Ganyang Malaysia, Kenangan Masa Kecil

Mula Harahap

Rame-rame soal ketegangan di perbatasan Indonesia-Malaysia mengingatkan saya akan suasana Ganyang Malaysia di pertengahan tahun 60-an: Politik yang hingar-bingar di tengah situasi ekonomi yang sulit. Saya jadi curiga, apakah semua ini bukan akal-akalan pemerintah? Mencari musuh bersama di luar agar rakyat melupakan kesulitan ekonomi.

Pada masa itu saya duduk di kelas lima SD. Saking susahnya, maka rasa susu yang bisa saya ingat adalah rasa susu yang asam. Susu ini adalah sumbangan Unicef. Adik bapak saya bekerja di Dinas Kesehatan Kota. Sesekali dia ‘do a favor’ (baca: nyolong) dan membawa susu non- lemak –yang sebenarnya ditujukan untuk minuman bayi– itu ke rumah kami.

Selama Sukarno berkuasa, saya tak pernah merasakan bagaimana memakai baju dari kain tetoron yang tak perlu disetrika itu. Baju saya hanya dibuat dari kain blacu. Tapi karena ibu saya telaten mencuci dan mengkelantang, lama-lama kain blacu yang cokelat itu jadi putih juga.

Di sekolah sering diselenggarakan sayembara mengarang. Temanya Ganyang Malaysia; “Kalau Aku Jadi Sukarelawan” dsb. Dan pelajaran acapkali terganggu, karena di depan sekolah SD Immanuel yang terletak di jalan protokol di pusat kota Medan itu melintas pawai, rombongan pembesar dari Jakarta dan sebagainya. Saya ingat, ketika Sukarno mencanangkan pidato Dwikora, sebuah radio dipasang di halaman sekolah. Semua guru-guru duduk mendengar radio tersebut dan kami anak-anak bebas bermain.

Di rumah, kami berlangganan Sketsmasa, sebuah majalah politik terbitan Surabaya yang isinya hanya memuji-muji Sukarno. Walaupun masih anak-anak, saya hafal benar dengan slogan-slogan ‘Negara Nekolim Malaysia’ atau ‘Tengku Abdulrahman Putera Boneka Imperialis Inggeris-Amerika’ maupun, ‘Saudara-saudara Seperjuangan di Kalimantan Utara Pimpinan Kolonel Azhari,’ dsb.

Tapi, kalau bapak tidak di rumah, diam-diam saya menyetel radio Suara Indonesia Bebas. Menurut pengakuan penyiarnya, radio itu dipancarkan dari sebuah kapal di teritorial Indonesia. Tapi, kalau saya pikir-pikir sekarang, radio itu pasti dipancarkan dari Malaysia. Isinya–apalagi kalau bukan–memaki-maki dan menceritakan gosip-gosip mengenai Sukarno. Salah satu gosip yang saya dengar dari Suara Indonesia Bebas ialah bahwa Sukarno mempunyai isteri seorang wanita berkebangsaan Jepang, bekas penghibur di Klub Copacabana di Tokyo. Lalu sebutan yang paling khas mengenai Sukarno, yang saya ingat dari radio tersebut ialah ‘Sukarno Sontoloyo Agung.’

Kadang-kadang dengan maksud untuk memperlihatkan tingkat pengetahuan saya yang di atas rata-rata itu, saya ceritakan juga apa yang saya dengar di Suara Indonesia Bebas itu kepada bapak saya. Tapi ia tak pernah menghargai saya. Ia hanya memelototkan mata dan berkata;”Kutempeleng kau nanti! Jangan ulang-ulangi lagi itu… Apalagi di depan orang lain…”

Salah satu lagu perjuangan yang saya hafal ialah:
Bulat semangat tekad kita
Barisan sukarelawan Indonesia
Siap bertempur
Siap…. (lupa)….
Semua tantangan kita lawan pantang mudur….

Majulah kawan
Buruh tani, pemuda dan angkatan kita
Siap melawan
Kita tundukkan dan….( lupa)…tantangan
Pastilah menang, pastilah menang
Pasti menang revolusi empat lima.

Kadang-kadang, kalau tidak didengar orangtua atau guru, lagu itu
kami pelesetkan.

Bulat panjang kita punya
Idam-idaman s’tiap kaum wanita
Siap bertempur
Di atas kasur
Semua tantangan kita lawan pantang mundur…

Lalu kami tertawa terbahak-bahak. Saya tidak ingat, apakah waktu itu saya sudah mengerti atau belum dengan istilah ‘bertempur di atas kasur.’ Tapi saya senang menyanyikannya.

Pada masa itu pernah juga saya menonton pawai raksasa yang diadakan di Lapangan Merdeka Medan. Sukarno memakai kacamata hitam. Kata kawan saya, kacamata itu tembus pandang dan Sukarno bisa melihat sesuatu yang ada di balik baju seseorang. Waktu itu saya percaya saja akan bualan teman saya.

Bagaimana pun ia memang ‘Pemimpin Besar Revolusi’ dan ‘Penyambung Lidah 103 Juta Rakyat Indonesia.’

Sepulang di rumah, biasanya kami–anak-anak–akan bermain ‘sukarno- sukarnoan.’ Kami memakai kacamata hitam. Mengepit tongkat. Kemeja dililit dengan ikat pinggang dan bagian dada dari kemeja itu ditempeli dengan kaleng-kaleng tutup botol. Ibu saya selalu tertawa kalau melihat saya berdiri di atas kursi dan meniru suara Sukarno. “Rustig…rustig…rustig! Hei, Sabur, kowe atur itu orang di belakang….” Atau, “Sebelum ayam berkokok tahun 1965 Indonesia sudah akan meledakkan bom nuklirnya…”

Oh, ya, satu lagi aspek dari Ganyang Malaysia yang tak mudah saya lupakan ialah antrean beras atau minyak tanah di kelurahan. Sambil memegang kartu keluarga di tangan yang satu dan kaleng minyak tanah di tangan yang satunya lagi, kami berdiri dalam antrean yang berlerot-lerot seperti ular. Kemudian satu aspek lagi yang tak mudah saya lupakan ialah giliran pemadaman listrik selama berminggu- minggu.

Sebagai anak paling tua, maka setiap sore adalah tugas saya untuk mengelap semprong, membersihkan sumbu, mengisi minyak dan menyalakan lampu-lampu teplok.

Akhir-akhir ini, kalau mendengar semangat Ganyang Malaysia muncul di beberapa daerah, saya jadi tertawa geli campur sedih. Apakah kita harus mengalami kembali suasana gegap gempita politik tapi perut keroncongan seperti di pertengahan tahun 60-an?
***