Pangeran Jawa Atawa Jager Melayu 19 – Bramantyo Prijosusilo

Melewati rumah-rumah saudagar abad sembilanbelas yang kini umumnya telah dijadikan lima atau enam flat terpisah, tangannya mulai letih, pegangan tas seakan akan memotong jari-jarinya. Beberapa tas belanjaan berisi hadiah Natal untuk orang-tuanya, untuk Jagger, untuk Sanca, dan untuk Keith, dan juga beberapa bahan makanan untuk sumbangan makan siang hari Natal yang akan dirayakan berkumpul di rumah orangtuanya, makin berat. Membayangkan perayaan Natal di Liverpool, wajahnya yang cantik menjadi tegang. Sorot pandangnya mengeras.

Semua kejadian di dalam hidupnya terkini terasa membuatnya pusing. Jagger yang mendorong dan membujuk dia masuk Islam ternyata tidak dapat memberikan pegangan moral maupun spiritual. Padahal dulu dipikiran Elaine Jagger itu seorang yang spiritual sekali. Entah kenapa dia berpikiran begitu, mungkin karena di Indonesia suasana beragama sangat kuat terasa.

Ketika masuk Islam di Indonesia Elaine merasa diterima dengan hangat oleh kawan-kawan Indonesianya. Ada yang memberikan mukena, ada yang memberi pakaian Muslim, dan semua sangat ramahnya. Pada waktu Idul Adha pun Elaine diantar dan ditemani kawannya yang memungkinkannya merasa nyaman memotreti penyembelihan kambing-kambing kurban di belakang masjid di dekat kontrakannya di Jogja.

Kehidupan komunitas beragama itulah yang dirindukannya ketika dia selalu mendorong agar Jagger menjemput James di warungnya dan bersama-sama bersholat Jumat, namun Jagger selalu saja menolak dengan berbagai alasan. Semula, ketika Elaine dan Jagger baru saja mengenal James, memang pernah sekali Jagger mengikuti sholat Jumat, namun setelah itu tak pernah lagi.

James selalu mengajak, mengucap salam setiap berjumpa, dan Jagger selalu menghindar. Elaine semakin berpikiran bahwa Jagger sebenarnya boleh dikatakan tak punya tradisi relijius. Dia ingin anaknya memiliki tradisi relijius sebab dia amati bahwa kawan-kawannya yang memiliki tradisi relijius kebanyakan lebih teduh kehidupannya, paling tidak begitulah pengamatannya. Itulah sebabnya dia merayakan Natal, katanya kepada dirinya sendiri.

Bagaimanapun juga sebagai orang Islam dia perlu alasan kuat untuk merayakan Natal tanpa beban.

“Keith pasti sudah menunggu di flat, dan pasti dia dan Jagger sudah stoned-out-of-their-heads,” pikir Elaine masam. Tak salah. Elaine hafal betul sifat adik dan suaminya. Celakanya saat ini adalah saat yang paling sial jika Keith dan Jagger sama-sama stoned, sebab itu artinya malam ini juga Elaine akan menyetir sorangan di jalan bebas hambatan yang, ironisnya, padat.

Malam ini dia akan merasakan letih dan bosan selama delapan jam karena macet keluar London, macet di Birmingham, macet di Manchester, dan entah kapan sampai di Liverpool. Elaine tidak mengharapkannya, tetapi dia tau bahwa itulah yang akan terjadi. Setiap kali ada liburan panjang, jalan-jalan ke luar kota London memadat, seakan penghuni kota ingin bebas melarikan diri dari ketegangan irama kota besar. Dan di akhir liburan, semua orang itu akan kembali, dan jalan-jalan memasuki kota akan macet dengan antrean-antrean panjang.

Membayangkan semua ini, lambungnya terasa agak pedih, otot mukanya menjadi tambah tegang. Kini ada juga segores kemarahan yang menyapu keningnya, antara kedua alisnya. Aku harus nyetir terus menerus! Padahal mobil itu mobil Keith!

Marah membuat keningnya memanas, uap mengepul mengembun di kacamata minusnya, tetapi kedua tangannya membawa belanjaan, -dia tak bisa membersihkan kacanya. Digerak-gerakkannya hidungnya yang mungil mancung untuk menggeser bagian tengah kacamatanya, agar hawa bisa masuk ke bawah tulang alisnya yang tajam. Irama jalannya bersama dengan kerut-kerut pangkal hidungnya berhasil memelorotkan kacamatanya sehingga embun berhenti mengabuti kacanya, dan kini dia berjalan dengan memandang jalan melewati bagian atas frame kacamatanya. Cepat-cepat, dan, benar, ketika tiba di depan rumah berpintu hijau, dilihatnya, mobil Vauxhaul Keith sudah di sana.

Sambil lalu disentuhnya kap mesin mobil itu dengan tangannya yang menggenggam tas-tas belanja: sangat dingin, sudah lama Keith mengganja di sini.
Dengan sikut dia menekan bel pintu, belanjaan tidak dia letakkan. Jagger yang memang sedang stoned bersama Keith di meja makan segera melompat dan menuju mikrofon intercom dan bertanya:
“Who is it?”
“Me” Jawab Elaine, nadanya tak sabar.

