Ketika Rasa Cemas Musnah – John Aksiman

Fajar baru saja menyingsing. Gadis itu merapikan ranselnya. Tak lupa, dia masukkan odol dan sikat gigi. Lalu sebotol air mineral dan handuk kecil. Ia tampak bersiap betul menghadapi hari yang mungkin akan sulit diduga. Maklum, ia hendak mengikuti demonstrasi. Dalam usia 20 tahun, gadis ini telah belajar banyak tentang kekerasan aparat Mahathir Mohamad. Berkali-kali, ia kena seret dan ditahan karena berdemonstrasi menentang Mahathir. Maka, kalau kali inipun harus berakhir di penjara, ia ingin lebih siap. Hal-hal kecil yang mungkin diperlukan sudah tersedia dalam ransel biru kesayangannya.

Beberapa jam sebelum itu, dia sempatkan menelepon sang adik ;” Dik, aku besok berangkat berdemo.” Ia berbicara dalam nada tenang, tapi tak cukup menyembunyikan rasa bangga juga. Ia seperti sedang menularkan semangat kepada sang adik, “aku mengambil risiko ini, berjuang untuk Malaysia yang lebih baik.”

Menjelang berangkat, dia masih sempat berpesan kepada pacarnya,” ini nomor telepon ibuku.” Sang pacar tak menyahut. Mereka lantas berboncengan sepeda motor. Meninggalkan flat kecil yang disewa beramai-ramai di pinggiran Kuala Lumpur. Mereka melaju ke pusat kota, tempat para pendukung oposisi akan mengajukan Memorandum Rakyat.

Dalam diam, mereka berbagi kecemasan. Entah apa yang akan terjadi beberapa jam lagi. Kecemasan itu memang beralasan. Pekan kedua April lalu, udara Malaysia memang terasa makin panas buat kalangan oposisi. Pemerintahan Mahathir baru saja menangkapi tujuh tokoh oposisi dengan Undang Undang Keamanan Dalam Negeri, atau biasa disebut ISA – Internal Security Act. Dengan UU itu, orang bisa ditahan dua bulan sampai dua tahun tanpa proses pengadilan. Dan, hari itu, Sabtu, 14 April, kalangan oposisi justru akan menggelar demonstrasi, menentang ISA, sekaligus memperingati dua tahun ditangkapnya Anwar Ibrahim.

Koran-koran terbit dengan ancaman di halaman depan. Berita Harian, koran berbahasa Melayu, mengutip pernyataan Mahatir ” Demonstrasi Mengganggu Kepentingan Umum.” Utusan Melayu yang dekat dengan petinggi partai resmi, memuat larangan yang lebih tegas “Jangan Sertai Black 14” Peringatan ini jelas ditujukan kepada publik agar tidak ikut demonstrasi yang diorganisir barisan oposisi. Mereka menyebut peristiwa penangkapan Anwar Ibrahim sebagai Black 14. Koran-koran berbahasa Inggris juga tak kurang-kurang mengecilkan hati oposisi. The Star, misalnya, menulis “Stay Away”

Di tengah kepungan ancaman media itu, tentu saja para penggerak demo di kantor Suhakam (semacam Komnas HAM di Indonesia) itu diserbu rasa cemas. Tetapi kecemasan rupanya tak berlangsung lama. Ketika satu persatu pendukung oposisi berdatangan, ada semangat yang jalin menjalin saling menguatkan. Menjelang pukul 10 pagi, seribu lebih barisan oposisi berkumpul di halaman Suhakam. Dan, rasa cemas itu sirna tanpa berbekas. Ketika Wan Azizah wan Ismail, Presiden Partai Keadilan Nasional, turun dari mobilnya, massa tak kuasa menahan emosi. Mereka berteriak, tepuk tangan dengan tertib; menyerukan dukungan untuk Reformasi. Nama Mahatir dihujat berkali-kali di mimbar bebas itu. Seruan agar Mahatir segera turun juga tak kurang dikumandangkan.

Dua jam kemudian, Memorandum berisi 10 pasal tentang hak asasi manusia itu, diterima Suhakam. Wan Azizah menutup acara dengan pidato pendek. Dan seribuan orang itu bubar dengan terttib. Sama sekali tidak terjadi keributan seperti yang ditudingkan rezim Mahatir. Tak seorang pun membawa molotov, seperti yang difitnahkan para pejabat negeri. Demonstrasi kali ini membuktikan dua hal sekaligus. Pertama, rakyat Malaysia bisa berdemokrasi dengan baik. Kedua, yang amat enting, mereka tidak takut pada ancaman Mahathir.

Dan rakyat yang telah membebaskan diri dari rasa takut adalah rakyat yang sebentar lagi akan memetik kemerdekaannya. Sekuat apapun rezim represif itu, tak akan kuat menahan keinginan rakyat. Rasanya memang cuma soal waktu. Cepat atau lambat, Mahathir pasti akan terdesak oleh energi rakyat Malaysia yang kini makin matang. Lima tahun lalu, ketika pertama kali menginjak Kuala Lumpur, rasanya sulit sekali menemukan kelompok-kelompok perlawanan yang mengambil jalan konfrontasi langsung dengan pemerintahan. Sekarang seperti jamur di musim hujan.

Malam harinya, bersama teman-teman itu saya menikmati teh tarik –teh susu khas Malaysia– di kedai pinggiran jalan. Tiba-tiba, seorang redaktur media datang membawa berita. Abdullah Badawi, Menteri Dalam Negeri Malaysia, menuding ada orang-orang Indonesia yang membantu gerakan oposisi di Malaysia. Pernyataan itu juga dilansir dalam berita televisi. Tetapi kami tak peduli dengan omongan Badawi. Kami yakin ada banyak kerjaan yang mesti diselesaikan esok-lusa.

Dan, Malaysia beruntung punya banyak pemuda yang berani membuang rasa cemas, mengambil jalan berisiko untuk memperbaiki keadaan. Seperti gadis dengan ransel biru tadi.
***