Dokter Zhivago

Boris Pasternak
(alih bahasa Trisno Sumardjo), disalin dari terbitan Djambatan, Maret 1960)

Keluarga Zhivago mengundang makan Kostoyed, anggota kerja sama buruh itu. Ia duduk di pojokkan mereka, menyeruput kaki kelinci dengan bunyi menyedot keras. Ia sangat takut masuk angin dan berganti tempat berkali-kali sampai ia akhirnya mendapat tempat yang cocok baginya. “Bagus,” ujarnya. Diselesaikannya tulang tadi, dicucupnya jari-jarinya sampai bersih, lalu diusapnya dengan sapu tangan, kemudian mengucapkan terimakasih pada yang menjamunya dan berkata: “Jendela tuan kurang beres, harus ditempeli dempul. Tapi untuk kembali pada percakapan kita, tentulah kelinci bakar itu hebat, tapi kalau disimpulkan dari situ bahwa kaum tani makmur, itu buru-buru, untuk memakai kata yang lembut saja; maafkanlah ucapan saya ini.”

“Coba,” kata Yury. “Lihatlah semua stasiun, tempat kira berhenti. Pohon dan pagar masih berdiri, belum ditebang untuk kayu bakar. Dan pasar-pasar itu! Dan perempuan. Itu kan menakjubkan? Setidak-tidaknya di sini penghidupan berlangsung ters dan rakyat senang dengannya. Tak setiap orang ketimpa celaka. Bukankah itu bukti-bukti bahwa semuanya beres?”

“Memang bukti, andaikata benar, tapi itu tidak benar. Bagaimana tuan bisa berpikir bahwa itu benar? Tuan mesti melihat apa yang terjadi di pedalaman, 50 atau 100 mil dari kereta api, dimana saja. Kaum tani berontak, kerusuhan ada terus menerus. Menurut tuan, mereka melawan kaum Merah atau kaum Putih tanpa pilih bulu, siapapun yang sedang berkuasa; mereka menentang saja setiap kekuasaan yang berlaku, sebab tak tahu apa yang mereka kehendaki sendiri. Ijinkanlah saya berlainan paham. Petani tahu betul apa yang ia kehendaki, lebih tahu dari tuan atau saya, tapi yang mereka kehendaki itu lain sekali.”

“Ketika revolusi terjadi dan membangunkan dia, ia yakin bahwa inilah pemenuhan impiannya, impian sejak dulukala untuk hidup secara anarkis di tanahnya sendiri dengan pekerjaan tanganya sendiri, bebas semata-mata dengan tiada berhutang pada siapapun juga. Tapi ternyata dialaminya ia hanya menukar penindasan lama oleh negara Tsar itu dengan kekangan baru yang lebih keras oleh supra negara yang revolusioner. Herankah kita, kalau dusun-dusun bergolak dan tak dapat tentram? Dan tuan katakan, meraka bahagia! Kiranya banyak yang tidak tuan ketahui dan saya kuatir agaknya tuan tak ingin pula mengetahuinya.”

“O, baiklah, aku berani mengatakan, aku tak ingin tahu. Demi Tuhan, mengapa aku harus tahu segala-galanya dan merusuhkan diri tentang tiap hal yang patut direstui? Sejarah tak minta nasehatku, aku terpaksa menerima saja apa yang terjadi, jadi mengapa akan kusangkal fakta-fakta? Tuan beranggapan itu tidak realistis. Tapi dimana sekarang ini ada realitet di Rusia? Kupikir, Rusia takut karena eksistensi. Benarlah saya intgn percaya bahwa kaum tani lebih baik nasibnya dan dusun lebih makmur. Kalau saya tak dapat percaya itu, apa mesti kukerjakan? Siapa mesti kupercaya, dengan apa saya mesti hidup? Saya harus hidup terus, saya ada keluarga.”

Ia mengisyaratkan putus asanya dan dengan menyerahkan perdebatan, ia beralih tempat melunglaikan kepalanya atas tepi bangku tidurnya untuk apa yang terjadi di bawah.

“Si tukang uang,” Pritulyev serta temannya Pelagia sibuk ngomong-ngomong dengan Vassya dan Voronyuk si pengawal. Kereta api sebentar lagi mendekati daerah Vassya Pritulyev, maka Pritulyev sedang mengingat-ingat jalan ke dusunnnya, stasiun serta jalan yang mesti diambil bila naik kuda dan bila jalan kaki; mendengar bunyi segala nama yang dikenal dan berdaya gaib itu Vassya mengulanginya dengan mata bersinatr, seolah terpesona.

“Turun di Beting Kering?” gagapnya dengan rusuh. “Lantas terus ke Buysky?”

“Betul Buysky, desa Buysky. Tentu kukenal, di situ kami balik membelok ke kanan, lalu kanan lagi. Itu untuk sampai ke rumah kami, ke Verentenniki. Dan kamu mesti ke kiri, meninggalkan sungai, bukan? Kenal sungai Pelga? O, tentu saja! Itulah sungai kami. Terus saja turut kali, terus, terus lalu naik batu karang sebelah kanan yang menjulang atas Kali Pelga itu juga, disitulah dusun kami Veretenniki! Tepat di tepi tebing curam! Gamang di situ, demi Tuhan. Ada tambang batu di situ, untuk batu kincir. Di situ tinggal ibuku, di Veretenniki, sama dua saudara perempuanku. Kak Alya. Dan Kak Arya…Ibu seperti kamu sedikit, bibi Polya, muda lagi cantik. Paman Voronyuk! O, Paman Voronyuk, demi Kristus, kumohon kamu demi Tuhan… Paman Voronyuk!”

“Apa sih? Paman, paman saja, kutahu aku bukan bibimu, Kau harapkan apa dari aku? Aku tidak gila. Kalau kulepas kau, habis riwayatku. Amin. Aku akan dipasang ke tembok.”

Pelagia Tyagunova termenung-menung menjenguk dari jendela, mengelus-elus rambut Vassya yang kemerah-merahan. Sekali tempo ia menunduk kepadanya dan bersenyum, seolah mengatakan: “Jangan bodoh. Ini bukanlah untuk disebut-sebut pada Voronyuk di depan orang banyak. Jangan susah, sabarlah, beres nanti.”
***