Istriku

Martin Siregar

Penerbit : Lembaga Pengkajian dan Studi Arus Informasi Regional
Pontianak (diterbitkan sebagai hasil kerja-sama Ford Foundation dan Ikapi Pontianak)
Harga : Rp.23.000,-

Semboyan bahasa Indonesia tahun 80 an ‘Pakailah Bahasa Indonesia dengan Baik dan Benar’ tidak perlu dipatuhi, karena kumpulan cerpen unkonvensional ini ditulis dengan dasar ‘”Memakai bahasa Indonesia yang Gampang Dimengerti.’

Perkara kata atau kalimat sesuai atau tidak sesuai dengan bahasa Indonesia adalah hal yang dinomorduakan, dan itulah sebabnya kumpulan cerpen ini saya sebut dengan istilah unkonvensional, walau dapat dituduh sekedar cari sensasi.

Buku setebal 126 lembar ini berisi 10 judul cerpen, atau lebih tepat disebut catatan perjalanan hidup. Delapan cerita adalah pengalaman kehidupan empirik, dan hanya dua cerita yang layak disebut sebagai cerpen; fiksi. Berikut cuplikannya.
***

…Kami akan repot apabila jambu air sedang panen besar. Tangan anak anak langsung gatal memetik buah yang belum masak dan membiarkan daun daun bertebaran mengotori halaman rumah. Istriku yang paling sewot gara gara ulah anak anak ini. “Hayo! jangan petik buah yang belum masak.” Teriak isteriku. Anak anak diam saja saling menatap dan segera kabur.

Tapi, kalau istriku tak berada di tempat dan anak anak melihat aku di rumah, maka merekapun segera bisik bisik, kemudian; “Bos…boleh minta jambu?” kata mereka. Ndak apalah aku dipanggil boss. “Ya boleh,” kataku bermurah hati. “Tapi jangan makan sekarang. Nanti kalau sudah makan nasi di rumah baru makan jambunya. Jangan ada yang manjat. Ini ada dua galah yang boleh kalian pakai.”Tanpa kusadari suaraku kedengaran seperti seorang boss jambu yang murah hati. Kuberikan dua galah. Aku masuk lagi ke dalam melanjutkan pekerjaan.

Maka anak anakpun berpesta-pora. Anak perempuan juga ikut bergabung. Ambil yang ini. Ini untuk aku, Awass! Suara anak anak sedang berjuang memperebutkan jatah. Kadang ada anak perempuan yang nangis. Akupun langsung keluar. Ada apa ? Si Adi, bos merampas jambu dari tangan Inur.

Sudah. Ambil lagi! Nanti kasih si Nur, nanti kita peringati si Adi. Kadang aku serahkan plastik kecil untuk tempat jambu mereka. Semua buahnya dikumpul di sini. Nanti di jalan baru dibagi sama rata. Sekitar limabelas menit kemudian terdengarlah mereka permisi. “Ma kasih, yaa bos.” Sambil lari memperebutkan plastik berisi jambu. Masih terdengar pertengkaran.

Anak- anak itu bepesta pora. Tapi setelah itu aku jadi korban cerewet istriku. Pasti anak-anak-anak aubiarkan lagi mengambil jambu. Lihat !! Halaman rumah jadi kotor. Sekarang ambil sapu lidi, kau yang sapu semua ini. Cepat! Aku seakan jadi pesakitan yang tak kuasa bela diri. Aku bagaikan kerbau dicucuk hidung saja, patuh seratus persen terhadap garis komando yang keluar dari mulut istriku.

Anak anak itu sudah tak tahu lagi bahwa bos-nya ternyata punya atasan yang berdisiplin tegas. Dia adalah Mamak si Jati, istriku tercinta. Dan mereka sama seperti aku yang sudah tak ngerti lagi sejarahnya kenapa menyebut aku yang gendut ini dengan jabatan ‘Bos.’ Tapi, yang jelas aku memang demen juga menyebut semua orang dengan kata ‘Bos.’ Kepada anak-anak, para muda, tukang sayur yang lewat rumah, bapak, ibu baik dalam pembicaraan basa-basi atau ngobrol panjang. Pasti kata Bos keluar dari mulutku Mungkin ini yang lengket di mulut banyak orang ketika bertemu aku.

