Fatima

Limantina Sihaloho

Malam itu, awal Oktober 2005, aku membukakan pintu. Hatiku berdebar-debar. Kusambut rombongan Bang Kabel dengan senyum gemetar yang berusaha kusembunyikan. Ia rupanya hanya datang bertiga. Aku sudah kenal dengan kedua lelaki yang menemaninya, Brem dan Deniel. Tidak dengan Ibunya. Aku sedikit kecewa sebab aku lebih suka kalau Ibunya ikut malam itu, untuk melamarku menjadi istri Bang Kabel kepada kedua orang tuaku.

“Silahkan. Silahkan masuk Bang,” sambutku kepada mereka. Tidak seperti biasanya, malam itu kulihat Bang Kabel agak lain. Dia mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna biru berlengan pendek dipadu celana kain berwarna hitam. Biasanya, dia lebih suka memakai kaos oblong kalau kami kencan, entah di kamar kostnya atau kalau kami jalan-jalan sore hari di Pantai Ujung Blang. Malah, aku sering menemukannya pakai kaos oblong dipadu celana jeans yang dipotong pendek di atas lutut di rumah Bang Brem.

Aku sendiri agak malu menyaksikan dia seperti itu. Pernah hendak kukatakan kepadanya bahwa penampilannya itu mungkin bisa mengganggu yang punya rumah, terutama mertua perempuan Bang Brem. Tapi aku tidak tega mengatakannya, takut dia tersinggung. Sampai sekarang memang aku belum pernah mengatakannya kepada Bang Kabel.

Aku segera masuk ke dapur untuk membantu Ibu mempersiapkan makan malam. Memang sudah kami sepakati bahwa Bang Kabel dan rombongannya akan makan malam di rumah kami. Sore itu, Ibu dan aku sepakat untuk masak makanan khusus kesukaan Bang Kabel; gule nangka kambing, gule otak, kakap panggang dan jus mangga.

Bang Kabel memang suka makan gule-gulean. Mungkin karena itu badannya agak melar. Pertama kali aku mengenalnya, badannya tidak semelar itu. Aku kadang kuatir jangan sampai dia stroke sebelum waktunya. Kalau dia jadi suamiku, aku kan kuatir juga jika dia bertambah melar dan stroke pada usia 40-an. Wah, kan repot jadinya. Belum lagi, aku dengar sendiri darinya keluarganya dari kedua belah pihak sebagian menderita stroke, diabetes, dan asam urat. Aku sebenarnya sudah ingatkan dia aga mengurangi makanan-makanan yang potensial menjadikan orang menderita stroke, diabetes, dan asam urat tetapi dia malah tertawa.

Malam itu semuanya berjalan lancar kecuali satu hal. Bang Kabel meminta segelas air putih kepadaku saat Bang Brem menyampaikan maksud kedatangan mereka kepada kedua orang tuaku. Aku pergi ke dapur mengambil segelas air. Entah bagaimana, gelas itu jatuh dan pecah. Mungkin aku terlalu gugup malam itu Untung dapur kami jauh dari ruang tamu sehingga gelas yang jatuh itu kuharap tidak terlalu mereka perhatikan. Aku segera membersihkan gelas yang pecah dan mengganti dengan gelas lain.

Saat aku memberikan gelas berisi air itu kepada Bang Kabel, aku merasakan sesuatu yang tidak enak, entah apa itu, aku sendiripun tidak tahu. Mungkin aku terlalu gugup, pikirku waktu itu. Lalu aku duduk di samping Ibu.

Malam itu kami sepakat bahwa pernikahanku dengan Bang Kabel akan dilangsungkan setelah Hari Raya Haji tahun itu.
***

Tak lama setelah Bang Kabel melamarku awal Oktober 2005 itu, dia pamit hendak ke Jakarta, tiga minggu kemudian. Ada seminar di LePe. Dia diundang menjadi salah satu nara sumber di sana, begitu penjelasan yang aku terima saat kami jalan-jalan sore di Pantai Ujung Belang sebelum dia berangkat keesokan harinya.

Aku tidak punya firasat apa-apa menjelang keberangkatannya ke Jakarta itu. Lagipula, dia sudah sering ke Jakarta untuk urusan-urusan Bangsa dan Negara, begitu sering dikatakannya kepadaku. Sekali waktu dia malah menasehatiku untuk mempersiapkan diri menjadi seorang istri yang dapat mendampingi suami dalam pertemuan-pertemuan kebangsaan dan kenegaraan sebab sudah banyak tanda-tanda bahwa dia akan menjadi orang yang sangat penting dan berpengaruh.

Dia perkirakan, berdasarkan segala macam kesibukan-kesibukan dan ketenaran-ketenarannya sejauh ini, maka sebelum usia 40 tahun, dia sudah akan menjadi gubernur dan setelah menjadi gubernur, dia akan menjadi menteri di Jakarta. Lalu, tambahnya, setelah itu dia akan menjadi presiden. Selain tampan, dia juga sangat pintar, paling pintar di seantero negeri kami dan juga salah satu dari sekian sedikit orang yang paling pintar di jagat.

