Garut +771 mdpl – Farah Rachmat

Rabu, 1 Februari 2023. Malam itu gerimis. Ponakan dan aku tiba di stasiun Garut. Jarum jam telah menunjukkan 22.10. Sesaat ponakan mengambil gambar. “Bagus,” katanya menunjuk penutup atap stasiun di atas rel kereta. Bersyukur sampai Garut, stasiunnya. 

Kami mengawali perjalanan ini dari Stasiun BNI City/Sudirman Baru. Hujan masih membasahi Jakarta ketika taksi berangkat dari rumah. Stasiun BNI City awalnya hanya untuk kereta ke Bandara Soekata. Tapi kemudian digunakan juga untuk KRLeh Commuter train yang melintas dari Kampung Bandan, Angke ke arah Bekasi, Cikarang. Suasana sangat sepi ketika kami mencapai peron di bawah, hanya ada pak sekuriti. Sekitar satu jam kami sampai stasiun Cikarang. Sekarang ini semua stasiun di Jakarta, eh Jabodetabek, hampir sama semua arsitekturnya. Untung kami tidak mepet waktu untuk melanjutkan perjalanan dari stasiun Cikarang. 

Perjalanan dari Cikarang dengan Kereta Walahar Express. Dalam aplikasi KAI Access, kereta ini masuk kategori ‘kereta lokal’. Ongkos kereta Rp 4.000,- per orang per perjalanan Cikarang-Purwakarta yang ditempuh selama 2jam-an. Rangkaian kereta yang kami naiki 7 gerbong. Dilengkapi WC jongkok dan duduk. Bagiku yang sudah OA lututnya, ada WC duduk sangat membuat lega.  Kami duduk di kereta paling belakang, dengan harapan tak terlalu banyak orang. Tempat duduknya masih kereta zaman dulu, ada yang untuk 4 orang dan 6 orang. Bukan seperti kereta eksekutif. Ada AC split. Sedang asyiknya kami mencermati kereta, tiba-tiba datang pak sekuriti meminta kami pindah dari gerbong karena rombong anak unyit-unyit (TK) dan ibu-ibunya akan menempati gerbong itu. Terpaksalah kami angkat pantat dari situ. Perpindahan kami juga seru, bertabrakan dengan anak-anak kecil dan ibu-ibu itu. 

Akhirnya kami dapat tempat, ini tiket kereta tanpa nomor, jadi sedapatnya saja. Kami dapat kursi kosong yang untuk 2 orang. Kursi dalam kereta ini juga tidak seorang satu kursi, tetapi kursi untuk 5 orang per baris. 1 kursi untuk 3 dan 2 orang. Perjalanan ini memang akan berhenti di tiap stasiun. Seru juga setiap berhenti di satu stasiun, datang penumpang mencari tempat duduk. Syukurnya kami agak lega tak seorangpun yang mau duduk bersama kami. 

Sampai Purwakarta kami melewati sembilan stasiun. Stasiun di setiap kota yang kami singgahi unik semua, masih kelihatan jadoel, walau tatanan stasiun sama seperti yang lain. Bersyukur sepanjang jalan udara cerah. Setiba di stasiun terminus, dari rel stasiun Purwakarta, kami melihat ‘kuburan gerbong kereta’. Kami turun dari kereta walaupun mencuri-dengar pembicaraan penumpang sebelah –nampaknya penumpang reguler–untuk tidak meninggalkan tempat, karena kereta yang akan ke Garut kereta yang sama ini juga. 

Untuk turun kereta ternyata tidak ada tambahan tangga ke peron. Bahaya buat saya sih, tapi untung masih bisa turun walau terasa hentakan di lutut OA. Di depan stasiun Garut kami melihat sebuah patung dan hanya menikmati sebentar sebelum masuk lagi ke dalam stasiun, scan tiket dan kemudian mencari peturahan. Dan kembali ke kereta. Kali ini saya meminta pak sekuriti membantu mendekatkan tangga untuk naik ke gerbong, lumayan tinggi soalnya jika naik dari peron. 

