Teheran Dalam Stoples

. Anak Hamidah
Aku tiba di bandara Mehrabad Teheran. Semua orang rasanya tahu kalau aku adalah seorang pelancong.

Bajuku sangat mencolok dengan warna kuning marun. Aku berjalan mencari sebuah taksi dengan perasaan sedikit aneh: aku tak yakin kalau Teheran dulu pernah aku tinggali.

Teheran kini tak ubahnya kota metropolitan. Banyak hotel, pusat perdangangan, sekolah dan juga aneka pusat perbelanjaan. Aku juga melihat adaya alun-alun yang jauh lebih indah dari yang melekat dalam kenanganku.

Dulunya alun-alun itu hanyalah tanah lapang yang memiliki banyak pohon yang  berjajar rapi di sekitarnya. Di kanan kiri ada gedung yang memagarinya. Sederhana dengan bata tua dan juga bangku ala kadarnya. Sekarang jangan tanya bagaimana rupanya. Aku melihat berkeliling dan terasa lebih indah dengan tanaman-tanaman yang diatur rapi dan barisan kursi-kursi yang bersih.

Aku teringat, sekali waktu aku pernah menemui Ummu dan bertanya, “Kenapa bajuku selalu hitam saat di sekolah dan kenapa pula baju kebanyakan wanita Iran harus hitam pula?”

Ummu hanya tersenyum.

“Karena hitam membuat kita lebih cantik.”
“Tidak banyak warna membuat kita cantik juga.”
“Iya. Kau benar.”

Aku kini tahu kenapa. Masalah madzab!

Apapun itu tak penting: hitam, kuning, biru, atau hijau karena yang penting aku Islam.

Ah… Ummu bagaimana kabarmu?

Mahmud, cucu mullah Fairus, adalah satu-satunya orang yang bisa kuhubungi dan ia dengan suka rela menjemputku di bandara.

Tak ada yang mengharu biru saat kami berjumpa satu sama lain setelah puluhan tahun. Kami hanya mengumbar senyuman dan saling hormat lalu pertemuan itu berlalu. Tak ada perasaan apapun dibenakku tentang masa kecil kami.

Selain bekerja menjadi supir taksi, dia yang juga merawat rumah kami selama kami tak ada. Laki-laki ini adalah yang direkomendasikan tiga teman ibu padaku.

Dia langsung mengenali aku, mungkin fotoku yang ibu kirimkan akhirnya sampai juga ke tangannya. Aku tak bertanya apapun padanya dan memilih diam sambil merekam setiap momen yang ada.

Kusaksikan bangunan baru berjejal menggeser bangunan tua, kulihat barisan perempuan berchadur, kulihat lelaki berjas, kulihat toko sandwich, kulihat restoran sederhana Iran, dan kulihat banyak lagi yang berbeda dari gambar-gambar di kenanganku.

Mahmud memiliki mata belok dan berjanggut dengan paras Iran yang khas. Dia sangat pendiam, seperti dengan mullah Fairus. Dia tak bertanya apapun padaku. Di tengah keheningan kami itu, aku merasa dia diam mungkin karena tak percaya dengan yang sedang dihadapannya.

Aku, Leila, gadis yang cuma ia kenal secara sepintas, yang selalu berebut untuk mendapat pangkuan kakeknya kini sudah tumbuh dewasa. Kerudung ala kadarnya yang aku kenakan membuatnya tampak semakin yakin kalau yang diia lihat adalah Hamidah, seorang wanita yang juga memakai kerudung sama seperti yang kupakai.

“Bagaimana tiga bocah Khan?” kupecah kebisuan kami.
“Saya hanya mendengar sedikit. Jalalludin kudengar menjadi guru Sastra persia di universitas Imam Khomeini. Lalu Faris menjadi juru masak yang handal… khanum Leila.”

Dia memanggilku dengan Khanum, yang menandakan bahwa secara usia aku tidak muda lagi. Aku tersenyum kecil mendengarnya.

“Agha (tuan) Mahmud, lalu Ma’arif, Khafsah dan Ali?”
“Ma’arif, dia seorang polisi. Aku tahu di d imana. Ia seorang polisi lalu lintas yang sama dengan babanya. Kamu tak mau jalan-jalan di syab-e Eid?”
“Boleh?” kataku.
“Apa pekerjaan khanum?”
“Fotografer atau boleh dibilang kami tim kreatif majalah.”

Dia menatapku tak paham dengan apa yang aku katakan.
“Eee… pendek kata kami kami memnyusun majalah. Ya itulah…”
“Hebat ya.”
“Tidak juga.”
“Sayang sekali wanita di sini kurang maju.”

Ia agak medesah, terdengar sedikit kecewa. Desahan yang sama yang dulu diungkapkan empat wanita Iran pada suatu sore di rumahku. Desahan kecewa yang terselubung.

“Suatu saat pasti akan maju.”

Ia mengajakku berhenti di sebuah bundaran karnaval pasar tahun baru Iran, yang jatuh seminggu yang lalu. Selama aku dulu tinggal di Teheran aku tak pernah mengikuti keramaian perayaan tahun baru. Ibu tak yakin dengan yang dinamakan tahun baru dan hanya tahu kalau kami tak wajib ikut-ikutan.

Ibu punya keyakinan, begitu juga ayah juga sedangkan keyakinanku hanya sebatas aku harus menuruti mereka. Aku hanya pernah merayakan tahun baru di rumah Khan: ikut memakan samanu dan berebut permen dengan juga bocah-bocah Khan lainnya.

Di karnaval pasar tahun baru ada bayak kios yang menyediakan berbagai barang dan makanan. Aku sebenarnya ingin hanya sedikit mengambil foto.

Iran adalah sebuah negara dengan masyarakatnya yang amat tertarik dengan foto. Sejak dahulu hingga kini, budaya foto itu tak pudar. Melihatku mengambil foto, banyak orang yang memintaku memfoto mereka. Mereka bukan hanya orang-orang yang sedang berbelanja tapi juga para pedagang dan dari segala usia.

Khanum Leila…”
“Leila saja,” jawabku sambil menatap kios-kios yang berjajar rapi.
“Iya, Leila… Kamu masih sama.’

Aku hanya tersenyum menatap mimik orang Afghan yang lewat di hadapanku. Kutelusuri seorang anak perempuan yang digandeng erat tangannya oleh ibunya. Kulitnya memang hitam dan parasnya mirip orang Indonesia. Karena itukah mereka menyebutku Afghan, 0rang-orang yang pergi mencari perlindungan dari ezim Taliban. Orang yang berkerja apapun dan bahkan digaji lebih rendah dari orang Iran hingga kadang dihina sebagai budak atau perebut lapangan pekerjaan.

“Kau tahu tidak? Iran telah berubah.”

Aku hanya mengguk pelan, mendengar cerita dari orang lama di Teheran sambil sesekali menapak tilas masa kecilnya, ketika aku disebut Afghan.
***
bersambung