Kucing Hitam

Dalipin

Aku kembali terbangun dari tidurku, basah kuyup dengan keringat. Mimpi buruk itu datang lagi.

Seekor kucing hitam besar mengejar-ngejar aku, matanya tajam menembus dinding hati, cakarannya menyayat lebih tajam dari pisau. Setiap kali aku lawan, tubuhnya menjadi membesar, terus membesar hingga dua kali lebih besar dari aku. Ketika seluruh jengkal kulitku telah tersobek-sobek, seperti menyeringai ia akan memandangku. Terus memandangku. Luka ditubuhku tak seberapa besar terasa, tetapi tatapan itu. Menuntut. Menyalahkan. Pusing aku sekaligus takut.

Dua minggu sudah aku tak bisa tidur nyenyak. Dan ini betul-betul menganggu ritme hidup. Aku memang tak perlu tidur banyak, paling empat atau lima jam seharinya. Tetapi kalau yang empat lima jam itu terganggu, wah celaka.

‘’Memang begitu Den ,” Mbah Marto dengan sareh mengatakan kepadaku.

Mbah Marto ini tetanggaku. Atau lebih tepatnya orang yang ngindung ke keluargaku. Rumahnya sebenarnya bagian belakang rumah orang tuaku yang memang kosong karena tidak terpakai. Ia tinggal bersama istrinya, Mbah Marto putri. Tak punya anak. Sudah ikut keluarga kami sejak eyangku dulu.

‘’Den Bagus nggak hati-hati sih. Mosok kucing segede gitu ditabrak begitu saja. Apa nggak nglihat apa?”
‘’Ya enggak lah mbah. Kalau nglihat ya pasti nggak tertabrak. Sepeda motornya pasti sudah saya rem,” jawabku agak jengkel.
‘’Iya ya,” iapun menjawab dengan tersenyum.

Aku memang suka ngobrol dengan mbah Marto. Kalau siang-siang habis pulang kuliah aku sering ngobrol di belakang rumah, duduk di amben yang ditaruh dibawah pohon sawo kecik yang rimbun daunnya. Kadang-kadang sambil minum teh nasgitel bikinan Mbah Marto putri.

Mbah Marto pintar bercerita. Pengalaman hidupnya banyak, paling tidak kalau mendengar ceritanya. Yang paling banyak diceritakan tentunya eyang kakung ku yang katanya satrio pilihan. Pokoknya hebatlah. Bangsawan yang berpikiran modern. Berpendidikan barat tapi njawani. Toleran tetapi kukuh memegang agama. Ber a gomo ageming aji katanya.

‘’Makanya anak-anaknya jadi semua kan Den,” Mbah Marto tampak bangga seolah anak-anaknya eyangku, termasuk bapakku ini adalah anak-anaknya juga.

Tentu ia sering mengulang-ulang ceritanya. Tetapi aku tetap suka mendengarkannya.

‘’Mimpi itu nanti akan hilang sendiri kok Den.”
‘’Kok bisa mbah?”
‘’Lha iya wong mimpi itu salah satu gunanya kan untuk tetenger . Pertanda. Peringatan. Kalau yang diberi peringatan itu nanti sudah sadar, ya hilang sendiri.”
‘’Kalau saya nggak sadar-sadar mbah?”
‘’Ah Den bagus ini ada-ada saja. Mana ada orang kok nggak sadar-sadar.”

Kami sekeluarga tidak ada yang tahu asal muasalnya Mbah Marto ini. Bapakku juga tidak. Bapaknya bapakku, eyangku, menurut bapak juga nggak pernah bercerita. Bapakku hanya mengatakan ia ingat ketika pertama kali Mbah Marto datang ke rumah eyangku, rumah yang aku tempati saat ini, eyang menyambut dengan sangat gembira, seolah saudara sendiri. Bapak sendiri baru berusia 5 tahun saat itu. Sementara Bulik Sri, adik bapak baru berusia 3 tahun. Dan Paklik Adi, adik bapak yang bungsu malah baru lahir. Sejak itu Mbah Marto jadi bagian dari keluarga bapakku.

Aku sebenarnya pernah bertanya mengenai keluarga Mbah Marto, apakah ia masih punya sanak saudara, asalnya dari mana, tetapi Mbah Marto tidak pernah menjawab. Bertanya pada Mbah Marto putri sama saja.

