Perpustakaan, Pusat Hidup Modern

Maya Maniez.

Waktu aku kecil dulu, perpustakaan bukan tempat ‘asyik’ untuk menghabiskan waktu. Malah seingatku perpustakaan hanya sebuah ruang kecil dan lebih layak disebut gudang dengan koleksi buku seadanya dan kondisi yang jauh sekali untuk dibilang bagus.

Beranjak ke SMP, perpustakaan sedikit berkembang lumayan. Tapi, tetap belum cukup untuk menarik kunjungan, selain beberapa siswa yang bisa dihitung dengan jari. Teman-teman, dan aku, lebih tertarik ke kantin menikmati bakwan atau pisang goreng panas dengan es teh, yang disruput pakai sedotan.

Meningkat lagi ke universitas, perpustakaan lebih lumayan, namun koleksinya tak lengkap. Aku harus ke perpustakaan pemda kalau tidak menemukan buku referensi yang aku temukan. Perpustakaan daerah ini yang paling lumayan, memang masih sebatas lumayan namun makin mendekati baik.

Ruangnya agak besar dengan rak-rak yang tersusun rapi dan kondisi buku yang tak begitu jelek. Pengunjungnya kebanyakan mahasiswa yang mencari buku referensi. Ada meja khusus katalog. Tapi semua serba manual, dengan kartu-kartu alphabetical, dan kalau kartu-kartu putih itu tidak berhasil membantu, masih bisa minta bantuan petugas perpustakaan. Kalau buku tetap tidak ditemukan, maka tak ada yang bisa dilakukan si petugas –yang sebaik apapun dan sesemangat apapun– selain geleng-geleng kepala.

Aku juga pernah ke Perpustakaan Nasional di Jakarta, waktu itu aku masih SMA. Namun, betapa sulitnya mencari buku melalui katalog karena semuanya dilakukan secara manual. Aku tak tahu bagaimana perkembangannya sekarang, karena kenanganku mundur jauh ke masa sekitar tahun 1989-1991. Mungkin katalog sekarang ini digital, seandainya memang disediakan anggaran.

Begitulah citra perpustakaan yang melekat di benak.

Jadi sewaktu menyeberang ke Amerika, tak pernah terpikir akan ‘jatuh cinta’ dengan perpustakaan. Pengalaman berhubungan dengan perpustakaan di Jakarta atau Surabaya tak terlalu indah. Tapi aku ber teman dengan orang yang hobby berat baca buku. Suatu hari dia mengajak aku ke perpustaan di sebuah kota yang dibilang cukup kecil untuk ukuran Amerika.

Mulanya aku enggan, namun karena tiba-tiba muncul juga rasa penasaran pengen tahu, “gimana sih perpustakaan di Amerika.” Akhirnya berkunjunglah aku ke sebuah perpustakaan kota kecil, Middletown, di tengah negara bagian New Jersey. Lapangan parkirnya tak begitu luas karena hanya menampung sekitar 20 mobil.

Cuma aku langsung aku agak terkesan dengan lapangan parkir yang terisi sampai sekitar 80 %, karena itu jelas mencerminkan popularitas perpustakaan. Dan begitu masuk ke dalam, aku sempat terkesima. Sebuah kota kecil, yang mungkin tergolong sebuah desa di Amerika, punya perpustakaan yang jauh lebih besar dibanding perpustakaan-perpustakaan yang aku kenang di Indonesia dulu.

Memang tidak sampai bertingkat seperti Perpustakaan Nasional di. Salemba Jakarta, tapi luas dengan katalog digital dan lebih dari 10 petugas. Mereka sepertinya tidak akan membiarkan antrian peminjam buku sampai panjang. Begitu antrian mulai memanjang, seorang petugas yang tadinya tidak melayani pengunjung langsung bergerak membantu. Dan dalam pengalaman hubunganku dengan perpustakaan selanjutnya, aku mendapat kesan bahwa jika pengunjung tidak menemukan buku yang dicari, si petugas akan berusaha keras mencarikan. Seandainya buku yang dicari tidak ditemukan di perpustakaan tersebut, dia akan merujuk pada perpustakaan lain yang memiliki koleksi buku yang dicari. Dan akupun mulai ‘naksir’ perpustakaan.

Belakangan, rasanya, cintaku itu amat beralasan karena bukan hanya buku saja yang dipajang di rak-rak perpustakaan. Ada video, CD, atau DVD, walau memang bukan untuk film atau album musik yang baru beredar. Di perpustakaan jugalah aku menemukan akses internet yang cepat, dan di perpustakaan kecil Middletown itu ada 20 unit komputer untuk internet.

Di salah satu pojok disediakan ruang pula khusus untuk anak-anak, yang suasananya tampak dibuat senyaman mungkin untuk anak-anak. Ruang khusus buku anak itu seperti ruang bermain saja, tapi dengan koleksi buku segudang. Dindingnya dihias dengan gambar-gambar dan disediakan pula kawasan bagi pengawas si anak. Melihat ruang anak ini aku benar-benar berharap perpustakaan di Indonesia mulai memprioritaskan hal yang sama, karena ada kekuatiranku kalau anak Indonesia akan tertinggal terus dengan anak dari negara-negara yang mendorong minat baca sejak dini.

Sejak ‘pertemuan’ dengan perpustakaan Middletown itu, aku jadi menetapkan kunjungan ke perpustakaan apapun setiap berada di kota-kota Amerika lainnya. Saat sedang di Manhattan, salah satu bagian dari kota megapolitan New York, aku berkunjung ke perpustakaan yang terletak di 42nd Street, di antara dua jalan besar Fifth dan Sixth Avenue.

Ini perpustakaan kelas megapolitan. Selain tempatnya yang strategis di pusat kota, juga indah karena dikelilingi taman, dan persis di bawahnya ada stasiun kereta api. Perpustakaan menjadi pusat kegiatan dari sebuah kota. Gedungnya tak kalah pula megahnya dengan gedung-gedung pencakar langit New York lainya, dengan setiap lantai dikhususkan untuk koleksi buku kategori tertentu.

Pengunjungnya? Wah, persis seperti berada di supermarket. Ramai, tapi tidak hiruk pikuk, dan dari segala usia. Bukan cuma pelajar dan mahasiswa saja, seperti kenanganku pada pengunjung perpustakaan di Indonesia. Mulai dari anak-anak yang baru belajar membaca sampai kakek-kakek yang sudah karatan membaca.

Aku juga sempat berkunjung ke perpustakaan di Queens –salah satu kawasan New York. Perpustakaan yang terletak di Flushing ini disesuaikan dengan lingkungan sekitarnya; koleksi buku, koran, dan majalahnya tak hanya berbahasa Inggris. Karena letaknya berada di kawasan Chinatown ke- 2 New York, pengunjungnya pun kebanyakan orang Asia. Maka perpsutakaan berlantai 3 ini menyesuaikan diri, dan orangpun bisa menemukan buku, majalah, atau koran berbahasa Mandarin, India, bahkan Korea. Kenyamanannya tak kalah dengan perpustakaan di kelas megapolitan di pusat Manhattan.

Begitulah, akupun kemudian jatuh cinta dengan perpustakaan.

TAGS :