Dari Kehidupan Para Jutawan

Victoria Tokareva

Penerjemah: Victor Pogadaev

Maurice memberitahu Sofie bahwa aku kehilangan kopor padahal besok aku ada rekaman untuk TV dan karena itu adalah mustahak memilih baju untukku sebelum pukul 11 pagi.

Aku menangkap kata-kata ‘television‘, ‘bagaj’la robe’. Tiga kata itu cukup untukku. Aku hendak campur tangan dan menghentikan Maurice tetapi mengerti perlunya lebih untuk dia sendiri.

Sebenarnya aku hanya membutuhkan gaun, tapi untuk dia perjuangan soal kopor itu adalah pernyataan persahabatan.

Seorang sahabatnya telah meninggal, seorang lagi jauh di Amerika, sedangkan aku dekat. Walaupun  aku sahabat barunya tetapi tetap sahabat juga. Dia memamerkan kehidupannya kepadaku. Aku memahaminya. Kami membisu bersama.

Aku merenung dengan pandangan penuh berterima kasih. Dan kelihatan dia seperti menjadi lebih tampan. Mungkin juga aku tiba-tiba memandangnya dengan mata Sofie, karena cinta memang terlalu mendalam di mata orang yang memandang.

Sofie datang pagi berikutnya dengan mobil kecil berwarna merah dan membawaku ke salon terkenal.

Salon itu seperti tempat jahit. Tukang jahitnya, yang kebanyakan perempuan, menjahit sesuatu di ruang kecil. Dekat dinding, gaun baru bergantungan. Etiopa membawaku ke ruang kerja.

Sesekali tukang jahit mengangkat kepala dan memandangku sepintas lalu, tapi penuh perhatian. Melihat wajah orang Rusia merupakan hal menarik bagi mereka. Aku merasa malu sedikit dengan padanan warna pakaianku: rok hitam dan jas merah.

Hitam dan merah adalah warna matinya seorang komunis. Begitulah aku menertawakan diri sendiri. Perempuan  pemilik salon tidak mau menerima lelucon itu.

“Segala-galanya baik. Dirimu adalah dirimu. Personalitas”.

Pemilik salon dan Sofie membicarakan sesuatu dengan cepat. Aku tidak mengerti dan sebenarnya tidak mau mengerti. Bukan karena aku tidak suka Etiopa. Bukan. Tetapi dia itu lain sama sekali. Seakan-akan datang dari bulan.

Dan baginya aku adalah seorang yang asing, aneh dan ganjil. Kami memliki nilai yang berbeda. Nilai milikku tampaknya dipandang remeh. Aku ingin kemashyuran. Kemashyuran berarti perhatian dan kekaguman orang lain kepadaku. Aku kira Etiopa tidak akan  mengerti: untuk apa perhatian dari orang yang tidak dikenal?

Dia hanya perlu perhatian dari seorang saja, kekuasaan atas dirinya dan uang. Kemashyuran adalah sesuatu yang tidak abadi. Hari ini mashyur, besok  mungkin tidak. Sedangkan uang seperti pegangan tangga: peganglah maka kau tak jadi jatuh.

Di siang hari Etiopa tampak lebih eksotis seperti patung mainan, jadi terasa aneh mendengar dia berbicara dalam bahasa manusia.

“Pilihlah apa yang kau suka…”

Aku mulai mengamati gaun-gaun yang bergantungan sepanjang dinding. Pandanganku terhenti pada sepasang  gaun yang serupa dengan gaun di rumahku, tanpa kancing, dibuat dari kain sutra, dan menyilau mata seperti ekor burung merak.

Kalaulah Etiopa berada dalam gaun itu pasti tampak fantastis. Jelita hitam bertubuh ramping dalam gelombang sutra. Tanpa kancing, hanya dengan tali kecil sebagai pengikat. Dan sewaktu berjalan, kaki hitam mudanya itu akan menonjol dan memperlihatkan kecantikannya.

Tapi aku… sekiranya berada dalam gaun itu akan kelihatan seperti baru keluar dari kamar mandi.

“Terima kasih,” kataku kepada pemilik salon. “Aku tak perlukan apa-apa. Aku wanita berpengalaman untuk keduniawian.”

Kata-kata: aku wanita berpengalaman keduniawian itu seakan-akan aku ini bukanlah wanita.

