman Makam Pahlawan Kalibata di Pasar Minggu yang mendekati Fort Bonifacio.

Banyak warisan budaya Filipina yang masih dijaga kelestariannya. etro Manila sebagai ibukota negara memang kelihatan lebih kumuh dibanding Jakarta, tapi peninggalan-peninggalan bersejarah tidak diabaikan. Aku mengunjungi sebuah benteng tua peninggalan Spanyol, di daerah Fort Santiago. Benteng itu berdiri di tepi Sungai Pasig –yang tak beda dengan Sungai Citarum yang tampak tercemar. Tapi benteng yang diberi nama Intramuros –dibangun pada masa penjajahan Spanyol tahun 1571— menunjukkan ada pengakuan dan penghormatan atas sejarah masa lalu.

Di Intramuros inilah pahlawan nasional Filipina, Dr. Jose Rizal ditahan dan menghabiskan hari-harinya sebelum di eksekusi tahun 1896. Jejak-jejak kaki Rizal ditandai dari mulai penjara di Intramuros sampai ke tempat dia dihukum mati, yang menjadi landasan bagi patunh kokoh patung Jose Rizal.

Benteng Intramuros ini sempat rusak, akibat pemboman pada masa perang dunia ke 2. Tak jauh dari benteng ini berdiri Katedral San Agustin, yang dinobatkan UNESCO menjadi situs peninggalan bersejarah di dunia. Sebagai kawasan wisata, terbukti pula bahwa pelestarian warisan budaya bisa juga membawa keuntungan praktis; pemasukan dari para turis.

Lima hari di Manila berhasil total membuatku keluar sebentar dari rutinitas kepenatan Jakarta. Walau lalu lintas Metro Manila setara dan sebangun dengan Jakarta, lalu lalang mobil angkutan rakyat Jeepney –yang menjadi ikon otomotif Filipina—membuat suasana Manila jadi amat berwarna.

Sebagian dari Jeepney yang berasal dari tahun 1940-an, dan bertambah banyak setelah tentara Amerika meninggalkan negara itu dan sekaligus meninggalkan Jeep-Willys. Pemanduku mengatakan Jeepney diambil dari kata jeep (jip) dan knee (lutut), artinya kita duduk berhadapan dan saling menyenggol lutut. Aku lepas tertawa teringat kebiasaan naik angkot di Jakarta; berhadapan dan saling menyenggol lutut juga. Tapi warna dan dekorasi Jeepney mungkin bisa membuat penumpang lupa dengan senggolang lutut di dalamnya.

Seandainya saja angkot di Jakarta tidak hanya sekedar berwarna biru, oranye, atau merah. Cepat aku bayangkan angkot dengan hiasan bermotif Batik, Ulos, Kain Ikat, atau mungkin gambar wayang? Anganku mungkin agak jauh, mungkin sama jauhnya dengan angan untuk lebih menjaga warisan budaya dan sejarah di Indonesia.
***