Penyesalan

Nyoman Dani.

Pada suatu senja disuatu tempat dihalaman sebuah pompa bensin, terjadi sedikit ketegangan antara seorang gadis dengan seorang pemuda. Awalnya, si gadis yang sedang mengendarai mobil masuk ke halaman pompa bensin hampir menerjang si pemuda yang melintas didepannya. Tak ayal lagi, klakson dibunyikan secara refleks sebagai peringatan kepada pemuda tersebut.

Mungkin saja pikiran si pemuda itu sedang dalam keadaan tidak tenang sehingga tidak melihat ada mobil di depannya. Ia terkejut mendengar bunyi klakson mobil si gadis dan terhenti secara terpaksa. Walau demikian, si pemuda sempat minta maaf dengan suara yang hampir tidak terdengar. Tapi si gadis yang tampak emosionil dan marah karena kaget, tidak juga puas dengan hanya membunyikan klakson, bahkan mengeluarkan kata-kata yang cukup keras dan kasar kepada pemuda tersebut.

Si pemuda, seorang mahasiswa jurusan ekonomi yang berpenampilan sederhana dan tenang, tidak ingin ribut dengan seorang gadis. Perlahan-lahan si pemuda pergi meninggalkan tempat itu tanpa membalas sepatah katapun, sambil matanya masih menatap wajah gadis itu dengan ekspresi bersalah serta berusaha menyatukan kedua telapak tangannya yang memegang sebuah buku disebelah kiri dan tas punggung yang ditenteng di sebelah kanan serta membungkukkan badannya sedikit kedepan. Dia berharap dengan sikap seperti itu si Gadis akan memaafkannya.

Si pemuda kemudian menyeberang jalan dan samar-samar menghilang masuk ke salah satu jalan kecil yang tampak cukup bersih, teratur dan rapi serta tenang suasananya.

Di lain pihak, diam-diam sambil menunggu giliran mengisi bensin, si gadis sempat mengikuti dengan sudut matanya kemana si pemuda itu pergi. Walaupun hati masih mendongkol karena dibuat kaget, namun wajah pemuda yang tidak juga cepat hilang dari ingatannya tersebut membuatnya berpikir kembali, terutama sikap mengalahnya yang ditunjukkan dengan gaya minta maafnya itu.

Perilaku pemuda itu rupanya mengganggu pikiran gadis tersebut. Sikap gentleman –merasa bersalah dan minta maaf– yang mengusiknya.

Rasa menyesal timbul dihati si gadis karena melemparkan kata-kata yang cukup kasar kepada pemuda itu dan sekaligus terbayang ekspresi wajah seorang pemuda yang jujur sebagai gambaran dari jiwanya yang suci.

Si gadis ingin rasanya langsung mencari pemuda itu dan meminta maaf atas sikapnya yang tidak bersahabat tadi, namun hati ini yang didalamnya masih berperang antara gengsi dan menyesal, tak kunjung dapat memberi keputusan.

Akhirnya, pulang kerumah adalah jalan yang dipilihnya.

Dalam perjalanan pulang dengan mobil mewahnya, si gadis dibayang-bayangi pertanyaan “Mungkinkah kiranya bisa bertemu dengan pemuda itu lagi?” Andaikata bisa, pasti si gadis akan minta maaf. Segala rupa gengsi dan emosi akan dilupakannya. Begitulah yang ada didalam pikirannya.

Tapi bagaimana caranya untuk bertemu? Memang si gadis tahu kemana arah pemuda itu pergi. Ia pergi menuju salah sebuah gang diseberang pompa bensin itu. Pada saat peristiwa itu terjadi si pemuda sedang membawa sebuah buku di tangan kirinya dan menjinjing tas punggung di tangan kanannya. Dengan jarak sejauh itu mata si gadis tak kuasa menyimak buku apa yang dibawanya. Rasa ingin tahunya akan buku itu muncul untuk menganalisa pemuda macam apakah dia.

Hanya dengan sebuah arah saja, jelas tidak menjamin akan memberikan informasi yang cukup untuk melacak kemana bisa menemukan pemuda itu, apalagi belum pasti apakah memang gang tersebut adalah jalan yang menuju tempatnya bermukim.

Belum lagi apabila ia ke tempat itu hanya berkunjung ke tempat temannya. Maka pupuslah harapannya akan melacak keberadaan pemuda itu mulai dari menyelidiki gang tersebut.