Sambil iseng pernah juga ku tanya gadis Ipah yang dulunya panggil aku Om. Katanya memang badan Om besar layaknya seorang Bos. “Oh, begitu,” tanggapku. Karena ini bukan sesuatu yang prinsipil maka semua pihak bebas merdeka menyebut aku Bos. Aku tidak keberatan walaupun isi kantongku bertolak belakang dengan isi kantong seorang Bos.

Pada minggu pertama jambu berbuah, Bu Nizir biasanya ke rumah. ‘Mak Jati, boleh beli jambunya,’ begitu dia biasanya mengawali. ‘Silahkan bu…Bu Nizir,’ itu jawaban klise yang diputar ulang sang isteri. Bu Nizir masih berani memanjat jambu untuk dibikin manisan dibungkus plastik untuk dijual kepada anak-anak. Patokan harga jambu tak ada. Ada bapak yang bawa goni besar hanya kasih duit Rp 5000.- Padahal goninya penuh sesak.

Waktu bu Lina datang bawa goni yang sama dengan isi yang sama banyaknya, ternyata beratnya 19 kilo dan harganya di pasaran Rp 1.300 per kilonya. Bu Lina membayar Rp 10.000.- Ya oke juga. Hal ini tidak menjadi persoalan, kami memang sudah bertekad bahwa pohon jambu ini bukan untuk cari duit. Jambu air untuk bantu keluarga keluarga pedagang kecil seputaran rumah.

Tapi, hal ini sering disalah tafsirkan. Sekali, si Tompel anak SD kelas 3 datang ke rumah jam sepuluh pagi. “Mak Jati, mamak minta jambu,” katanya to the point. Kemarin kan sudah minta, kenapa sekarang minta lagi? Akh agak bussyet juga. Dengan lancar dia lanjut saja:”Kata mamak nanti siang mau ke rumah bibi di kota baru. Mamak mau bawa jambu air ke sana.” Kurang ajar! Awak yang punya jambu dia yang berpesta. “Bilang sama mamak, jambu tak boleh diambil, titik,” terdengar suara Mak Jati. Kali ini nadanya tidak bersahabat. Tompel angkat kaki dengan langkah seribu, membiarkan istriku geram naik darah dengan emosi melambung.

Di musim yang lalu, kami tak mau menerima uang dari para ibu yang minta jambu. Ini justru membuat mereka jadi tidak berani meminta jambu. Kami segan karena kami minta bukan untuk dimakan, tapi untuk diolah jadi manisan untuk dijual kembali. Jadi, wajarlah kalau kami harus membeli. Istriku mendengar kabar dari ibu ibu waktu belanja pagi. Berita itulah yang mendasari kami mengambil kebijakan keluarga untuk menjual jambu tersebut kepada orang orang tertentu. Sedangkan untuk ibu yang minta hanya sekantong kecil kebijakan menjual ditiadakan.

Upacara ngerumpi sore haripun akan berubah kalau sedang panen jambu. Bu Gimin akan datang sambil menenteng dua buah nenas besar yang belum dikupas. Lalu Bu Yanti muncul melengkapi group dengan kedondong dan bengkuang. Bu Nurul hadir pula dengan keakhlian khususnya, ahli ‘menggiling cabe.’ Bu Linda bertugas membuat minuman. Pokoknya peralatan dapur pindah mendadak ke teras depan rumah. Semua heboh mengolah buah-buahan sambil terus mengdiskusikan perkembangan kerja sama mereka dengan PKM. Tak ketinggalan limun es batu dan gelas gelas menambah hiruk-pikuk di beranda depan rumah.

