Joey, Rio, Media, dan Menpora

Di era kejayaan media massa cetak dan TV, salah satu fungsi utama media massa adalah menentukan agenda pembicaraan khalayak umum. Media yang memilih agenda dan khalayak merespon.

Terbalik dengan era internet (yang mungkin masih belum mencapai titik kejayaannya), ketika hitungan atas kunjungan ke situs internet -dan bahkan ke satu berita tertentu- bisa diketahui tiap detik, justru pengguna yang menentukan agenda dan media merespon aktif, demi jumlah kunjungan ke situs.

Cuma respon media kadang berlebihan karena perlu cepat dalam mengeksploitir ‘ketertarikan’ pengguna sehingga ada risiko kebingungan makna.

Salah satu contohnya Joey Alexander -yang menjadi berita besar karena masuk nominasi Grammy 2016 dan tampil saat pengumuman walau tidak menang.  Anak kelahiran Indonesia berusia 13 tahun ini jelas pemusik jazz jenius.

Itu dia, Joey Alexander adalah pemusik jazz: budaya utama Amerika Serikat.

Dan media-media internet di Indonesia pada pertengahan Februari 2016 mengangkatnya menjadi pahlawan Indonesia dengan ramuan ‘anak bangsa yang berprestasi membawa Indonesia dikenal di kalangan internasional’.

indonesiaTapi Joey tinggal di New York, anajemennya adalah perusahaan Amerika Serikat, album pertamanya My Favorite Things berisi nomor-nomor ‘jazz tulen’ yang steril dari corak Indonesia, dan di situsnya tak ada Indonesia.

Yang tertulis dia lahir di Bali –dan orang boleh berasumsi semua orang asing tahu bahwa Bali terletak di Indonesia walau kenyataan tidak.

Ketika tampil dalam acara pemberian hadiah Grammy memang pembawa acara menyebut Indonesia walau di daftar nominasi kategori Improvisasi Solo Jazz,  tidak tertulis Indonesia. Ini memang soal jazz di acara Grammy, bukan cabang olahraga di Olimpiade.

Kemeriahan media Indonesia dalam memberitakan prestasi Joey Alexander -dengan sudut pandang keberhasilan Indonesia di panggung dunia- membuat maknanya jadi hilang karena ingin ‘memuaskan rendahnya keyakinan diri’ sejumlah warga Indonesia dengan tujuan meningkatkan kunjungan ke situs internetnya. Dan di jaman digital ini semuanya serba cepat, jadi media tak mau –bukan tak bisa- berpikir panjang lebar untuk makna. 

Jelas Joey adalah pemusik beprestasi yang layak dihormati, seperti orang-orang lain dari negara manapun yang juga berprestasi.

Dan pemerintah Amerika Serikat sudah memberikan visa O-1 untuk Joey karena prestasinya di musik jazz untuk masa tiga tahun, yang bisa diperpanjang dan kelak bisa pula menjadi green card. Itu adalah pengakuan atas prestasi Joey.

Saya menghormati prestasinya dengan sesekali mendengar nomor-nomor dari My Favorite Things-nya sambil geleng-geleng kepala dan nyelutuk kagum: “Gila anak ini… 10 tahun lagi jadi dewa jazz dunia anak ini.” Dewa jazz.

Cuma kalau untuk membawa Indonesia ke panggung dunia, kekaguman mestinya untuk banyak orang lain. Antara lain untuk mendiang Gesang Martohartono dengan lagu Bengawan Solo-nya –yang sudah dibawakan dalam berbagai bahasa dan laku dijual atau Goenawan Mohammad, dengan keberhasilan paviliun Indonesia di Franfkurt Book Festival.

Juga masih ingatkah Alan Budiksuma dan Susi Susanti dengan medali emas badminton masing-masing di Olimpiade Barcelona 1992?

Jelas ada banyak lagi orang Indonesia lain, yang memang berjasa membuat Indonesia menjadi lebih dikenal orang asing. Terlalu banyak untuk disebut satu per satu.

Atau mungkin untuk Joshua Oppenheimer –yang membawa masalah pelanggaran HAM 1965 di Indonesia menjadi perhatian dunia- maupun Dr. Margaret Coldiron, sutradara tari dalam drama Hippolytus -paduan Yunani dengan tari Topeng Bali dan Jaipongan- yang sudah dipentaskan di London, Amerika Serikat, dan kelak di Polandia.

Jadi untuk Joey selain rasa hormat dan kagum atas kejagoannya main jazz, ada harapan besar semoga album My Favorite Things laris dan semakin banyak dolar yang semoga dibawa pulang ke Indonesia.

Rio Haryanto ‘membayar’

Kalau Joey dengan albumnya bisa menghasilkan dolar, maka Rio Haryanto menghabiskan £10 juta atau sekitar Rp.185 miliar untuk ikut membalap di Formula 1. Dan media-media internet di Indonesia memberitakannya sebagai pahlawan Indonesia: seorang anak bangsa yang berprestasi membawa Indonesia dikenal di kalangan internasional.

Mari kita kaji sebentar, tapi kita tegaskan dulu bahwa Rio Haryanto adalah pembalap mobil berbakat yang perlu didukung.

