Ngarai Emas Luar Hillsburg – Radja Sinaga

Bar Tuan Levi
Ketika Stain muncul di muka pintu bar, semua pengunjung menoleh ke arahnya. Memang perihal menoleh untuk orang yang menguak pintu bar adalah hal lumrah, tetapi tidak untuk Stain sebab para pengunjung menatapnya demikian lama. Butuh keberanian lebih untuk menatap banyak tatapan itu, seperti menatap banyak mata dalam jeruji ketika hendak dijebloskan ke dalam.

Di Hillsburg, bar hanya milik lelaki tangguh. Kedatangan Stain adalah dosa yang mesti dihapuskan. Tetapi, Stain masih berdiri di sana. “Aku ada kabar baik!” teriaknya setelah kepercayaan utuh.

“Kabar baik itu adalah kau pecundang besar!”
“Selain pecundang, kau tak memiliki malu!”

Sheriff Backerman berdiri dari tempatnya. Jalannya mantap, gemertak sepatunya membuat para pengunjung yang lain terdiam. Siapa pula yang ingin bermain-main dengan Sherif Backerman? Hidungmu akan berdarah seketika, begitu nasihat banyak orang. “Kalian pikir, kalian adalah lelaki sejati?” Semua diam. Sebenarnya, ucapan itu bentuk olok-olokan agar seseorang dari mereka terpancing dan mulai menantang Sheriff Backerman berkelahi.

Sheriff Backerman senang berkelahi. Ia pejuang yang kehabisan medan perang lantaran perdamaian tercipta ketika dirinya masih bocah. Jika ditanya ketika besar ingin jadi apa, pastilah ia menjawab akan jadi pejuang yang mati-hidupnya di medan perang.

Karena perang telah berakhir, ia disarankan oleh keluarganya untuk menjadi seorang sheriff. Darah pejuangmu itu akan baik tersalurkan menjadi seorang sheriff. Maka, mendaftarlah ia. Dan makin beruntung ketika ia lolos dan ditempatkan di Hillsburg, desa kecil yang para lelakinya kerap mabuk-mabukkan.

Ia sheriff tunggal di sana. Segala jenis permasalahan yang tak bisa ditangani kepala desa akan diselesaikan olehnya dengan ayunan kepalan tangannya yang begitu besar; mampu membuat tersungkur seseorang dengan lima pukulan.

Karena kekuatan dan jabatannya, para pengunjung bar tak berani berbicara dan semboyan di Hillsburg bahwa bar hanya milik lelaki tangguh bukan sekadar omong kosong.

“Apa yang membuat Bapak Stain datang kemari?”
“Katakanlah atau aku akan memukul hidungmu sampai kau mesti bernafas dengan mulut saja!”

Tetapi saat sebuah kata tercerabut dari mulut Stain, Sheriff itu menonjok hidungnya. “Kubilang berbicara! Kenapa tidak berbicara? Mengejekku? Sekali lagi, apa yang ingin kau katakan?” 

Stain mengatur nafas. Para pengujung bar masih terdiam, sebab kesalahan yang fatal bila mereka bersorak ria. Dan mereka juga tahu Sheriff itu sengaja memukul Stain lantaran tak satupun dari mereka yang terpancing untuk berduel.

Di belakang bukit yang menutupi Hillsburg, ada sebuah sungai kecil, di sekeliling sungai itulah terdapat emas. Dua hari yang lalu aku mengambil tanah dari sana, kata Stain terengah-engah sambil memegang hidungnya. Stain mengeluarkan sebuah emas. Emas itu tak berbentuk. Tetapi pengakuan Stain malah mendatangkan pukulan dari Backerman.

“Tolol! Kau sudah gila karena ditinggalkan istrimu? Bangun bajingan!” 

Stain tidak bangun dan Backerman terus memukulnya.

Kebun Pak Robertson
Tengah hari sudah melesat jauh ke barat, para lelaki di Hillsburg masih mendekam di belakang kebun Pak Robertson. Seharusnya hari itu adalah hari yang mengesankan dan akan diingat orang banyak.

Empat hari yang lalu, Charlotte kedapatan tindih-menindih dengan Persmak di rumahnya. Itu membuat Stain kelayapan sehingga menantang Persmak untuk duel pistol, sebagaimana yang biasa dilakukan lelaki Hillsburg sejak lampau ketika masalah tak dapat diselesaikan dengan hukum tertulis.

Kejadian tindih-menindih itu sebenarnya tak akan diketahui jika Nyonya Dustin tak besar mulut kepada Stain kalau ia melihat istrinya masuk diam-diam ke dalam rumah Persmak. Dan Charlotte tak mengira jika Stain sudah pulang dari pekerjaannya sebagai penggali tanah di luar Hillsburg.