Alangkah kagetnya aku saat membaca SMS Bang Kabel setelah dia pulang dari Jakarta, satu hari sebelum hari raya tahun lalu. “Ima, takdir cintaku bukan kau. Ini perspektifku. Pernikahan kita terpaksa kudibatalkan. Aku baru jumpa dengan takdir cintaku di LePe and i’m not regret if i was in mistake for this.”

Untuk beberapa menit, aku hanya dapat terpelongo setelah membaca SMS itu. Tak tahu harus bereaksi bagaimana. Rasa geli dan marah campur aduk menjadi satu. Bagaimana mungkin dia memperlakukan aku demikian rendah? Belum sampai sebulan setelah kedatangannya bersama kedua koleganya kepada orang tuaku untuk melamarku menjadi istrinya, lalu dengan seenaknya saja dia mau membatalkan pernikahan yang sudah disetujui bersama? Sudah banyak orang yang tahu di Lhokseumawe bahwa aku dan dia akan menikah. Kolega-kolega kedua orang tuaku sudah tahu, civitas universitas tempat dia mengajar sudah tahu, para tetangga kami sudah tahu.
***

Suara azan sore di penghujung Oktober 2005 itu menyadarkanku dari lamunan. Aku segera berwudu dan shalat magrib di kamarku. Usai shalat, pikiranku lebih tenang dibanding sebelum shalat. Aku memohon kepada Allah S.W.T agar aku dibimbing, agar aku tahu apa yang paling baik yang harus aku lakukan menghadapi lelaki yang tiba-tiba saja dengan seenaknya membatalkan pernikahanku dengannya, padahal tidak ada yang memaksanya untuk menikah denganku. Dia sendiri yang memintaku menjadi istrinya sebelum dia datang bersama kedua koleganya itu kepada orang tuaku.

Aku menyimpan berita itu sendirian untuk sementara waktu. Aku belum tahu bagaimana harus menyampaikannya kepada kedua orang tuaku. Aku masih berharap semoga dia masih mau berubah dan kembali kepada kesepakatan awal sebelum aku berbicara kepada orang tuaku. Aku memutuskan untuk menemuinya, berbicara baik-baik dan kalau mungkin, memintanya untuk kembali kepada persetujuan yang telah kami sepakati.

“Aku perlu bicara dengan Abang,” kataku setelah hand phonenya dia angkat.
“Bicara saja sekarang,” jawabnya dingin.
“Bisakah kita bertemu untuk berbicara?” tanyaku mengiba.
“Aku nggak ada waktu. Sibuk. Ada banyak proyek dan juga aku sedang mengerjakan penelitian-penelitian penting dengan dunia dari LePe, disamping banyak pekerjaan di universitas. Penelitian-penelitian sekarang ini mendesak, menyangkut kehidupan banyak orang di tenda-tenda yang harus segera diatasi,” jelasnya dingin dan tak bersahabat.

Aku kaget. Tak kukatakan apapun lagi. Setelah dia berhenti berbicara, aku langsung menutup pembicaraan tanpa mengatakan apapun. Aku tak menduga akan seperti itu jawaban yang akan kudengar dari orang yang selama ini aku anggap baik.

Kenapa tiba-tiba setelah pulang dari LePe dia tidak punya waktu lagi untuk berjumpa dan berbicara denganku? Selama ini kok ada banyak waktu bahkan untuk bermalas-malasan di pantai? Selama ini kok ada banyak waktunya untuk datang ke rumah minta dimasakkan ini dan itu, minta dipijatkan ininya dan itunya, minta dibelikan ini dan itu, minta diantarkan ke sini dan ke situ? Mengapa tiba-tiba sekarang dia jadi manusia yang sibuk setelah seminar dari LePe itu? Lembaga macam apakah LePe itu? Wanita macam apakah yang dia jumpai di LePe, kok sampai dia berubah sedrastis itu?

Terpaksa juga aku harus menyampaikan pembatalan pernikahanku dengan Kabel kepada kedua orang tuaku. Pertama kepada Ibuku setelah dia mengingatkanku untuk segera menjahitkan baju pengantinku. Untunglah baju itu belum kujahitkan. Entah mengapa, memang ada perasaan kurang bersemangat untuk segera menjahitkan baju itu setelah pernikahan kami disepakati tanggalnya. Tadinya aku mau bertanya kepada Kabel soal model dan warna yang dia sukai setelah dia kembali dari Jakarta, dari LePe. Eh, belum sempat aku bertanya, sudah datang SMS-nya untuk membatalkan pernikahan kami.

“Sudahlah Nak. Lelaki macam dia itu tidak pantas untukmu. Kalau sekarang dia sudah dapat bertindak sangat tidak sportif macam begitu, apalagi nanti,” kata Bapakku malam itu setelah Ibu menyampaikan kepadanya apa yang terjadi antara aku dan Kabel.