Sekarang kita lihat faktanya.  Pertama, benar bahwa sudah biasa jika pembalap baru –yang belum mencapai puncak prestasi di level lebih bawah namun berpotensi- harus mencari sponsor –kata halus membayar- untuk bisa bergabung dengan tim di F1. Syukur-syukur kelak dia memperlihatkan prestasi dan di musim berikut tak perlu lagi mencari sponsor.

Di situs resmi Formula 1, ditulis kalau penampilan bagus dalam masa paskamusim balap F1 antara lain membuat Tim Manor memberi kursi pengemudi mobil F1 untuk Rio. Tak disebut bayaran £10 untuk mendapat kursi itu. Namun di situs BBC Sport –yang punya bagian khusus untuk Formula 1- profil Rio disebut dia membawa sponsor sebesar £10 juta dengan julukan: ‘pay driver’. 

indonesiaFakta kedua adalah Rio Haryanto bukan juara GP2 tapi posisinya adalah peringkat empat musim balap 2015–jadi kasarnya tidak sampai naik ke panggung saat pemberian hadiah juara umum. 

Memang tiga kali menang sepanjang musim 2015 lalu dan –terima kasih- bisa lah terdengar tiga kali Indonesia Raya.

Yang ketiga, bukan fakta tapi sekedar perkiraan, nilai untuk membayar ke Tim Manor itu lebih mahal dari pembangunan rumah sakit Indonesia di Palestina sebesar Rp126 miliar yang diresmikan Desember 2015 atau bisa menghasilkan 660 sarjana S1 –dengan perhitungan biaya kuliah dan hidup per mahasiswa sebesar Rp70 juta/tahun.  

Mengulang kembali, pasti Rio Haryanto harus didukung, seperti yang sudah dilakukan Pertamina.  Juga semoga ada orang per orang atau perusahaan swasta yang mau mendukung Rio, dan juga mendukung anak-anak muda berpotensi lainnya.

Itu dia, kata kuncinya: berpotensi.

Harus ditunggu dulu apakah Rio akan bisa meraih satu angka atau lebih dari 21 balapan F1 musim 2016. Dan Rio mendapat tempat di Tim Manor menggantikan Will Stevens, yang tidak meraih satu angka pun setelah membayar £6 juta. Ada kemungkinan musim mendatang Rio bisa jadi akan ditendang ke luar diganti dengan ‘pay driver’ lain –semoga tidak.

Sampai saat ini Pertamina baru membayar setengah dari sponsor yang diperlukan dan setengah lagi akan diupayakan Kemenpora dengan batas waktu akhir Mei 2016.

Datanglah Menpora Imam Nahrawi dengan cara berpikir yang kacau: meminta para pegawai negeri di kantornya menyumbang untuk memenuhi sebagian dana sponsor. Walau bersifat sukarela, katanya, tradisi paternalistik yang masih kuat di kalangan pegawai negeri Indonesia akan membuat keengganan untuk menolak seruan yang disampaikan orang nomor satu di kementrian.

Mendukung atlet berpotensi merupakan salah satu tugas utama Kemenpora, dan mendukung atlet di F1 dengan pendanaan sampai Rp185 miliar rasanya terlalu berlebihan karena F1 mestinya bukan prioritas untuk negara, Indonesia atau negara lainnya.

F1 lebih sebagai olahraga swasta dengan sentuhan ‘bela negara’ yang sangat sedikit dan banyak pendukung F1 yang memilih tim, pembalap, dibanding negara asal tim atau pembalap. Pendukung Ferrari bukan hanya orang Italia, juga tidak semua orang Inggris mendukung Lewis Hamilton.

Saatnya pula bagi manajemen Rio Haryanto untuk membuktikan prestasinya layak didukung sepenuhnya dengan menemukan perusahaan–perusahaan swasta yang bersedia ‘mendompleng’ namanya dan nama Tim Manor. Dunia usaha biasanya punya pertimbangan yang lebih nyata untuk mendukung seseorang.

Dan akhirnya media internet di Indonesia mestinya lebih jujur dan proporsional dalam meliput keikutsertaan Rio Haryanto di F1. Dia jelas berpotensi namun jelas belum berprestasi puncak. Kemeriahan media dalam memuji Rio bisa menjadi ajakan bagi warga Indonesia untuk menghargai sesuatu yang biasa-biasa saja dan puas menjadi ‘orang di dalam tempurung’.

Benar bahwa di era media digital, kerinduan khalayak akan ‘prestasi anak bangsa’ di panggung internasional perlu dipenuhi. Tapi media seharusnya juga bertanggung jawab menempatkan berita secara jujur dan seimbang sehingga tidak hanya memuaskan hasrat khalayak dengan memelesetkan makna.

Dan kemeriahan media yang menempatkan Rio dalam konteks ‘prestasi anak bangsa’ itu pula yang rasanya mendorong Menpora Imam Nahrawi jadi berpikir kacau: rencananya kekurangan dana untuk setoran ke Tim Manor (yang bermarkas di Inggris) akan diupayakan dari APBD dan APBN.

Itu rasanya sama kacaunya jika ada orang yang berkomentar pembayaran Rp185 miliar untuk ikut membalap F1 di Tim Manor dengan: ‘Indonesia ditipu lagi sama orang Barat’.
***