Usman Tidak Mati Hari ini – Rania Alyaghina

Usman mati hari ini. Atau kemarin. Atau kemarin lusa. Atau pekan lalu. Aku tidak tahu pasti kapan tepatnya ia hijrah ke dunia lain, tetapi Usman sudah tidak ada lagi di dunia ini. 

Raungan tangis mengiringi kepergian Usman. Kisahnya selama hidup mengarungi telinga-telinga tamu. Tanah tempat ia disemayamkan dipenuhi karangan bunga. Langit kelabu, matahari tersipu, mendukung emosi orang-orang terdekat. Tak butuh lama sampai akhirnya air dari langit mengguyur. Mereka tidak bergeming dan tetap melantunkan doa agar Usman berada di sisi terbaik Tuhan. Agar Usman diampuni segala dosanya. Agar kebaikan hati Usman di dunia dapat mengantarkannya menuju pintu surga. 

Saat tubuhku masih sebesar kardus mie instan, Usman mengajarkan untuk tidak memberikan penilaian apa-apa terhadap orang lain selama hidupnya. Tapi, sungguh, ini bukan hidup Usman. Seakan-akan Usman kesasar dalam kehidupan orang lain. Usman tidak pernah bermimpi bahwa ia pantas dapat perjamuan besar-besaran, tamu yang berjubel, hingga makam yang biaya sewanya untuk sebulan berkali-kali lipat pendapatan Usman dalam setahun. 

Semuanya di luar nalar Usman jika seandainya ia sendiri menyaksikan peristiwa ini. Usman mungkin baru tahu bahwa mati pun perlu mengeluarkan uang. Mungkin saja ini hari kematiannya. Tapi ini jelas-jelas perayaan kematian untuk orang berada! Ini bukan hidupnya. Bukan kematian semacam ini yang seharusnya diperoleh Usman. Sanak saudara, keluarga, dan kerabat yang entah datang dari mana bahkan bersedia mengerubungi makam Usman, meski hujan diam-diam membasahi bumi tiada ampun. 

Aku tidak tahu siapa orang-orang yang memenuh-sesakkan rumah yang katanya milik Usman. Dia tidak punya rumah! Terkadang rumahnya di depan minimarket, tetapi esok hari berpindah ke depan pasar pagi. “Seringnya dapat jatah makan kalau nunggu di sini sampai siang hari,” akunya suatu waktu. 

Hanya aku yang mengenal Usman. Tak pernah kudengar nama sanak keluarga, kerabat dekat, atau teman semasa kecil terlontar dari mulut Usman. Hanya aku yang mengenal Usman, dan orang-orang di hari kematiannya adalah yang datang di hidupnya sebelum kehadiranku. Orang-orang yang pernah mengecap kebaikannya. Sudah pasti begitu.

Ke mana Usman berkelana, di belakangnya aku mengekor. Ia, aku yakin seratus persen, sadar ada yang menguntitnya, tapi pura-pura tidak menyadarinya. Ia tahu aku tidak mau ia tahu. Ketika ada yang memberikannya nasi bungkus, ia tak pernah lupa melambaikan tangan ke arahku, menyuruhku mendekati. Kami lantas menyantap nasi bungkus itu bersama-sama, walaupun lauknya selalu disisihkan ke bungkus nasi milikku.

Aku mulai menjajakan tisu wajah, berharap bayaran yang kuperoleh bisa menebus kebaikan Usman. Aku nyengir menghitung lembaran uang yang kuraih dalam beberapa jam. Rasa bangga menguasaiku, berpikir sebegini mudahnya membalas kebaikan orang. Di pertengahan jalan sebelum sampai ke tempat Usman, aku dihadang empat remaja. Kuserahkan jerih payahku meski tidak sudi. Setelah tawa mereka kian menjauh, Usman sudah berada di depanku. Ia angkat telapak tanganku, menaruh beberapa lembar uang sembari bilang, “Saya beli semua tisunya. Kembalinya tolong jadikan hari ini hari terakhir kamu jualan tisu.” Hari itu, aku gagal menebus utangku. Usman justru membelinya.

Pada hari pemakamannya, kuraih beragam uluran genggaman dan wajah yang tak kukenali. Dalam mimpi pun agaknya tak bakal kutemukan orang-orang semacam ini. Mereka menepuk-nepuk bahu, bercipika-cipiki, melemparkan tatapan iba, mengucapkan turut berbelasungkawa, menggenggam tanganku erat, merengkuh tubuhku hangat. Apa dalam kehidupan ini aku bagian keluarga Usman? Anaknya, mungkin? Atau ia pamanku? Siapa aku dalam hidup Usman versi ini?