Sementara itu anak anak bermain macam cacing kepanasan. Naik sepeda kecil roda tiga seputar tempat merujak. Kadang bertengkar. Ada yang jatuh kemudian main ayunan, saling dorong. Acara tambahan ini merupakan music back ground acara pokok
kaum ibu kelompok cilik itu. Serentak bermainnya para anak-anak, diskusi para ibu jalan terus.

Pak guru samping rumah yang baru saja melangsungkan perkawinan kemarin, sudah ambil cangkokan jambu air. Dia yang punya perhatian terhadap tanaman akan tanam jambu air cangkokan di samping pohon pisang dan kedodong yang di bonsay, katanya. Tangannya memang manjur soal bercocok tanam. Lantas,kawan kawannya sesama guru yang sering main ke rumah sudah tanpa beban saja ambil jambu kami. Mereka sudah paham bahwa kami tak keberatan kalau jambu ini dikeroyok ramai-ramai. Bahkan mungkin mereka tahu kami sangat gembira kalau saja jambu air dapat menggembirakan banyak orang. Apakah jambu airnya juga gembira sama seperti kami? Ah! Itu pertanyaan personifikasi yang berlebihan barangkali kan?

Sudah ada lima orang kawan pak guru yang juga mencangkok jambu air ini. Belum termasuk Nekwan, Bu Riska, Pak Linus, bu Hamdani, Bu Panjaitan, dll, dll. Kenapa upacara mencangkok ini populer sekali di rumah kami? Ternyata usut punya usut, rupanya jambu air yang ditanam oleh Nekpur pernah diminta cangkok oleh tetangga. Walaupun hasilnya tak sehebat jambu air kami para pencangkok harus membayar Rp10.000. Nekpur mata duitan, kata istriku sinis. Nekwan juga marah ketika dia dengan penuh kekeluargaan pernah minta mencangkok. Dipikirnya tak bayar, ternyata bayar. Maka dihujatnya Nekpur: “Nanti dikutuk Tuhan dia tu.” Aku terhenyak. “Ah, jangan begitu Nekwan, masya gara gara jambu mengutuk orang.”

Lalu aku mencoba memberikan sepotong nasihat kepada orang tua itu. Ternyata tidak juga langsung berterima, demikian isteriku. “Habis, minta itu saja harus bayar. Itu kan jahat?” Begitu Nekwan membela diri. Istriku senyum senyum manis waktu menceritakan petikan kisah Nekwan itu.

Di samping makanan iseng, jambu air manjur juga melancarkan urusan ke toilet, alias urusan belakang. Pernah satu malam aku begadang keasyikan membaca dan mulut kepingin nguyah sesuatu. Kulihat di kulkas ada jambu air yang disimpan Mak Jati untuk dikasih sama Susan besok pagi di rumah sakit Santo Antonius. Jambu air inilah sasaran mulutku tengah malam. Kuhabiskan enam buah yang besar sampai perut terasa padat.

Besok paginya belum ada air dan makan yang masuk perut, aku langsung menuju kamar mandi. Buka celana, jongkok santai menghisap rokok, plek,plek plek, seluruh isi perut rasanya marathon ke hole one, perut terasa ringan dan nyaman. Baru saja selangkah keluar dari kamar mandi terdengarlah radio rusak alias sapaan mesra istriku: “Kenapa kau habiskan jambu yang mau kuantar ke Susan? Dasar! Cepat ambil lagi jambu dari pohon, satukan dengan yang kausisakan di kulkas. Lalu masukkan dalam palstik besar.”

Maka akupun tak begitu mampu lagi menikmati kepuasan perutku. Garis komando jauh lebih penting dari pada kenikmatan perut. Penglamanku beol pasca jambu air sama dengan pak Dheo. Cita citanya setelah makan banyak jambu adalah agar dapat ‘ke belakang’ yang nikmat. Nikmat sekali, itu makanya setiap malam selera atau tidak selera enam buah jambu air harus masuk perutku dengan damai. Agar besok pagi cita cita waktu ‘ke belakang’, tercapai…