Para lelaki penggali tanah lain pulang sambil membawa kekesalannya, kecuali Persmak yang membawa Charlotte ke rumahnya.

Di Suatu Tempat Peristirahatan
Siang setelah kepulangannya yang tiba-tiba itu, buru-buru ia meninggalkan rumah. Langkahnya begitu berat karena kepulangan tersebut ia rencanakan untuk membara di atas kasur bersama istrinya. Ia ingin menghabiskan sisa hari itu dengan erangan yang tak berkesudahan, keringat yang membasahi kasur, dan air-air dari bawah tubuhnya keluar sebanyak mungkin.

Namun semuanya runtuh karena perempuan tua, yang seharusnya lebih mementingkan suaminya yang stroke. “Kupikir ia di rumah Persmak. Karena di sana terakhir kali kulihat. Tapi apa urusannya ke sana? Bukannya Persmak melajang?”

Pikirannya aneh ketika perempuan tua itu berbicara. Dan makin bertambah aneh saat perempuan tua itu mendekat dan memainkan tangannya tepat di bawah tali pinggangnya. “Tak perlu mencintai seseorang yang tak setia.” Ia ingin sekali tetapi sudah berjanji hanya untuk istrinya kali ini. Sekalipun dengan perempuan tua yang kekurangan karena suaminya stroke dan tak bisa bergoyang di atas kasur. Jangankan bergoyang, membersihkan tahinya sendiri saja harus orang lain, batinnya.

Tidak kali ini Nyonya Dustin. Terima kasih atas informasimu. Selamat siang.

Ia mengingat itu dan mengutuk dirinya sendiri sejadi-jadinya. Kesunyian malam mengepungnya. Ia tatap tebaran bintang dan ia bersyukur tak ada hujan malam ini. Ia seharusnya sudah sampai di tempat yang ia tentukan semula dengan jalan pintas yang hanya diketahui sendiri, tetapi nyeri luka itu membuatnya bermalam di tengah hutan kecil di luar Hillsburg. Libidonya masih memuncak dan ia kesal karena tak bisa menuntaskan dengan cara yang semestinya.

Ia seorang penggali tanah yang andal, jika ada yang mencari tanah untuk keperluan yang entah apapun, tak pernah ia pedulikan karena tugasnya adalah penggali tanah bukan penggali tanah yang menanyakan untuk apa kelak tanah itu digunakan. Tetapi ia benar-benar payah dalam urusan menembak, kecuali menembak dengan bagian tubuh bawahnya yang tak tunai hari ini kepada istrinya. Dirinya yang paling payah, bahkan pada satu-lima anak.

Karena kepayahan itu, buru-buru ditinggalkannya Hillsburg. Dan ia menyesal karena istrinya ditindih oleh lelaki lain sampai seterusnya. Dan sedikit penyesalan itu bersarang pada ajakan Nyonya Dustin.

Hilangnya Sheriff Backerman
Baru kali ini tangan Sheriff Backerman kesakitan setelah menghajar orang. Ia tak menyangka tangan yang sudah berpuluhan kali membuat orang pingsan bisa kesakitan. Tubuh si bajingan itu benar-benar keras sekali, tampak ia seorang pekerja yang keras, gerutunya sambil menaikkan beberapa perlengkapan ke kudanya.

Hari sudah malam dan kebisingan hanya terdengar dari bar milik Levi. Pelan-pelan ia menuntun kudanya yang bermuatan dan kemudian ia naiki setelah dirasanya sudah cukup jauh dari rumah-rumah warga. Sekejap ia hilang dan itu membuat semuanya kacau.

Kekacauan itu bermula dari arah bar Levi yang riuh. Pada mulanya semua biasa-biasa saja, mereka bercerita tentang banyak hal, dan paling dominan tentang bagaimana Stain dipukuli habis-habisan dan Sheriff Backerman mati-matian untuk membuat orang itu tak bergerak.

Tetapi lantaran mabuk, percakapan itu berubah menjadi olok-olokan. Satu sama lain mengolok-ngolok lawan bicaranya adalah seorang pecundang karena tak berani menjawab pertanyaan Sheriff Backerman. “Potong saja dan berikan benda hitam yang menggantung punyamu itu menjadi pakan babi!”

Tak ada yang senang jika diolok-olok, ditambah dalam keadaan mabuk. Maka, yang diolok-olok berdiri, memberikan satu pukulan. Semua yang melihat itu meski juga mengolok-ngolok lawan bicaranya terpancing dan ikut berkelahi. Tak ada namanya teman. Siapa yang berdiri di hadapan adalah musuh dan mesti dihajar habis-habisan.

Karena makin riuh, penduduk Hillsburg yang tak minum datang ke bar Levi. Semuanya berantakan. Para perempuan kebingungan dan entah dari siapa kali pertama mengusulkan untuk memanggil Sheriff Backerman. “Kalau beliau ada di dalam bagaimana?”

