GPS di Taksi Kuning

Maya Maniez

Pernahkan anda membayangkan naik taksi sambil nonton TV atau surfing internet? Taksi kuning di New York segera mewujudkannya, tapi malah mengundang pro dan kontra. Sekitar ratusan bahkan ribuan pengemudi taxi menolak penerapan teknologi yang menurut mereka tergolong mahal itu.

Ceritanya,Taxi and Limousine Committee (TLC), komisi yang menaungi ijin pengelola taksi, mewajibkan para pemegang medalion –ijin pengoperasian taksi di NYC– untuk melengkapi setiap taksi kuning dengan Global Positioning System (GPS), mesin pembayar kartu kredit, dan layar sentuh di depan kursi belakang yang menyediakan berbagai informasi –mulai berita dari staisun televisi lokal, info jalan, restoran sampai informasi objek wisata.

Menurut TLC, ketentuan ini diberlakukan sebagai imbalan terhadap tuntutan kenaikan tarif yang diharapkan pengemudi. Tapi ketentuan ini tak disetujui semua pengemudi. Menurut sebagian pengemudi, GPS melanggar privasi mereka karena lewat GPS maka TLC akan bisa memantau gerak-gerik pengemudi.

Umumnya para supir taksi adalah pekerja keras yang bekerja lebih dari 18 jam, jadi melewati ketentuan karena supir taksi New York City dianggap pekerjaan beresiko besar seperti halnya seorang pilot pesawat. Dan bagi mereka, mesin pembayar kartu kredit tergolong mahal karena harus dibeli dengan uang sendiri.

Jadi sejumlah pengemudi menggelar aksi mogok selama 2 hari pada awal Oktober, walau tak semua supir taksi ikut mogok. Namun tetap saja Walikota NYC, Michael Bloomberg harus membuat rencana darurat dengan meningkatkan layanan subway dan bis, serta tidak memberlakukan argometer pada taksi yang tidak ikut mogok. Jadi biaya taksi berdasarkan zona, bukan melainkan jarak tempuh atau waktu perjalanan.

Buat sebagian pengemudi, rencana darurat itu menguntungkan. Apalagi mereka juga diizinkan mengangkut lebih dari 1 penumpang dengan tujuan berbeda, atau yang lebih dikenal dengan carpool.  Sebuah ketentuan yang cuma berlaku pada taksi-taksi di daerah pinggiran New YCork

Buat konsumen, aksi mogok ini tentu saja merugikan. Sebab selain harus rela berbagi kendaraan dengan penumpang lain,  mereka juga harus membayar lebih untuk jarak yang biasanya tempuh jika menggunakan argometer.

Tak puas dengan ketidak-berhasilan mogok, para pengemudi yang menolak pemberlakukan GPS, menempuh jalur pengadilan. Sayangnya usaha ini pun sia-sia; hakim menolak tuntutan mereka. Alasan Hakim, teknologi tidak akan merusak kendaraan dan GPS justru akan meningkatkan layanan, begitulah kata hakim.

Tapi keputusan hakim belum mematahkan semangat supir taksi yang kontra GPS. Mogok dilancarkan lagi, pekan ketiga Oktober, dan juga tidak sampai melumpuhkan aktivitas kota.

Buatku pribadi –dan banyak orang New York lainnya– naik taksi kuning hanyalah salah satu pilihan selain subway atau bus. Tepatnya lagi bukan pilihan pertama karena taksi bukan jaminan untuk lebih cepat sampai di tujuan. Ssempitnya jalan-jalan di NYC dan lampu merah hampir setiap 100 meter –ditambah jalan satu arah– membuat pelanggan taksi harus pandai-pandai menentukan rute.

Dan taksi dengan GPS mungkin akan membuat pengguna tak usah harus itu mengatur rute agar tidak terperangkap macet atau memutar jauh. Dengan GPS maka satelit yang menentukan rute terbaik. Dan bukan hanya itu saja ternyata yang dinikmati pelanggan.

Dari kusi penumpang, aku menikmati kehadiran monitor yang bisa melupakan hingar bingar New York. Waktu lima belas menit yang ditempuh seperti tak terasa karena kesibukan menyentuh layar monitor untuk mengetahui apa saja yang tersedia di layar sentuh itu. Ya, pasti ada iklan, tapi juga jelas ada beragam informasi, peta, tarif argo yang diupdate setiap saat, berita, dan informasi obyek wisata maupun restoran.

Aku jadi berada dalam posisi mendukung TLC dengan keputusan mengharuskan GPS dan layar monitor untuk pelanggan. Dan terbayang akan banyak supir taksi di Indonesia yang menolak GPS karena jelas mereka jadi akan lebih sulit untuk memutar sana sini demi menaikkan tarif di argometernya. Tapi jelas soal GPS masih terlalu jauh untuk taksi di Indonesia.