Begitulah selama perjalanan pulangnya semua teka-teki tetap belum terjawab.

Sementara itu, si pemuda yang nyaris tanpa beban, dengan tenang mmenyelesaikan tugas-tugas kuliah dirumah pondokan-nya, di gang tempat menghilang senja itu dari pandangan si gadis. Dia bahkan tidak ingin sama sekali mengingat kejadian tersebut.

Memang ia sudah 2 tahun ini tinggal disitu. Kamar yang sederhana namun bersih itu ia dapatkan dari menggantikan kawan karibnya yang terpaksa keluar dan pindah karena harus mengikuti jejak orang tuanya di kampung yang hijrah keluar pulau demi tugas yang diemban orang tuanya, seorang pegawai Bank pemerintah.

Bagi pemuda itu, melintasi area pompa bensin tersebut memang merupakan hal yang sering ia lakukan mengingat jalur itu sebagai jalan pintas menuju pemberhentian bus menuju dan pulang dari pondokan ke tempat kuliah dan sebaliknya.

Rupanya diam-diam si gadis tidak mau putus asa dalam mencari jejak si pemuda itu. Sepulang dari kerjanya, sesekali ia melewati pompa bensin itu dengan harap-harap cemas bahwa suatu saat ia akan melihat pemuda itu lagi.

Entah apa yang mendorongnya sampai sebegitu penasaran untuk secepatnya menemukan pemuda itu. Padahal ia tidak tahu siapa pemuda itu. Kalaupun ia lupakan, apa peduli pemuda itu terhadapnya? Namun si gadis tidak ingin melupakan kejadian di senja itu. Ia harus minta maaf. Ia ingin menyampaikan penyesalannya langsung didepan pemuda itu.

Beberapa kali dicobanya melewati pompa bensin itu dan bahkan ia coba masuk dan mengisi bensin mobilnya pada waktu dan jam yang sama seperti waktu kejadian itu, namun tak juga berhasil sehingga ia nyaris putus asa.

Orang tua si gadis pun heran melihat kelakuan anaknya yang belakangan sering tampak murung dan jarang mau berkomunikasi. Ditanyai berkali-kali apa sebabnya, namun tak juga keluar jawaban yang memuaskan. Rasa bersalahnya dipendam sendiri demi pertanggungjawaban terhadap Yang Maha Kuasa.

Waktupun berlalu, namun bagi si gadis waktu ini serasa diam ditempat. Setiap hari tak henti hentinya berharap semua ini bisa cepat berakhir. Begitu besar niatnya untuk menemui pemuda itu sehingga akhirnya iapun memutuskan untuk mendatangi gang tempat pemuda itu menghilang.

Tak mudah baginya memulai pencariannya karena tidak sedikitpun data dari pemuda tersebut yang ada padanya. Namun ia tetap memberanikan diri dan dicobanya juga bertanya-tanya kepada siapapun di gang itu dengan hanya bemberikan informasi minimum berupa gambaran postur tubuh dan wajah saja.

Tak ada hasil samasekali yang diperoleh pada usahanya yang pertama. Kemudian disusul dengan usaha usaha berikutya setelah selang beberapa hari, dan belum menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan hatinya.

Si gadis mencoba untuk melupakan peristiwa itu, namun hanya berhasil beberapa hari saja. Tak biasa-biasanya ia susah melupakan hal-hal seperti itu. Watak yang spontan dan keras namun jujur memang sulit dirubahnya. Bukan hanya sekali itu saja ia mengalami hal serupa, tetapi sekali ini memang betul-betul mengganggu pikirannya.

Beberapa hari kemudian dicobanya lagi berkunjung ke gang tersebut, Sebenarnya ia kurang merasa nyaman berjalan di sepanjang gang sempit itu tanpa tempat yang pasti untuk ditujunya. Namun, hatinya sudah bertekad bulat untuk segera melampiaskan niatnya menjumpai pemuda itu. Bukan karena ia tertarik kepada pemuda itu, dan bukan pula karena ingin berteman, tetapi rasa bersalahnya dan ingin minta maaf yang mendorongnya bersikeras untuk mencarinya.

