Ibu Presiden


Tirzah

The Beginning
Bagaimana seorang ibu rumah tangga bisa menjadi presiden salah negara berpenduduk terpadat di dunia? Jawabannya keberuntungan, atau mungkin kesialan?

Semuanya diawali dengan kisah seorang ibu rumah tangga bangsa Indonesia yang menikah dengan pria Inggris dan tinggal di Singapura. Ibu itu datang ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura untuk mengurus visa putrinya yang berumur 3 tahun. Hanya mengurus visa, tidak ada agenda politik sama sekali.

Amalia, yang biasa dipanggil Lia, didamping pembantu rumah tangganya. “Biar ada yang menjaga Mayka,” pikir Lia.

Tapi di dalam kereta bawah tanah MRT Singapura  sepanjang perjalanan ke KBRI, Lia menyesali keputusan membawa pembantu. Masalahnya pembantu masih juga berbahasa Inggris dengan Mayka, padahal sudah beribu kali diinstruksikan untuk berbahasa Indonesia. Bukannya Lia anti English tapi bahasa Inggris her majesty the pembantu banyak kesalahan yang akibatnya, pertama, Mayka jadi ikut berbahasa yang salah. Yang kedua, telinga Lia sakit mendengarnya.

Lia tidak pernah jujur mengatakannya kepada Diah. Takut menyakiti. Tapi sekarang ini dia benar-benar mempertimbangkan dengan serius untuk memegang pundak Diah, menggoncang-goncangnya dan sedikit membentak “Demi Allah, berbahasa Indonesia aja kenapa sih. Mohonlah, Bahasa Inggrismu salah semua!”

Ditenangkannya dirinya. “Mungkin Diah punya pacar di Singapura yang cuma bisa berbahasa Inggris.” Mungkin pekerja konstruksi asal India atau Bangladesh. Jadi dia merasa harus melatih bahasa Inggris. Lia berpikir lagi mencoba membela pembantunya. Sewaktu masih mencari-cari alasan mengapa oh mengapa pembantunya menolak berbahasa Indonesia, pintu MRT bersiul dan terbuka.

Orchard. Cepat-cepat dia pegang tangan Mayka dan keluar dari kereta.

Dari Orchard mereka naik taksi ke KBRI. Pagi itu panas sekali dan di KBRI sudah banyak orang dengan segala macam surat ataupun masalah yang perlu ditangangi bapak duta besar dan para staffnya. Untungnya antrian untuk urusan visa tidak panjang. Jadi tak lama kemudian, visa Mayka sudah selesai.

Ketika hendak beranjak pulang, ada pengumungan di samping pintu keluar. Tertulis disana , Dialog Politik antara pelajar Indonesia di Singapura dengan Menteri Kesejahteraan Rakyat Indonesia merangkap calon presiden dari Partai Nasional. Tanggal 25 Maret.

25 Maret? Hari ini? Pasti dalam rangka kampanye pemilu, yang tinggal 6 bulan lagi. Lia sebenarnya tidak terlalu peduli tentang politik Indonesia karena baginya politisi dan pemimpin Indonesia semuanya vampire, penghisap darah, atau mungkin lebih tepat penghisap uang. “Grab as much as money as you can during your stay in the government,” itulah motto mereka, menurut Lia.

Tapi kali ini dia tergoda. “Masih jam 10.30,” pikirnya, “aku masuk 15 menit saja, setelah itu ke toko buku Kinokuniya lalu makan siang di Takashimaya food court.” Keputusan telah dibuat. Lia menyuruh Diah mengajak Mayka main-main di dekat kolam ikan setelah mengingatkannya untuk benar-benar menjaga Mayka karena banyak mobil berkeliaran.

Diciumnya pipi Mayka; “Mommy pergi sebentar aja ya, sayang. Mayka lihat ikan ya.” Mayka mencoba mencium pipinya, luput, yang tercium malah hidungnya, “Ok mommy,” katanya. Lia masuk kembali ke KBRI.

Setelah bertanya-tanya akhirnya Lia menemukan ruang tempat dialog. Sewaktu dia masuk, acara tanya jawab telah dimulai. Cukup banyak juga pelajar yang datang. Di panggung duduk Menteri dan moderator. Lia tidak mengetahui pertanyaan yang sedang dijawab tapi selagi mencari tempat duduk dia bisa mendengarkan; ‘…jadi kita perlu menaikkan harga minyak makan agar tidak ada lagi penyelundupan kelapa sawit ke luar negeri sehingga minyak makan hilang dari pasaran.”

Darah Lia mulai memanas sedikit. “Alasan bodoh!”, pikirnya, “or is he really that stupid?” Logika mengatakan bahwa untuk menghentikan penyelundupan maka para penyeludupnya ditangkap. Begitu sulitnyakah mengikuti logika ini?

Keluarga Lia di Indonesia termasuk golongan menengah. Tapi belakangan ini mamanya sering mengeluh tentang kenaikan harga-harga. Lia tidak bisa membayangkan bagaimana keluarga lain hidup di Indonesia. Dia ingat seorang pamannya yang menarik becak. Bagaimana sulitnya kehidupan dia sekarang? Kemudian sepupunya yang sampai sekarang belum bekerja. Bagaimana dia menghidupi istri dan 3 anaknya? Lia tidak berani meneruskannya.

