Motor Butut dan Pengemis

Wien Pengembara

Tanganku berhenti di keybord laptop. Tiba-tiba benakku kacau: berbagai pikiran berkecamuk. Beban berat yang makin sarat. Aku mulai bimbang apakah menyelesaikan tulisanku ini atau tidak. Kutarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Kutinggalkan laptopku sejenak, membiarkan layarnya tetap menyala.

 Terngiang lagi di telingaku kata-kata Zikri, sahabatku, saat bertandang ke rumahnya minta pinjaman untuk bayar kontrakan. Bukannya mendapat pinjaman aku mendapat omelan.

 “Sudahlah…hentikan saja menulis! Apa yang kau dapatkan dari menulis? Tidak ada kan?” ujarnya sinis

“Hidupku adalah menulis, tanpa menulis aku tidak hidup” jawabku pontan terlontar setengah berteriak seakan yakin pada diri sendiri. Tapi, entahlah apakah aku sendiri yakin dengan kata-kataku itu. Ada yang terasa aneh pada suaraku.

Ada sesuatu yang janggal kurasakan, aku tidak tahu apa.

“Sampai kapan kau akan terus bermimpi dengan segala cita-cita dan idealismemu itu. Sadarlah Wien, hidup ini bukanlah mimpi, dunia tidak cukup dengan idealisme saja, hidup ini perlu makan. Omong kosong idealisme dengan perut kosong,” kuliah ata Zikri tepat menikam di ulu hati: menertawakan realitas hidupku yang hancur seperti kerupuk dilindas truk.

Siang itu, aku memang merasa hidupku sedang hancur berantakan. Hancur dijerat abat lilitan utang. Utang untuk bisa betahan hidup sehari-hari, hidup minimal. Honor penulis tidak cukup, ini pengakuan klasik dari sejak jaman Siti Nurbaya. Lalu aku mulai bertanya pada diri sendiri, apakah aku akan terus begini?

Ah… aku takut menjawabnya.

Seringai Zikri seperti seekor harimau yang hendak menerkam, mencakar-cakar tubuhku dan kemudian meninggalkan sisa-sisa dagingku menggelepar menunggu maut menjemput

“Oke, aku salut dengan pemikiran yang berlian lewat tulisan-tulisanmu. Aku salut dengan kemahiranmu merangkai-kata dengan segala keindahannya, rangkaian kata-katamu itu bahkan mampu membuat orang-orang menangis, tersentuh hatinya, bahkan sebaliknya membuat orang-orang bersemangat, membuat orang menjadi pahlawan yang rela mengorbankan nyawa untuk menjadi dewa penolong. Oke…oke..aku kagumi itu, tapi lihatlah sekarang, apa yang kau punya?” Zikri semakin tajam menghantam kesenyapanku, seperti sebilah pisau yang menyayat-nyayat jantung yang sudah tidak berdetak. Tapi aku masih hidup dan perih rasanya.

“Yang ku tahu sih kamu cuma punya laptop, itupun sudah berapa kali kamu gadaikan.”

Aku tetap dalam diam. Aku tak berani menjawab Zikri.

***
Beberapa hari sebelunnya aku berpapasan dengan Andre, teman SMA dulu. Pakaian necis, rambutnya mulus berminyak tipis, kumisnya dicukur halus, dan aku bisa mencium parfum ketika dia mengangkat tangan bersalaman. Siapa sangka orang  yang dulu cuma diam ikut keramaian sana sini berhasil menjadi pengusaha sukses. Dia mengaku punya rangkaian restoran di seluruh Indonesia.

“Baru sejaman lalu aku balik dari Makassar,” jelasnya walau aku tak bertanya dari mana dan mau ke mana dia. Tidak ada kesan sedikitpun Andre yang dulu kumal, bodoh dan tidak mau didekati oleh gadis-gadis disekolah.
 
“ Bagaimana khabarmu?”tanya Andre, sambil menatap tajam motor Honda Cup merahku. Aku tak tahu tahun berapa motor itu dan khawatir Andre sedang mereka-rekanya. Atau mungkin dia sedang menaksir harganya kalau dihitungs sebagai kiloan besi. Aku tak tahu ada apa di balik taptapannya itu tapi aku tak suka mimik wajahnya yang meremehkan.

Gantian kulirik tangannya dan aku lihat lambang Rolex. Palsu atau asli?, pikirku. Aku tahu di Singapura banyak orang India menjual Rolex palsu. Kalaupun asli, cuma jam tangan, pikirku memabalas ketidaksukaanku pada mimik wajahnya itu.

“Seperti yang kamu lihat” jawabku. Andre tergelak, menepuk bahuku, seperti tuan besar yang sedang memuji salah seorang buruhnya. Aku bergeser sedikit.

