Di Malam Ujung Tahun

Syam Asinar Radjam

Satu petang di ujung tahun. Langit warna mengelabu. Awan-awan yang berat mirip busa kopi susu tarik dalam gelas besar. Petang ujung tahun dalam lebih sepuluh tahun hampir-hampir tak ada pemandangan baru.

Di sebuah pusat perbelanjaan dimana kotak-kotak, botol-botol dan segala bentuk barang berteriak-teriak, saling menyumpal dan saling menyikut, seorang pemuda mengisi keranjangnya dengan jagung muda, dan beberapa potong ayam, margarin, beberapa potong roti, capucino dan satu pak kaleng bir.

Seorang gadis lain terdiam diatas balkon, berpikir tentang gaunnya yang berwarna api. Orang tua bertopi bambu di trotoar pinggir jembatan Ampera atas Musi telah berdiri sejak tengah hari, menunggu pikulannya dengan barang jualan berwarna-warni gembira. Lalu lintas kendaraan mulai menyempitkan ruang pejalan kaki.

Di depan sebuah telaga, gadis resepsionis hotel menunggu bunyi telepon. Sesekali dia mencoret-coret sesuatu pada kertas kecil warna krem. Beberapa tamu telah memesan kamar dengan meneleponnya. Jarum jam dinding di depan sang resepsionis berjalan dengan sangat bersemangat. Petang yang ramai dalam lobby, orangt-orang itu menyiapkan kedatangan artis muda yang nanti malam akan ditontoni, dipelototi, dan didengar dengan bersulang.

Dari tadi gadis resepsionis berbaju hijau mengintip-intip layar telepon selularnya, berharap-harap satu bunyi dering khusus memanggilnya. Dering yang tak kunjung datang. Telepon selular itu ditenteng saja mengikuti kemana geraknya. Menunggu tak beda dengan meminta hanya saja tanpa keta pengantar. Akhirnya dia duduk saja, menunggu dekat telepon hotel dengan kata-kata singkat yang tetap, “Hotel depan telaga, selamat sore…… Ooh maaf, semua kamar kami kebetulan sudah dipesan untuk malam ini…”

Dari depan rumahnya yang berlampu taman besar-besar, seorang pejabat publik menyuruh ajudannya mengirim pesan ke nomor-nomor telepon selular kerabatnya, pejabat bawahannya, pimpinan-pimpinan demonstran tim suksesnya, dan beberapa pengusaha yang mengiriminya biaya kampanye kemarin.

Kemarin pagi ajudan melakukan kerja agak mirip ke koran-koran, hanya saja lewat faksimili. Anak-anak sekolah yang sesore ini menyemut di pusat belanja melakukan hal sama, bertukar ucapan. Karcis bioskop sudah terjual habis untuk malam ini. Pada sebuah lapangan, tenda dan perangkat musik sudah disetel. Dan jika berjalan melalui jalan Sudirman, spanduk-spanduk, baliho, umbul-umbul yang bersaing dengan tanda partai, menunduk, melambai, mengucap selamat.

Tiga orang pendaki gunung bercelana pendek sudah sampai pada mata air dua Gunung Dempo. di pelataran dalam jepitan Dempo dan Merapi tenda-tenda tumbuh seperti jamur-jamur rumah liliput. Di sana gerimis, uap keluar dari mulut-mulut yang berbicara, susu coklat panas dan batang-batang kretek bercengkeh banyak. Dekat shelter dua tiga grup merangkak terus menuju atas. Satu keluarga kesal tak dapat kamar bagus di villa kebun teh.

Malam nanti akan betul-betul ramai. Malam ini menyediakan alasan bagi banyak orang, sebut saja hampir semuanya, untuk berhura, berpora; tahun baru. Keceriaan pangkal tahun dan harapan-harapan, meniadakan alasan tuhan menyediakan hari berikutnya.

Orang-orang melihat jam, kemudian sebagian memaki arloji. Pada beberapa kota tua, orang-orang akan mengitari menara-menara berlonceng atau berjam dinding yang besar. Saat dentang sebanyak duabelas kali tepat ditengah gelap kelat malam, orang-orang membuat terompetnya menjerit, melolong, bersorak dan bersahutan.

Di kota gadis resepsionis hotel, tak ada menara yang berjam dinding seperti kota-kota tua.

Seorang bini muda yang sedang beranak di rumah sakit tertidur lelah. Tiang infus yang berdiri dan pispot yang bersembunyi di satu tiang ranjang Suaminya tak datang. Emak perempuan itu yang petani menikmati tawa cucu pertamanya, satu dari tiga saat paling bahagia. Dua lagi saat mengawinkan anaknya, dan mengetam padi.

… Malam seperti sudah berjanji akan datang.
* * *

Gadis resepsionis itu menunduk saja dekat pukul sembilan. Bed nama di yang menempel dekat dadanya tertulis; LUSYA. Tak ada bunyi dering spesial yang ditunggu dinanti-nanti yang diharap dari seseorang yang teman yang menempati penuh ruang hampa pada hatinya.

