Dari Kehidupan Para Jutawan

Victoria Tokareva
Penerjemah: Victor Pogadaev

Kami duduk mengelilingi meja.

“Tadi pagi aku pergi ke dokter,” kata Madelaine.

O, jadi Madelaine  datang ke kota untuk pemeriksaan doktor.

“Segala-galanya oke,” dia menambahkan dengan nada puas.
“Apa yang kau derita?” tanyaku meskipun tidak tahu apakah sopan pertanyaan seperti itu.
“Kanker. Sedikit saja.”

Aku terus menundukkan kepala untuk menyembunyikan kebingunganku. Kanker merupakan  hukuman. Dan hukuman tak pernah cukup sedikit saja. Itu hukuman mati yang diperpanjangkan dalam perjalanan waktu.

“Sudah ada pembedahan?” tanyaku lagi dengan hati-hati.
“Tidak. Peringkat nol. Masih sedikit.”

Para jutawan menjaga kesehatannya dan mulai menentang kematian pada peringkat nol. Padahal penduduk lain ketemu dengan kematian seperti ketemu dengan truk dan sudah tak tertolong lagi. Kanker itu membunuh separuh penduduk bumi termasuk Mitterrand*.

Madelaine kasihan!

Dia mengalami kesedihan  berganda: luka jiwa dan kehancuran raga. Bisa jadi ‘peringkat nol’ itulah yang menakutkan Maurice. Dia berasa hembusan dingin dan membutuhkan sesuatu yang panas. Lalu muncullah Etiopa dalam kehidupannya.

Aku mengangkat muka. Timbul perasaan untuk mengatakan sesuatu yang bisa menyenangkan dia.

“Kau tampak seperti anak perempuan Maurice. Bagaimana kau berhasil menjaga bentuk badan?”
Attencion,” jawab Madelaine dengan suram.

Aku paham: dia makan sedikit.

“Dia punya kekasih lain,” kata Madelaine dengan tiba-tiba. “Outre femme.”

Antara kami timbul satu rasa kemesraan yang membolehkan dia meluahkan isi hatinya kepadaku meskipun aku orang asing. Tetapi mungkin dia tahu bahwa pada hari berikutnya aku meninggalkan Prancis dan membawa segala rahasianya.

“Tidak.” Aku berpura-pura tidak percaya dan terbelalak mata seperti waktu pertama aku melihat bunga floks.
“Ya,” Madelaine berteriak pendek dan nyaring seperti melepaskan tembakan. “Dia berusia 25 tahun.”

Dia mengulurkan kedua tangannya dengan jari lurus. Pada satu tangan dia lipat tiga jari, yang tertinggal dua, yaitu ibu jari dan jari telunjuk. Dan pada tangan lain semua lima jari lurus. Itu berarti 25.

Aku menduga orang  yang dimaksudkan ialah Etiopa. Madelaine mengucapkan satu monolog dengan marah dan aku paham dua kata: no pardone. Aku mengerti: dia tidak berniat memaafkan. Aku dengan sabar mendengarnya dan berkata.

“Bodoh semuanya. Stupidite. Kau mengada-ada saja. Maurice mendewakan kau. Aku melihat itu dengan mata kepalaku sendiri.”
“Apa kau melihat?” Madelaine tidak mengerti.
“Bagaimana dia memandang padamu. Dia amat  mencintaimu.”

Madelaine lama menatap aku.

“Ya, mencintai kau,” dan tambahkan, “Sangat!”

Tentu aku tidak diberi kuasa untuk mengucapkan kebohongan ini. Tetapi pada saat itu aku dengan tulus ikhlas mempercayai kata-kataku dan karena itu aku tidak berbohong.

Madelaine tetap menatapiku dengan penuh perhatian. Kepercayaanku meresap kepada dirinya juga. Begitulah seorang pesakit kanker menatapi dokter yang menjanjikan kepadanya kehidupan abadi.

Pada malam itu juga diadakan jamuan makan perpisahan. Kami duduk di restoran yang sama seperti pada hari pertama. Kami bertiga: Maurice, aku dan Anestezi. Madelaine pulang ke bungalo. Katanya bunga floks yang ungu layu.

Kami duduk bertiga sama seperti pada hari pertama tetapi segala-galanya jauh berbeda. Aku bergaya seperti perempuan penggoda lelaki, Maurice bergaya Yves Montand masa tua, dan Anestezi atau Nastya –bom seks, segala-gala yang ada di dalam dirinya meluap-luap.