“Lama tidak jumpa, terus terang aku rindu juga sama kamu, pasti banyak hal yang terjadi. Bagaimana kalau kita menikmati secangkir kopi, terserah tempatnya kamu pilih. Yang jelas aku yang teraktir” ujarnya penuh percaya diri. Dari intonasi kata-katanya jelas saja, uang bukanlah masalah baginya. Aku mengangguk pelan, kesal tapi kesekian kalinya aku merasa kalah lagi.

“Naik mobilku saja, sepeda motormu tinggal di sini” ujarnya sambil menunjuk BMW hitam. Aku mengangguk lagi. Dia sendiri yang akhirnya memutuskan ngopi di salah satu café miliknya. Sepasang perjalanan, dia berkotbah panjang lebar tentang kisah hidupnya:   tamat SMU dia jualan bakso dengan gerobak sorong sampai berkembang menjadi rangkaian  restoran-restoran mewah dibeberapa kota besar di Indonesia, Ia juga bercerita pengembangan usaha di bidang lain, pertambanghan atau pertanian atau peternakan.

Aku sebenarnya tak terlalu mendengarnya: cerita seragam yang sering kubaca di profil orang-orang terkenal. Terbuai kesejukan AC dan aroma pewangi mobilnya plus dongeng keberhasilannya, aku asik menikmati sensasi mewah di sekitarku. Ssungguh terasa begitu nyaman di dalam mobil Andre. Nikmatnya uang, anganku sampai hampir jatuh tertidur kalau saja Andre tidak setengah membentak.

” Jadi ceritamu bagaimana?”

Mendengarnya, aku seperti terlempar dari sebuah gedung tinggi dan tergeletak di tanah.

Kalah menyedihkan.

***
Sejak pertemuanku dengan Andre, hatiku mulai bimbang, apakah aku aku akan terus menulis? Apakah aku bisa bertahan dengan menulis?  Menjadi seorang penulis ternyata tidak segampang bayangan ketika kuliah dulu. 

Dalam benakku, dulu, kawan-kawan yang sukses, atau sebutlah berduit banyak, seperti Andre dan Zikri yang antir ingin bertemuku, Mereka mau minta tolong dikenalkan sama Gubernur, atau sama polisi, atau pengusaha kelas Jakarta, misalnya. Atau sekedar minta supaya kisah keberhasilannya masuk koran. Di ujung pertemuan mereka keluarkan amplop tebal, tapi kutolak sambil mentertawakan mereka, yang dengan wajah merah dipermalukan mengantungi kembali amplop itu. Dan kulambai tanganku memanggil pelayan, membayar kopi. Menjadi penulis, bukan hanya tenar, berkaan sama semua lapisan orang, tapi juga berduit, Begitulah bayanganku.

Jelas itu cuma bayangan. Menjadi penulis bukan hanya butuh mental kuat tapi juga stamina yang tinggi, dan yang lebih penting harus tahan lapar. Kalau soal uang, penghasilan penulis cukup untuk makan di warung tiga kali sehari. Itupun kalau tidak keburu habis untuk rokok dan uang jalan ke sana k emari mencari insipirasi. Sakit sekali saja sudah perlu mengemis utang.

Entahlah, aku mulai berpikir apakah telah salah memilih jalan hidup.

Aku teringat artikel yang pernah kubaca, tentang banyaknya penulis yang bunuh diri, karena frustasi. Thompson –yang terkenal dengan karyanya Fear and Loathing in Las Vegas– menembak dirinya sendiri. Ada lagi Virginia Woolf yang mengisi jubahnya dengan batu dan menenggelamkan diri di sungai. Atau Yukio Mishima, atau Yasunari Kawabata. Ernest Hemingway yang menulis karya klasik The Old Man and the Sea dan meraih Nobel Sastra juga menembak mati dengan senjata favoritnya.

Aku cemas, persisnya setelah pertemuan dengan dengan Andre. Apa sebenarnya yang kucari dalam hidup ini? Apa sebenarnya cita-citaku? Hatiku mulai berbisik apakah hidup cukup dengan idealisme menjadi penulis saja. Lalu bagaimana makanku, rokokku, kontrakan rumahku. Bayar kencing di WS umum saja sudah naik, apalagi beras.

Benturan-benturan itulah kyang berkumpul dibenakku, hingga melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang takut kujawab. Bagaimana nasibku nanti. Bagaimana aku bisa menghidupi keluargaku nanti. Bagaimana pula ada yang perempuan yang mau menikah denganku. Umurku sudah hampir kepala empat.

Aku merasa loyo.

***
Kupacu motor bututku. Asapnya mengepul, mencemarkan udara, menambah kerusakan lingkungan. Persetan soal pemanasan global. Mana mungkin aku jalan kaki, protesku sambil memutar gas motor lebih kencang.