Sebelum Jagger mendengar suara pintu depan yang dibanting, tahulah dia bahwa Elaine sedang marah.
Ia membukakan pintu flat, dan mundur memberi jalan kepada Elaine yang menenteng belanjaan. Keith menyambut juga:
“Hi, Sis!”

“Where is Sanca?” tanya Elaine menuntut. Hidungnya sudah mencium bau harum hashish Maroko yang diisap Jagger bersama Keith. Keith bangkit sedikit goyang dari tempat duduknya, mencoba memeluk kakaknya tetapi Elaine membungkuk, bukan sengaja menghindar namun hendak meletakkan tas belanjaan yang sudah menyakitkan tangannya.

“Where is Sanca?” Elaine mendorong Keith, dan memandang keliling ruangan yang jadi dapur sekaligus ruang makan dan ruang tamu di flat satu kamar itu, dan karena dia memandang dengan melalui bagian atas dari frame kacamatanya, dia tak melihat bahwa Sanca lelap tertidur di atas sofa, di tentang jendela Victorian yang besar.

Semua sangat cepat terjadi, dan belum sempat Jagger atau Keith -yang jadi lamban karena stoned hashish- menjawab, nada Elaine sudah semakin khas, bercampur antara marah mencium bau hashish dengan panik tidak menemukan anaknya.
“Keith, where is Sanca!?”

Jeritan Elaine membangunkan Sanca yang tersentak menangis bagai disergap mimpi buruk.
“Look, look, you wake him,” kata Jagger yang goncang perasaannya mendengar tensi di suara Elaine.
Keith berkata, “Come one, Sis, calm down will you!”
Namun Elaine sudah melepas coatnya, menaikan sweaternya, melorotkan kutangnya dan melompat menuju suara tangis anaknya. Sebagai induk melindungi anaknya dia marah menegur Jagger dan Keith yang menghisap hashish tanpa membuka jendela, di dalam rumah yang berpenghangat dan rapat, asap hashish tak pergi ke mana-mana, dihisap pula oleh Sanca, yang kini sudah deras menetek ibunya.

“Look at you two, completely stoned! Shame on you!”
“Aw, Sis, just a little joint to begin Christmas celebrations!”
“Well, we are Muslims, you know Keith. Jagger should not get intoxicated!”
“I’m not stoned!” kata Jagger, berbohong.
“Yes you are!”
“We just had a small joint, Sis, I’m sorry, it’s my fault.”
“You two just have to grow up!”

Jagger segera bergerak membenahi barang-barang untuk di bawa turun ke mobil Keith. Keith segera tanggap dan merogoh kunci di saku jeansnya, mengenakan jacket penerbangnya yang tebal dan mengikuti Jagger keluar pintu menenteng koper Elaine yang sudah disiapkan tadi sebelum stoned. Elaine, ditinggal sendirian di kamar flatnya, menyusui Sanca.

Sialan! Pikir Elaine. Shit! Semakin hari semakin Elaine menyadari bahwa Jagger tak bisa melepas diri dari ganja atau hashish, dan belakangan juga, alkohol! Dan yang sangat disesalkan dan dikhawatirkan Elaine, adalah bahwa Jagger tak segan-segan menghisap ganjanya di dekat Sanca ataupun minum bir atau cider siang-siang saat mengasuhnya. Irresponsible!

Dalam ketegangan yang tak kunjung reda, jadilah Elaine menyetir mobil Keith. Tak biasa, tersentak dan tersendat mobil warna perak metalik itu bergabung dengan lalulintas macet keluar kota London, melewati jalan M1, merayap dan merayap dalam antrian penduduk yang mudik, menuju ke Utara.

Keith dan Jagger diam di dalam mobil, tertenung asap hashish dan suasana bersalah, takut memancing kemarahan Elaine. Keith duduk di kursi penumpang depan, ndomblong dengan pandangan kosong. Jagger duduk di belakang Elaine, di samping Sanca yang duduk di kursi pengaman bayi pinjaman dari rekan sekerja yang simpati ketika dicurahi keluh kesah soal perkawinannya.

Tenanglah Sanca, dan Sanca tenang. Sesekali Elaine melirik memperhatikan wajah para penumpangnya. Kesal benar rasanya. Kesal terhadap segala sesuatu. Segala sesuatu kecuali Sanca. Jagger dan Keith? Wankers! Loosers! Sama saja, kekanakan dan tidak bertanggung jawab! Mobil belum pula keluar dari Chiswick, dan pengendara tolol di depan telat mengikuti antrean lampu hijau.

Sialan! Elaine menampar dan mendesak kuat-kuat klakson di poros stirnya.

Baru setelah mereka berhasil keluar dari London dan menekan pedal gas di motorway, ketegangan di mobil teredakan oleh pembicaraan. Keith, yang terbiasa menjadi adik, dengan lembut mencoba meredakan kegeraman Elaine, Sis, kependekan dari Sister.
“That was brilliant driving, Sis!”
***bersambung

-. draft novel Pangeran Jawa Atawa Jagger Melayu menerima usul, saran dan kecaman ke Bramantyo Prijosusilo