“Kau melihatnya?” tanyanya senyap seperti mau berkomplot.
“Siapa?”
“Kau tahu. Tentu Sofie.”

Aku diam, mengulurkan waktu.

“Bagaimana dia?”
“au lebih cantik,” jawabku akhirnya.
“Karena apa?”
“Karena terlalu biasa untuk dipandang mata.”
“Apa dia itu muda?”

Aku ingat jari lurus yang dipaparkan oleh Madelaine, dan menjawab:

“Dua puluh lima tahun.”

Pada usia 20 tahun matahari selalu tinggi dan menyinari ubun-ubun. Maurice merapati Etiopa dan mereka berdua di bawah mataharinya. Cahaya hanya cukup untuk berdua.

“Jamur dimakan ulat!” Nastya berbisik dengan benci.

Aku paham, dia penuh dengan rasa iri hati. Dia tidak mau ‘menswastakan’ Maurice dan tidak mau dia menjadi milik perempuan lain. Nastya mengayun-ayunkan cambuk seperti penjinak singa supaya semua binatang duduk di tempatnya. Masing-masing  di tempatnya sendiri.

Maurice pergi dan tempat duduknya kosong. Nastya berpendapat bahwa tempat itu paling utama, tepatnya ‘singa’ itu.
“Bisa aku bermalam denganmu?” tanya Nastya.

Dia hendak menebus kekalahan. Dia hendak bertarung langsung dengan Etiopa. Maurice diam. Artinya waktu untuk Anestezi sudah berlalu. Seorang pelayan datang.

“Kapan pesawat terbang bertolak?” tanya Nastya dan memandangku dengan mata yang kabur.
Akulah orangnya  yang menghubungkan dia dengan Maurice.

“Aku akan mengantarkannya,” kata Maurice.

Anestezi cepat bangun dan pergi ke tempat penitipan pakaian. Maurice mengikutinya. Dia perlu menolong Anestezi memakai mantelnya.

Sesudah itu dia pulang. Diam saja. Seperti  dalam sebuah lagu yang berbunyi: “perpisahan ialah kematian kecil”.

Dia sebagiannya mati. Sebagiannya yang bernama Anestezi mati di dalamnya.

Pelayan menuangkan anggur. Kami minum dalam kesunyian.

“Aku hendak mengubah nasibku,” kata Maurice. “Aku membutuhkan waktu yang cukup untuk menempuh satu lagi kehidupan. Tetapi perbedaan usia antara aku dan Sofie terlalu jauh.”
“Tidak ada perbedaan apa pun,” kataku.

Maurice memandangku dengan pandangan meresap.

“Aku 40 tahun lebih tua dari dia. Aku sudah terlalu tua.”
“Kau belum tua.”
“Kau memang pikir begitu?”
“Bukan soal ‘pikir’. Itu kebenaran,” kataku dengan penuh keyakinan. “Apakah orang yang jatuh cinta bisa menjadi tua? Orang yang tua ialah orang yang tak memiliki kehendak lagi.”
“Aku juga berasa begitu,” Maurice mengaku. “Karena itu aku ingin mencoba sekali lagi. Masih belum terlewat, ya?”
“Tepat pada waktunya. Dahulu terlalu awal. Dahulu tak seorang pun bisa menilai itu semuanya.”

Matanya bersinar dengan cahaya kebenaran dan persepahaman.

Pada saat itu aku mengerti untuk apa aku datang ke Paris. Aku datang untuk mengatakan kepada Maurice bahwa dia masih muda dan kepada Madelaine bahwa dia masih dicintai.

Aku sudah mengatakan itu dan bisa pulang.

Kami meninggalkan restoran dan berjalan perlahan-lahan. Di sekeliling kami Paris terbentang ke segala arah. Menara Eiffel, ringan, dan transparan  seperti maya.

Orang berjalan-jalan ceria tanpa ‘ya’ dan ‘tidak’, berdakapan dengan ‘bisa jadi’. Di sisiku Maurice berjalan seperti aku mengenalinya  terlalu lama. Dia meluahkan segala rahasianya kepadaku seperti melontarnya ke dalam kolam.

Kami berbicara dalam bahasa berbeda tetapi sama-sama memahami.

“Mengapa aku tak pernah ketemu dengan perempuan sepertimu?” tanyanya tiba-tiba.
“Tidak ada perempuan kedua sepertiku di dunia ini. Karena itulah.”
***
bersambung

*. François Maurice Adrien Marie Mitterrand (1916-1996) – presiden Prancis pada tahun 1981-1985