Kota kotak-kotak dengan belitan jalan-jalan sempit mulai kian tak mirip Venesia. Kerak Venesia pun tidak.

Meski, jalan-jalan menjadi mirip sungai dengan aliran orang-orang dan kendaraan. Percayalah kota ini sering menjadi mirip Venesia; membuat kota seolah-olah akan hanyut. Dan cahaya kota penyambut malam kota, menjadi lebih mirip gadis nakal di etalase klub malam ketimbang penerang.
* * *

Prabumulih, 21.58 WIB, seorang laki-laki duapuluh lima tahun turun dengan lesu dari kamarnya di lantai dua rumah toko tingkat empat. Dia mulai lelah merenung, seperti malam-malam sebelumnya, tentang kegagalan dalam ujian jadi pegawai negeri. Jalan-jalan dan kerumunan orang diharapkannya menjadi semacam ramuan yang paling mujarab. Dua jam langit akan menyaksikan ribuan jabat tangan, teriakan, ciuman, pelukan, dan rangkulan para sahabat, orang-orang tak saling kenal. Langit akan diserang kiriman beribu-ribu do’a.

Mengenakan sweater tebal warna tanah, sang calon pegawai negeri yang telah menjadi pengangguran lagi mengayunkan langkahnya sepanjang kios-kios kelontong kaki lima. Mengaitkan dua telapak tangan kiri di lengan kanan belakang punggung.

Bergumam mengeluarkan bunyi tak pasti. Kemudian membelok kekanan, sebuah lorong yang setiap pagi berbau mie pangsit. Lalu tak kelihatan lagi. Dia adalah satu dari beberapa orang yang percaya, bahwa gerimis malam itu akan disambar nyala kembang api.
* * *

Mad Mohae, nama sebenarnya Ahmad Muhaimin, mantan pekerja yang gagal merebut greencard di Memphis, Tenesse, tak berpikir tentang malam ini. Hanya berputar soal kebun karet, Hevea braziliensis, yang baru dibukanya. Kebun karet di atas lahan yang ditukar dengan tabungan dollar-nya akan menghidupinya enam tahun kurang lebih nanti.

Hingga dia tak perlu lagi dikejar-kejar petugas imigrasi, tak perlu berdiri depan gerai waralaba me-rockandroll-kan lagu-lagu tentang kampung halaman. Berharap beberapa recehan melompat masuk ke tas gitar dari kulit yang tergeletak dekat tiang telepon umum.

Dulu barangkali dia punya pemaknaan khusus tentang malam tahun baru; adalah libur kerja satu hari atau kerja dengan upah empat lipat. Tak ada makna khusus, seperti hari minggu saja. Biasanya dia memilih tidur sampai tengah hari setelah malamnya merendam lelah pada genangan bir di bar. Sebab tanggal 2 Januari kehidupan berbalik lagi menjadi berat dan melelahkan.

Dia tersenyum malam ini, dalam bilik pondok tengah kebun. Besok pagi-pagi sekali lubang-lubang sebesar tipi lama empatbelas inchi akan ditutup dengan bibit-bibit karet. Dahulu apa yang akan dilakukan Mad besok pagi adalah lambang penguasaan atas tanah yang hidup secara turun temurun. Di luar cahaya menyenggol pucuk-pucuk pohon merawan.
* * *

“Tak ada yang bekerja lagi satu detik setelah pukul sebelas!” Ada yang berteriak dari menara. Banyu, buruh minyak berdiri dengan memukul-mukulkan kunci inggris besar ke besi-besi. Dibawah krunya mendengarkan dengan bersorak menimpal bunyi besi terpukul kunci.

Di bawah menara, mandor pengawas berteriak-teriak mengingatkan. Tapi kawan-kawan Banyu, sesama kru penambangan minyak menyuruh sang mandor berhenti bicara. Malam itu di lokasi sumur gas baru yang nanti akan dialirkan ke pipa sampai singapura, demi satu alasan yang mirip jargon, ‘Ketahanan Energi Asean,’ padahal untuk kebutuhan negara industri. Tempat ini sejauh 40 kilo masuk dari pedalaman prabumulih.

Hampir satu minggu mereka manda di lokasi ini. Tak ada cuti malam tahun baru, bahkan mereka tak mengantongi kontrak kerja bertanda tangan dua pihak, tak ber-perjanjian kerja bersama.

23.00 WIB, Banyu meminta kawan-kawannya berhenti bekerja, dengan tetap sekali-sekali harus mengontrol rig. Banyu masuk setengah berlari ke camp bekas peti kemas. Tak seperti biasanya melepas wearpack berlumpur dan berciprat minyak mentah dan merendamnya pada ember berisi kondensat. Banyu terlebih dulu menengok telepon selular yang dikaitkan ke antena dekat jendela kontainer. Tak ada pesan, tak ada panggilan masuk, sekedar ucapan basa-basi sekalipun.