Banyak orang yang hadir, tapi satu-satunya yang kuharapkan datang ke sini hanyalah Usman sendiri.
***

Setetes demi setetes air berjatuhan dari genting, para tamu mulai berhamburan pulang. Rumah ini seketika kosong, menyisakan santapan yang tinggal seperempatnya. Kalau memang ini rumah Usman, mana keluarganya? Siapa yang meninggali rumah ini?

Kutelusuri setiap ruangan. Menjajak jejak sanak saudara. Mengecek apabila ada pintu yang terkunci, kali-kali ada keluarganya yang langsung ingin menyendiri.

Tapi tidak, semua pintu dapat kubuka. Semua tersedia: makanan dan minuman berbaris rapi di dalam kulkas, kamar mandi lengkap dengan peralatan mandinya, dan setiap kamar diselimuti hawa dingin yang menguar dari pendingin ruangan. Apakah ini semua milik Usman?

Kalau memang ini rumahmu, bolehkah aku menginap sementara, Man?

Tanpa menunggu jawaban, aku merebahkan diri di karpet ruang tamu. Rasanya enggan masuk ke salah satu kamar walaupun aku tahu tak ada penghuninya. Bisa saja itu kamar Usman dan istrinya. Bisa saja itu kamar anaknya. Mungkin juga kamar orang tuanya. 

Aku baru sadar tubuhku dibalut satu setel jas mahal, namun langsung kutanggalkan karena merasa gerah. Tak pernah sebelumnya aku gerah di malam hari begini.

Belum ada tiga menit, aku sudah terjun kembali ke peristiwa ketika Usman duduk bersamaku di pinggir jalan, menyelimutiku dengan kardus yang biasa jadi alas duduknya. Aku bisa merasakan tangannya meraih kepalaku, yang numpang di pangkuannya, mengusap perlahan, enggan membangunkan. 

Terdengar pekikan dari kejauhan. Aku menajamkan pendengaran. Derap kaki menyakiti gendang telinga. Pekikan segerombolan orang semakin dekat, semakin nyata, menggerayangi ulu hati. 

Tangan Usman tak lagi membelai rambutku. Aroma anyir darah menusuk penciumanku. Aku lantas bangkit, menyaksikan tubuh Usman telah bersemuka dengan aspal. Sejumlah orang menggerumulinya, meninju habis tubuh ringkihnya. Aku meraung, meminta mereka berhenti. Mereka malah menarik paksa tanganku, menarik tubuhku menuju truk besar. Kutanya, apa salah kami. Katanya kami menghalangi jalan. Membuat jalan jadi tak enak dipandang. 

Aku menggeliat, menggigit tangan yang hendak membekap mulutku, yang dibalas dengan tempeleng keras di kepala. Tatapanku tak pernah luput dari Usman, yang tak melawan, yang menerima pukulan bertubi-tubi tanpa menaruh harapan akan bertahan. Mereka tidak memberi Usman kesempatan. 

Yang ini gak dibawa, nih? Salah seorang bertanya sembari menunjuk tubuh Usman yang bersemuka dengan bumi. Sudah bangkotan, kekeh salah satu dari mereka, gak bakal menghasilkan. Namun ia dekatkan dua jarinya ke leher Usman, bergeming, menoleh ke arah kawannya, lantas melompat ke truk. Kutatap tubuh Usman dengan nanar. Aku memberontak, ingin meloncat ke luar truk, namun kedua pergelangan tanganku sudah diborgol, dicantol ke pinggir besi truk. 

Sementara truk melaju menjauhi tubuh Usman, kulihat tangan kanannya terangkat, hendak menggapai sesuatu. Mungkin mencoba menggapai kepalaku yang selang beberapa menit lalu terkulai di pangkuannya.

Usman mati hari itu. Mungkin juga besok malamnya, bisa juga seminggu setelahnya. Entah hari apa itu tepatnya. Tapi itulah hari kiamatku. Mendadak datang, tanpa persiapan, kemudian merenggut semua dunia dan seisinya. Menyapu bersih semua ketentraman, menyisakan puing-puing kesialan. Gulungan ombak seakan melemparku hingga ke pesisir pertanyaan: lalu apa selanjutnya? Apa yang akan kita hadapi setelah melalui kiamat di lautan kehidupan dan kematian yang buas tak terkendali ini?

Aku bergidik, terperenyak dari pengembaraan ilusi yang menyasar entah sejauh mana. Kurasakan dingin tanpa izin menjalari tubuhku. Usman pasti tidak akan membiarkanku tidur di ruang tamu. Tapi kubiarkan pikiranku mengelabui beku tubuhku, menunggu Usman menyelimutiku dengan sebilah kardus, seperti biasanya. Usman tidak akan kembali, tentu saja, karena ia telah mati. Entah hari ini, kemarin, atau sepekan lalu.
***

Rania Alyaghina lahir pada bulan Februari. Pencinta teh tarik dan bekerja paruh waktu sebagai editor.