“Tak ada salahnya mencoba.”
“Beliau pasti di posnya.”

Maka, berbondong-bondong penonton itu ke pos Sheriff Backerman, yang juga sebagai tempatnya tinggal.

Kecuali Taylor
Adalah galian ke sebelas sumber emas itu. Setiap galian mengular mengikuti aliran sungai. Di galian ke sebelas, ia gali lagi beberapa lubang menjauh sungai. Dan ia ambil sedikit tanahnya, ia masukkan ke dalam tampah dan sangrai di sungai.

Galian kelima akhirnya menunjukkan tanda di mana emas itu berada. Ia keruk lebih dalam galian itu menggunakan cangkulnya. Entah sudah berapa dalam, cangkulnya mengeluarkan debam yang bertubrukan bukan dengan tanah. Ia sapukan dengan tangannya ke sumber debam itu dan menemukan cahaya keemasan menyeruak. Ia tersenyum dan terus menggali. Satu bongkahan emas berukuran setengah genggaman tangan dewasa mula-mula ditemukannya. Ia berlanjut.

Sambil tertawa ia mengangkat dan mencangkul emas-emas itu. Ia juga merasa geli jika mengingat Sheriff Backerman dan para pengunjung lainnya yang lebih senang memukuli Stain.

Alih-alih dikatakan gembira karena pecundang itu dipukuli Sheriff Backerman, Taylor lebih tertarik dengan emas itu. Tepatnya tertarik dengan asal emas. Ketika melihat tenaga Sheriff Backerman sudah payah, ia putuskan untuk pergi dari sana bersama pengunjung lainnya. Bisa-bisa mereka yang menjadi santapan selanjutnya karena Sheriff Backerman cukup kacau kondisi waktu itu, persis seperti kemampuan menembak Sheriff Backerman yang sudah menjadi aib.

Namun, ia tak ikut tertawa seperti para pengunjung lainnya ketika sudah jauh dari bar. Ia malah lari ke rumah, menyiapkan segala untuk ke tempat yang dikatakan Stain. Kini, benar perkataan Stain dan ia akan menjadi seorang yang kaya. Tetapi memikirkan kekayaan itu terbersit kekhawatirannya karena ia tak memiliki keturunan. Ia mandul, hidup sebatang kara dan hanya menunggu matinya saja. Jika seseorang bertanya apa karunia terbesar yang Tuhan berikan padanya pasti jawabnya adalah kegigihan. Tetapi kegigihan tak bisa membuat anak, tak bisa mewariskan emas-emas yang sekarang ia miliki.

Siluet Kuda dan Penunggangnya
Matahari berdiri di belakang lelaki yang menggelinjang karena emas-emas yang didapatnya. Lelaki itu memiliki enam kantung untuk emas-emasnya dan lima sudah terisi. Ia menggali kembali dan galian itulah yang paling mengesankan karena merusak gagang cangkulnya. Ia usap-usap dan ia temukan batu yang besar, di dalamnya terdapat emas.

Tetapi ia tak tertawa seperti sebelum-sebelumnya karena matahari yang membelakanginya memunculkan sebuah siluet. Ia dengar tarikan trigger. Ia tersungkur. Orang yang menembaki itu kemudian turun. Membuka karung-karung yang belum dinaikkan lelaki yang menambang itu.

Ketika asyik melihat emas-emas itu, lelaki yang tertembak itu bangkit. Tangannya meraih mata cangkul dan menancapkannya ke orang yang menembaknya. “Seharusnya kau menghabisiku dengan kepalan tanganmu itu bodoh!”

Lelaki itu berlari ke arah sungai, memeriksa lukanya, dan menemukan peluru itu tak mengenai organ vital. Ia menarik peluru itu dan membersihkan luka tersebut. Lalu ia membalut dengan kencang. Setelahnya menaikkan kantung-kantung emas ke kudanya.

Dia berharap ikatan balutan bisa menahan pendarahan sampai rumah. Saat beberapa kilometer sudah, ia terjatuh, sayup-sayup, matanya menghitam. Kemudian melihat sebuah siluet kuda dan penunggangnya. Ia lihat punggung kuda itu membawa banyak barang dan penunggangnya menuntun kuda itu dengan langkah tersengal-sengal, seperti seseorang habis dipukuli. Ia kenal kuda itu dan ia kenal penunggang itu. Ia ingin berteriak meminta tolong, tetapi darah dalam tubuhnya sudah tak menyembur.
***

Radja Sinaga, alumni Kelas Menulis Prosa Balai Bahasa Sumatera Utara 2019. Kumcer termutakhirnya Lantai Dua namun sejumlah cerpennya tersiar di media lokal-nasional dan digubah menjadi naskah teater. Saat ini menempuh Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas HKBP Nommensen Medan.