Wearpack yang basah oleh peluh dilemparkan saja ke sudut bilik, lalu mencuci muka dengan sabun. Keringatnya dilap saja dengan kaos oblong.

Di luar camp, kawan-kawannya sesama kaum pemburu minyak telah menyiram tumpukan kayu yang disipakna sebelum maghrib dengan kondensat. Kurak, sang restabout melemparkan sepotong nyala korek api. Dari dekat camp, Asan membagi-bagikan kaleng bir dengan cara melempar seperti pemain base-ball.

Tak ada mandor, tak ada tenaga un-skill malam itu, tak ada perintah. Mess-boy, operator crane, mekanik, elektrik, cutting boy, restabout, kaleng-kaleng bir, menara rig yang kaku, menunggu detik yang barangkali langit akan meniupkan terompet. Mandor telah larut dalam tenggak-tenggak bir, dan vodka dioplos sari buah. Mulut mandor menyeracau saja, tentang upah yang naik menyamai gaji pegawai perusahaan negara.
* * *

Malam di ujung tahun. Lumut-lumut memegang dinding-dinding perumahan kota tambang yang sudah mati. Tak lagi berpenghuni. Atap-atap dari kayu sirap yang mahal membebani rangka kayunya, pada beberapa tempat atap mulai membusuk dibekap dahan serta daun kayu yang meliar.

Jika ada pokok dahan yang jatuh karena telah mati dan tak terpegang lagi oleh pokok utamanya, maka atap yang membusuk itu jatuh terhenyak, lalu kayu-kayu penyangga atap dari kayu kelas bagus limbung dan menabrak plafon berayap, kemudian mereka jatuh bersama-sama pada lantai ubin yang dingin.

Bekas-bekas kompleks perumahan telah pernah mengantarkan penghuninya menjadi warga kelas utama di pasar-pasar. Perempuan-perempuan mereka menjadi idaman penyepuh emas, pedagang kue-kue mentega, tokoh permen coklat dan penyewaan kaset video. Anak-anak mereka mendapatkan komik yang mereka sukai setiap bulan. Saat ini tak tak ada lagi gas bernyala api di halaman belakang tempat penghuni rumah membakar apa saja yang mereka anggap sampah.

Tak ada lagi perayaan malam tahun baru dan hari-hari besar agama di rumah Bapak Kepala Lapangan. Para employe itu telah lama pergi atau dipindahkan. Rumah-rumah mewah telah menjadi puing yang hilang atap dan berlumut di dinding. Dan jalan-jalan beraspal kelas utama yang pernah licin telah pecah-pecah. Terompet-terompet telah lama menjadi lempam di kota mati ini. Satu gereja protestan dan mesjid di dataran yang agak tinggi juga mengalami kesepian dan mulai melapuk.

Kota mati itu tak lagi berpetugas stuan pengamanan. Malam tahun baru kini sama dengan malam sebelumnya, diisi remaja-remaja tanggung dalam kelompok pemabuk atau mereka yang berpasang-pasangan. Untuk sekedar memenuhi hasrat pergelian masing-masing kelamin.

Berbeda lagi, kampung minyak. Namanya memang begitu. Penduduk sana masih sempat memburu burung di ujung tahun. Seperti sejak kebingungan orang-orang tua mereka pertama pindah ke kawasan ini. Mereka adalah keturunan dari petani yang dipindahkan Belanda sampai penguasa negeri sendiri ketika kampung dan kebun-kebun, hutan buah dan kampungan yang penuh durian dan damar, talang-talang tempat mereka menunggu musim panen dan kebun-kebun kopi tua, segala kekayaan yang mereka punya semua tanah yang mereka miliki harus ditukar dengan lubang pengeruk batu bara.

Barangkali mereka adalah tak peduli dengan almanak. Sejak tanah ditempat dekat-dekat sumur minyak telah mengerikil, mereka tak tahu bertanam apa yang bagus. Atau mereka lupa membawa benih-benih padi talang manakala mereka pindah kali pertama. Angka pada almanak hanya menjadi agak penting jika ada pasaran burung atau pesanan tiang-tiang pagar yang dipesan pembeli. Sebab musim telah berhujan, banyak pesanan tak terpenuhi.
* * *

Gadis resepsionis, Lusya. Sendiri saja di balkon hotel. Senyap. Menunggu dering telepon spesialnya berupa potongan dari lagu yang sangat terkenal, ‘Lilibus dan Vodka.’

Matanya sepi. Jika tak ada nada dering khusus itu berarti tak ada pertemuan malam ini. Detak jam sudah berteriak mengingatkan detik terakhir tahun ini 10 menit 29 detik. Banyu, pemburu minyak dalam larutnya pada bir, sesekali dengan lamban masuk ke camp memeriksa sekedar pesan sekedar ucapan selamat yang malas datang.
* * *
Perjalanan, 16 Desember 2004