Suatu informasi yang boleh menjadi awal dari titik terang datang dari seorang bocah yang sedang bermain-main bulutangkis di gang tersebut bersama kawan-kawannya. Kebetulan anak tersebut mengenali pemuda itu karena telah beberapa kali ia dan kawan-kawannya sempat memperoleh pembagian permen dan kue-kue.

Tapi keterangan lebih lanjut dari anak tersebut kembali membuatnya kecewa karena si pemuda ternyata sedang pulang ke kampungnya. Si gadis mencoba menerka-nerka dalam hati akan tujuan kepulangan pemuda itu kekampungnya. Mungkin saja sedang berlibur? Atau cuti? Atau mungkin juga ada urusan pribadi? Lagi-lagi teka-teki tanpa jawaban. Makin lama makin bertumpuklah teka-teki yang tak terselesaikan didalam pikirannya.

Sepuluh hari telah berlalu sejak ia datang ke gang itu. Hari ini Minggu sore dengan cuaca yang kurang bersahabat. Matahari sepertinya segan menampakkan dirinya, ditambah pula dengan hujan rintik-rintik yang tampaknya tidak mau berkompromi untuk memberikan kesempatan kepada siapapun termasuk si gadis untuk bersenang senang. Namun walau demikian ia bersikeras untuk keluar rumah juga, tanpa menghiraukan keadaan cuaca.

Dicobanya sekali lagi usaha untuk mencari pemuda itu. Mobilpun diparkir dekat gang tersebut. Turun dari mobil, dengan mengenakan jaket panjang penangkal gerimis, mulailah ia berjalan menyusuri gang itu.
Berbeda dengan penampilan sehari-hari yang mengenakan gaun formil ketempat kerja, sore ini ia mengenakan celana jean, shirt ketat berwarna orange pastel dan sepatu sport berwarna abu-abu muda.

Tubuhnya yang berisi dan cukup tinggi untuk ukuran seorang perempuan dengan postur yang proporsional serta kulit wajah yang putih, halus dan gaya rambut ekor kuda menampakkan figur seorang gadis yang energik dan menarik.

Kecantikannya mengundang setiap pasang mata di gang itu untuk mencari kesempatan melayangkan pandangan kearahnya.

Langkah yang tenang membawanya ke arah rumah pondokan pemuda itu dimana hari-hari sebelumnya salah satu bocah pernah menunjukkan padanya.

Gang yang cukup lembab oleh air hujan itu menambah suasana menjadi lebih muram. Sesampai di rumah yang dituju, pintupun diketuknya dan tak beberapa lama kemudian pintu dibuka oleh seorang wanita setengah baya, pemilik rumah pondokan itu.

Berdebar rasa hatinya berhadapan dengan wanita itu, namun diberanikannya memulai pembicaraan dengan memberi salam selamat sore, memperkenalkan diri, kemudian dilanjutkan dengan maksud kedatangannya.

Wanita itu dengan cepat dapat mengerti siapa yang dicari gadis itu karena tidak ada pemuda lainnya dirumah itu dan mempersilahkan gadis tersebut masuk, kemudian mereka duduk di ruang tamu.

Melihat sikap yang tampaknya tidak sabar menunggu, maka tanpa ingin menunda-nunda waktu, wanita itupun memulai ceritanyat. “Nak Dimas mendapat musibah. Bus yang ditumpanginya saat ia kembali dari kampung beberapa hari yang lalu mengalami kecalakaan berat. Nyawanya tak tertolong,” ujarnya lirih dan terputus-putus.

Wanita itupun tak kuasa menyembunyikan kesedihannya diikuti dengan matanya yang berkaca-kaca sambil meneruskan ucapannya: “Nak Dimas mahasiswa yang baik sekali”

Bagaikan disambar petir si gadis terkejut mendengar berita itu. Wajahnya menunduk kuyu, sambil berucap: “Ya Tuhan, haruskah Kau biarkan aku menyesal seumur hidupku?” Suasana sedih meliputi ruang tamu rumah pondokan tersebut di Minggu sore yang muram itu.

Si gadis pamit dengan sopan dan hati-hati untuk segera meninggalkan wanita itu. Kembali ia meyusuri gang dan kembali menuju mobilnya, dengan langkah yang berat dan muka tetap tertunduk sepanjang jalan.

Didalam perjalanan pulang kerumahnya, tanpa disadari air matanya telah membasahi kedua pipinya: air mata penyesalan.

TAGS :