Kereta bututku terus menderu, hembusan angin yang  menerpa wajahku membuatku menjadi sentimentil. Penggalan-penggalan perjalanan hidupku menghadirkan sebuah film pendek di kepalaku, membawaku ke enam tahun lalu, saat aku kena tendang keluar dari kuliah, karena tidak pernah masuk kuliah, asyik menjadi aktivis dan demo-demo. Nganggur beberapa lama, sebenarnya aku ingin pulang kampung ke rumah orang tua, tapi tidak cukup kuat menghadapi kekecewaan orangtuaku.

Aku memutuskan bertahan di Jakarta, berjuang di rantau. Dan aku hanya bisa menulis, sejak mahasiswa. Tulisanku kerap masuk berbagai koran. Lumayan dapat honor untuk jajan, sedang untuk makan dan kost masih dapat kiriman orang tua. Setelah di DO, tinggal honor tulisan saja yang jadi penunjang hidup. Aku mencoba beranjak menulis novel, tapi tak ada yang laku jadi buku laris.

Sekian tahun berlalu -dari umur mahasiswa sampai menjelang 40- dan suka duka seorang penulis telah kurasakan. Ada kepuasan dan kebanggaan, apalagi kalau melihat orang tergugah membaca tulisanku. Beberapa bahkan mengenalku, walau mereka bukan Andre dan Zikri.

Ya mereka bukan Andre dan Zikri, dan aku menancap gas lebih kencang menuju rumah Mas Dwi, lelaki tua yang selalu menjadi tempat curahan segala resahku, sekaligus tempat ngutang tanpa banyak cing cong atau kuliah seperti Zikri. Entah kenapa selepas juma Mas Dwi, aku biasanya mendapat solusi. Dia memang punya segudang nasihat, yang dia serap dari ribuan koleksi buku di ruang kerjanya.

Sama seperti aku, dia juga penulis. Bedanya, dia sedikit lebih berduit dan menikah dengan seorang perempuan cantik –terlepas dari pengakuannya tentang perjuangan panjang menghadapi calon mertua dan tetap gagal. Akhirnya dia larikan perempuan itu dan dinikahinya.

“Ha…ha…ha, “ tawa kerasnya meledak setelah mendengar kegamanganku. Aku benar-benar jengkel. Tawanya semakin menjadi-jadi melihat mimik wajahku yang bingung; mengharap belas kasih namun justru mendapat ledekan. Segera egoku terpukul dan kukumpulkan sisa-sisa kesdaranku, berdiri dan meningalkannya yang masih tertawa terbahak-bahak.

“ Siapa suruh jadi penulis, bukankah dari dulu sudah aku bilang enggak usah jadi penulis. Lebih baik kamu menjadi tukang bakso, salesman, atau apalah….ha…ha…ha” tawa Mas Dwi masih juga terdengar dibalik-balik suara motorku. Kusentak gas motor dan setengah terangkat roda depan membawaku ke luar rukmah Mas Dwi.

Aku marah dan muak.

****
Di sela-sela hembusan angin, kulepas kemarahanku. “Aarrggghhhh.”

Aku mengutuk diri sendiri. Kenapa tawa Mas Dwi menggangguku, kenapa Andre menggodaku, kenapa Zikri merusakku.

Kukutuk diriku sendiri, juga orang-orang miskin di seluruh dunia. Kusemprot ludahku ketika melihat pengemis yang merengek-rengek ke mobil-mobil di lampu merah. Kumaki pengamen yang melintas di depanku dan menyenggol pelan ban depanku. ‘Eeh matamu dimana.’ Mereka adalah orang-orang bodoh yang lebih baik menjadi perampok, menjadi maling, atau koruptor.

Lampu hijau dan kuangkat gasku.

“Brak….!!!”

Seorang nenek pengemis melintas. Aku terjatuh dan terasa kakiku perih, tak tergerakkan. Sepeda motorku terlempar ke ke trotoar. Tercium bau darah.

Mobil-mobil memelan tapi terus berjalan. Beberapa pengendara motor malah melotot. Ada yang berteriak ‘lampu merah banyak pengemis, jangan main cepat doang.”

Kututup mataku menhindari lototan mereka sambil menahan sakit. Tapi aku tersadar dan kulihat nenek pengemis itu terduduk di ujung trotoar. Mukanya meringis, tangan kanannya mengelus-ngelus kaki kirinya. Dia dikelilingi para pengemis lain.

“Ah aku ingin menulis kisah nenek itu.”

Persetan biaya rumah sakit, tai kucing makan malam, masa bodo perkawinan, laknatlah mobil BMW. Aku cuma ingin menulis, menulis nenek pengemis.
***
Gayo 10 Februari 2010