“Ibu nggak nyangka Kabel itu bermoral rendah. Selama ini Ibu kira dia orang yang baik. Ya Nak, benar kata Bapakmu. Memang kita jadi malu karena sudah banyak yang tahu kalian akan menikah setelah Hari Raya Haji ini tetapi sebagai orang tua. Tapi kami lebih mementingkanmu daripada apa kata orang-orang. Lelaki macam dia itu tidak terpakai menurut Ibu. Begitu cepatnya dia tergoda kepada wanita lain. Masa baru ketemu saja dengan wanita dari LePe dia sudah merasa yakin bahwa itu takdir cintanya?” tambah Ibu.

Aku hanya mendengarkan kedua orang tuaku. Dalam hati aku setuju dengan pendapat mereka. Untuk apa aku bersuamikan orang seperti dia itu? Yang baru saja bertemu dengan wanita LePe lalu membatalkan pernikahan yang sudah kami sepakati? Begitu mudahnya dia melakukan tindakan seperti itu!
***

Hari berganti hari dan orang-orangpun akhirnya tahu bahwa aku dan Kabel tidak jadi menikah sebab Hari Raya Haji sudah berlalu. Setelah aku pikir-pikir dalam beberapa bulan itu apa yang terjadi padaku, aku malah bersyukur setelah melihat sisi baiknya. Aku bersyukur kepada Allah S.W.T., tidak mendapatkan suami seperti Kabel yang aku agak yakin akan menyusahkanku nantinya.

Aku memang sudah perhatikan. Dulu, kalau kami jalan-jalan di pantai, matanya suka jelalatan dan jumpalitan melihat perempuan-perempuan, entah itu remaja, gadis, ibu-ibu bahkan yang sudah nenek-nenek. Llumayan menggangguku juga. Aku malu sendiri melihat tingkahnya yang seperti itu tetapi enggan mengatakan kepadanya. Itu hanya satu contoh di samping contoh-contoh lainnya.

Sekali waktu di awal Mei 2006,  Tante Mulyani, adik Ibuku, melihat Kabel sedang berduaan dengan seorang wanita di Lhokseumawe. Mungkin itulah wanita yang dari LePe? Tante mengatakan bahwa wanita itu nampaknya bukan orang Lhokseumawe. Dandanannya juga tidak seperti dandanan perempuan-perempuan Lhokseumawe umumnya. Wanita itu mengenakan kerudung tetapi asal ditempelkan begitu saja dikepalanya. Rambutnya tergerai di atas payudaranya dan terlihat dengan jelas di bawah kerudung tipis transparannya. Sambil berjalan, wanita itu mengapit manja lengan si Kabel. Tanteku mau muntah melihat adegan norak itu.

Bulan Juni yang lalu aku mendengar kabar bahwa wanita yang dilihat Tanteku di Lhokseumawe bersama si Kabel rupanya benar adalah wanita dari LePe itu. Wartawan-wartawan sering datang ke rumah kami untuk bertemu Bapakku. Dari merekalah aku tahu sedikit tentang sang wanita LePe.

Mereka katakan bahwa wanita itu seorang pengamat militer, jabatannya sangat penting di LePe, seorang feminis papan atas, idola para lelaki-lelaki tampan di seantero negeri, sering diperebutkan stasiun-stasiun televisi untuk berbicara tentang militerisme, feminisme, dan tentang BRR. Ketenarannya sudah men-dunia bahkan sudah mengangkasa raya, orang tuanya jenderal, demikian juga om-om dan tante-tantenya, kecantikannya melebihi kecantikan para bidadari di sorga yang sedang menunggu-nunggu datangnya para martir dari bumi. Kekayaannya cukup, bahkan lebih untuk tujuh turunan, rumah dan mobil mewahnya banyak. Perusahaan-perusahaan ayahnya yang jenderal itu tidak hanya di Indonesia tetapi juga di Kuwait, Bosnia, Iran dan Irak.

Jadi aku paham mengapa si Kabel tiba-tiba saja menyukai wanita dari LePe itu. Aku juga jadi paham bahwa si Kabel seorang lelaki-matre walaupun dia mengaku bahwa wanita dari LePe, yang baru saja dikenalnya itu adalah takdir cintanya.

Berhubung karena wanita dari LePe rupanya semakin sering saja datang ke Lhokseumawe, informasi yang aku ketahui tentangnya dari para wartawan juga bertambah. Aku kaget mengetahui bahwa wanita dari LePe belum lama menjanda karena bercerai dari suaminya, dan anak-anaknya sudah beranjak remaja. Uusianya sendiri 12 tahun lebih tua daripada si Kabel.

Aku jadi tambah paham selera si Kabel. Untunglah aku tidak jadi menikah dengannya. Lelaki matre itu.