Bapak menteri bersiap menjawab pertanyaan berikut. Seorang mahasiswa Indonesia di National University of Singapore, NUS, bertanya; “Pemerintah berjanji tahun lalu untuk tidak menaikkan harga bahan bakar minyak, tapi awal bulan ini harga minyak naik lagi. Mengapa ini terjadi, tolong dijelaskan.”

Menteri itu bergeser sedikit di tempat duduknya. “Sekarang ini adalah masa yang sulit buat kita semua…”

“Yeah right,” pikir Lia, “sulit bagi rakyat, gampang buatmu.” Barometer sarkasme Lia mulai meninggi.

“Harga bahan bakar minyak dunia melambung tinggi,” lanjut menteri “jadi mau tak mau kita terpaksa mengikuti arus. Tapi pemerintah bekerja sama erat dengan DPR.”

“Whose members sleep during meetings,” Lia melanjutkan dalam hati. Temperatur darahnya semakin naik.

“Kerjasama ini untuk memastikan efek kenaikan harga ini tidak terlalu menyulitkan rakyat.”.

“Oh boy, how can he sits there and say these things?” Lia berteriak di dalam hati. Bagaimana caranya kenaikan harga minyak tidak menyulitkan rakyat?. Harga minyak naik, biaya transportasi naik, harga barang-barang lain juga naik.

Kalau orang melihat wajah Lia saat itu pasti mereka mengira dia baru saja bertengkar dengan suaminya. Mukanya merah, mulutnya merengut. Sedikit lagi darahnya akan mencapai titik didih. “Satu kalimat lagi dan selesailah Bapak Menteri itu…” tekadnya.

“Lagipula harga bahan bakar di Indonesia masih jauh lebih murah dibandingkan negara-negara tetangga seperti Singapura ini misalnya,” lanjut Menteri itu meyakinkan.

“Apa?! Apa aku benar mendengar kata-katanya? Membandingkan harga bahan bakar di sini dengan di Indonesia?! Income penduduk Singapura jauh lebih besar dari penduduk Indonesia, man! Tidak mungkin membuat perbandingan seperti itu!”

Disebelahnya duduk seorang pelajar yang memegang mikropon bersiap-siap mengajukan pertanyaan berikut. Dia sedang menarik nafas bersiap-siap menunggu jawaban menteri tadi selesai. Tapi Lia merampas mikropon dan menantang.

“Bollocks! A big load of bollocks!” itulah yang pertama keluar dari mulut Lia. Dia kaget dan mengingatkan dirinya sendiri, “Ini forum Indonesia Bu, berbahasa Indonesia dong.”

“Maaf bu, tolong tunggu sampai bapak menteri selesai berbicara,” moderator menyela.

Lia sudah tidak mendengarnya lagi. Dalam pandangannya, si moderator tidak ada di panggung. Semua orang di ruangan juga tidak ada, menghilang. Cuma dia dan menteri. Tiba-tiba ruangan itu terang benderang dengan sinar matahari terik. Di kiri kanan mereka berjejer rumah-rumah kayu dengan tulisan Saloon, Sheriff, Jail. Lantai berkarpet yang tadi dia pijak berubah menjadi tanah berdebu.

Dia berada di wild wild west, dan akan berduel dengan menteri. Satu lawan satu.

Sekitar 30 meter di seberangnya, menteri memakai topi koboi dan tangan bersiap-siap mengambil pistol di pinggag. Wajahnya serius. Lia juga memakai topi koboi, sepatu bot, jaket kulit, dan memegang pistolnya.

“Get back to reality girl!,” Lia membangunkan dirinya dari mimpi.

“Bapak menteri yang terhormat, apakah bapak sudah pernah melihat langsung efek samping dari tindakan bapak menaikkan harga bahan bakar? Melihat langsung, bukan melihat angka-angka inflasi atau angka-angka lain. Pernah melihat langsung bagaimana tukang becak hidup? Bagaimana petani menghidupi keluarganya? Bagaimana supir kendaraan umum membagi-bagi uangnya yang sangat sedikit itu untuk keperluan keluarganya? Jangan, tolong jangan dijawab dulu bapak. Pikirkan saja dulu. Pemimpin Indonesia cenderung terlalu cepat menjawab, menurut saya. Kalau bapak pernah melihat langsung dan tidak menangis dan memohon maaf kepada rakyat waktu mengatakan tidak ada jalan lain selain menaikkan harga minyak, meskipun saya yakin ada jalan lain yang bisa ditempuh tanpa menyiksa rakyat, berarti ada sesuatu yang tidak benar dengan hati bapak. Saya anjurkan transplantasi hati buat bapak dan semua anggota pemerintahan Indonesia. Maaf kalau saya humor karena terus terang saja pemerintah Indonesia ini cuma lelucon. Le-Lu-Con!”

Lia merentangkan tangan untuk mengembalikan mikrophone ke pemegang awal, tapi sebelum si pelajar terbengong-bengong menerima, Lia sudah menariknya lagi,

“Satu lagi bapak,” tambahnya. “Anda semua diangkat oleh rakyat untuk mengurus keperluan rakyat, bukan mengurus keperluan sendiri seperti merenovasi rumah sendiri dengan menggunakan uang rakyat. Tolong utamakan kepentingan rakyat.”

Baru dia serahkan mikropon dan berjalan keluar. Di belakangnya seorang pelajar menyeletuk; “Hey itu bukannya kutipan Mr.Spock di Star Trek?’

Lia yang masih panas tidak mendengarnya, menutup pintu dan berjalan mencari anaknya. Elvis has left the building. Thankyouthankyouverymuch.
***
bersambung

TAGS :