‘’Kalau nabrak kucing, apalagi kucing hitam mulus, seperti yang Den Bagus ceritakan, itu pertanda buruk Den.”

Mbah Marto tampak hati-hati sekali mengemukakan hal ini. Sepertinya ia berfikir panjang sekali sebelum mengatakan hal itu padaku.

‘’Ya saya tahu itu mbah. Itu kepercayaan Jawa kuno mbah. Tapi itu kan nggak masuk diakal.”
‘’Den Bagus…….. nggak masuk diakalnya dimana?”
‘’Kalau saya lapar, kemudian makan, kemudian kenyang itu jelas. Perutnya diisi. Kalau saya haus, saya minum, lalu hausnya hilang itu juga masuk diakal. Tenggorokannya dilewati air. Lha kalau saya nabrak kucing hitam lalu itu pertanda buruk itu masuk akalnya dimana?”
‘’Masuk akalnya ya kalau ada orang nabrak kucing hitam itu merupakan pertanda buruk. Itu urutannya. Kita titeni Den. Kita hapal dengan kejadian berikutnya.”

Aku tersenyum. Kalau ada persoalan penting Mbah Marto ini bicaranya lalu pelan dan suaranya menjadi rendah. Aku sudah hapal lagak lagunya.

‘’Den Bagus ingat kejadian Suro itu. Suro nabark kucing hitam sampai mecedel dengan sepedanya. Seminggu kemudian Tanto anak keayangannya mati.”
‘’Itu sih karena Tanto memang kena tipes. Kasep. Ketahuannya baru belakangan. Bukan karena nabrak kucingnya.”
‘’Si Dalhari? Bis kotanya nabrak kucing, tak lama kemudian Siyem istrinya kesrempet bis kota, patah kakinya. Sampai sekarang masih degleng.”
‘’Yu Siyemnya yang kurang hati-hati. Ke pasar bawa barang dagangan di sepedanya kebanyakan hingga oleng kesrempet.”
‘’Ini bukan untuk menakut-nakuti Den. Aan teman Den baguse gimana? Dia nabrak kucing, dua hari kemudian gantian dia jatuh dari pohon jambu. Mati.”
‘’Iyalah Mbah.”
‘’Bentuk kejadiannya bisa macam-macam Den. Tapi pokoknya tetap sama, nabrak kucing lalu musibah. Ya begitu cara mbacanya Den. Di titeni . Ya kan?”

Mbah Marto seperti biasa kemudian berbicara panjang tentang bagaimana kita harus selalu tanggap ing sasmita , selalu paham membaca pertanda. Mengenai alam dan peristiwa yang selalu memberi pertanda. Tentang kita yang harus peka, mata batin harus selalu terjaga.

Kalau sudah begini Mbah Marto bisa saja berbicara berjam-jam. Ilmu gathuk ginathuk nya keluar. Aku sama adik-aikku sering bercanda, dalam keadaan seperti ini Mbah Marto itu sudah dalam automatic mode , kendali otomatis. Membongkar semua pengalaman hidupnya untuk membenarkan apa yang diyakininya sebagai kebenaran.

‘’Inti-intinya Den. Ya kita ini harus siap untuk menerima apapun suratan yang sudah ditentukan sama yang diatas sana.”

Mbah Marto mengatakan ini dengan gaya khasnya. Tangannya menunjuk ke atas sambil mendongakkan kepalanya.

‘’Ya kalau itu sih kita semua juga sudah tahu Mbah.”

Sambil mengatakan itu aku segera berdiri dan pamit mau mandi dulu. Hari sudah sore.

‘’Satu lagi Den. Den Bagus sendiri juga harus hati-hati.”

Habis mandi sore aku berencana untuk malam pergi ke rumah teman. Biasa, sekadar nongkrong dan ngobrol.

Tetapi malam itu semua terpaksa aku batalkan. Selesai mandi, baru keluar kamar mandi, aku lihat bapakku, ibuku dan adik-adikku seperti gugup dan berlarian ke belakang rumah.

‘’Ada apa?”
‘’Mbah Marto. Mbah Marto meninggal.”
‘’Hah?”
‘’Iya Mbah Marto meninggal. Baru saja. Kesedak saat minum teh di belakang rumah.”

Dengkul ku lemas seketika.

TAGS :