Pemilik salon tersenyum tipis, ujung bibirnya pucat bergerak sedikit saja. Dia seperti menilai sikap rendah diriku. Mungkin dia juga rendah diri tapi yang paling penting dia bisa  menilai sikap rendah diriku. Dia jarang menemui orang yang sanggup diundangnya untuk memilih setiap gaun dari koleksinya, tapi malah menolak.

Pemiliknya mendekati lemari dan mengambil sepasang gaun hitam. Sangat sederhana. Satu-satunya hiasan yang ada hanya bros dari kristal dan bertulis nama pemilik salon. Dari jauh tampak berkilat seperti berlian.

“Ini cocok,” katanya.

Dan aku sendiri melihatnya memang cocok. Ternyata benar.

Paling tidak aku sempat memakainya. Amat sesuai dengan badan yang tidak berlebih-lebihan. Keindahan akan menonjol ketika tidak ada yang berlebih-lebihan.

Pemilik salon duduk di atas meja dengan menjuntaikan kakinya dan memandangku dengan mata hijaunya yang ditudungi rambut lebat berwarna pirang. Wanita berusia enam puluh tahun tanpa sebarang rias, mengenakan jas hitam berlapis. Dia tetap menarik di pandangan mata laki-laki. Dan aku mengerti: orang berbakat tak pernah jadi tua. Pemilik salon itu tidak tua. Hanya saja dia sudah lama hidup di dunia ini. 

Awak TV datang tepat sesuai waktu yang ditentukan. Anestezi sudah mencapai kata sepakat sebelumnya bahwa pengambilan gambar akan dilakukan di rumah Maurice dan sesudah itu di jalan Paris.

Aku didekati oleh anak lelaki Maurice. Dia berusia empat puluh tahun dan serupa dengan bapaknya, hanya lebih tampan. Mata biru, hidung besar, dagu kecil. ‘Tipe Ives Montand’ tetapi lebih tampan.

Dia memandangku dengan teliti, mengambil lipstik dari tasnya, mendekatiku, mendongakkan wajahku dan mengenakan gincu ke  bibirku.

“-Bagaimana dengan mata?” tanya Anestezi.
“Wajahmu  baik diwarnai hanya salah satu: bibir atau mata,” jawabnya dengan tidak mengalihkan pandangannya dari wajahku. Sesudah itu dia menundukkan kepala seakan-akan membenarkan apa yang dibuatnya.

Di sisiku ada Anestezi.

“Aku juga mau lipstik,” tuntutnya.

Anak Maurice berdiri antara lututnya dan mulai membedak wajahnya. Anestezi memejamkan mata, bulu matanya menjadi terang. Anak Maurice menghapuskan lipstik dari bibirnya.

“Mengapa?” tanya Anestezi, khawatir.
“Aku mau wajahmu berwarna kekuning-kuningan. Seperti cahaya bulan. Biar kelihatan kau seperti berada di dalam kabut.”

Kami duduk berdekatan. Aku dalam pakaian hitam dengan bibir merah, bergaya wanita penggoda lelaki. Anestezi nampak pucat dan tak lagi seksi. Meskipun kenyataan justru terbalik.

Pemandu acaranya seorang lelaki yang sopan dan berbicara lancar  seperti kerikil yang diasah oleh gelombang laut. Dia menyerahkan pertanyaan tertulis kepadaku.

Pertanyaan wartawan Rusia dan wartawan Barat kiranya sama. Yang pertama mengenai sastra perempuan, seolah-olah ada juga sastra lelaki. Ivan Bunin pernah menulis: “Perempuan sama dengan manusia dan hidup dekat manusia”.

Sama halnya dengan sastra perempuan. Sama saja dengan sastra dan bereksistensi bersama sastra. Tetapi aku tahu, yang penting dalam sastra itu bukanlah jenis kelamin melainkan taraf keikhlasan dan bakatnya.

Apa itu keikhlasan? Terangkanlah. Apa itu bakat?

Aku tidak tahu dengan pasti tetapi bisa mengagak. Itu akan terjadi apabila kerjamu diliputi dengan semangat yang penuh dengan cerah dan ceria. Kemudian tenaga itu meresapi pembaca. Kalau penulis tidak berbakat dan hanya memiliki kerajinan saja, maka dari halaman bukunya tak merangsangkan apapun kecuali sakit kepala.
***