Tepat sesuai jadwal, kereta yang tadinya bernama Walahar Express menjelma menjadi kereta lokal Garut Cibatuan. Perjalanan ke Garut kami melewati stasiun besar seperti Bandung. Dan selalu membuat takjub pemandangan berupa  nuansa baheula di tiap stasiun kecil yang kami lewati. Senja menjelma malam, kami berupaya memejamkan mata walau akhirnya memang tidur ayam saja sepanjang jalan. Mendekati Garut, kami melihat beberapa stasiun diperbaiki. Dan tertawa ketika sampai di stasiun Pasirjengkol. “Pasirnya bau jengkol dong,ya, Bud.” Kata Amara sambil tertawa. 

Kami keluar dari stasiun. Tiga jam perjalanan telah dilalui dengan selamat. Di sebelah kiri halaman parkir, ada Restorasa, restoran di dalam halaman parkir stasiun. Banyak lampu dari arah resto, “Kita makan dulu lah, Bud. Aku lapar!” ujar Amara, ponakan yang dengan baik hatinya menemani rasa penasaran Budangnya. “Ayo, kita makan dulu.” 

Setelah mencermati interior restoran, kami mencari meja untuk duduk. Dari jendela dekat meja kami, kelihatan masjid Al Barru. Cantik kelihatan dari luar. Kami tidak menyempatkan pergi ke sana. Kami diarahkan untuk scan menu, beginilah sekarang, ke restoran menu harus lihat dari gawai kita, walau ada jua resto yang tetap mengangsurkan buku menunya. Sambil menunggu pramusaji membawakan secangkir teh hangat, segelas teh es, seporsi tempe goreng dan sepiring nasi goreng pesanan, kami berbincang tentang interior resto ini.  Ponakan kan memang belajar arsitektur, jadi agak seru juga kita berbincang.  

“Kenapa sih kita ke sini, Bud?”

“Tidak ada acara yang khusus. Hanya ingin mencoba naik kereta sambung-menyambung. Seru, enggak? Ini disebutnya naik kereta ngeteng, Dek.”

“Capek,” ujarnya disertai tawa. Ah, Amara, anak manis. Sepanjang jalan memang tidak membuat kami bisa memejamkan mata. Ada saja yang duduk, pergi sesuai stasiun tujuan.  

“Kita mau kemana lagi di sini?”

“Yang jelas makan dulu, selesai ini, kita cari gocar  ke penginapan. Maaf ya, cari penginapan seadanya ya, Dek.” Amara dipanggil Adek di rumah. 

“Yang penting bisa tidur ya, Bud.” Aku mengangguk. Nasi goreng telah tersedia di hadapan Amara. “Dimakan, Dek.” Dengan lahapnya ia menghabiskannya. Aku mengambil sepotong tempe goreng, tempe berbalut tepung. Kunikmati dalam diam sambil menikmati interior ruangan rumah makan itu lagi/ Bangunan tua yang dipercantik. Banyak lampu sorot juga dari atas. 

Malam itu kami menginap di daerah pusat kota, tak jauh dari stasiun sebenarnya. Untuk mempercepat waktu kami cari kendaraan. Sampai di penginapan, yah begitulah keadaannya. Banyak yang kami gerutui, cuma mau bagaimana lagi. Besok toh kami sudah berangkat lagi dari Kota Dodol ini. 

Keesokan paginya, kami panggil gocar lagi untuk mengantar  ke Jalan Mandalagiri. Kami niat makan Soto Haji Ahri yang menurut spanduknya sudah berjualan sejak 1943! Dan masih menggunakan anglo kayu bakar. Sotonya jenis soto kuning, wanginya mantap, dagingnya juga empuk. Semangkuk soto dan nasi tambah segelas teh hangat Rp 32.000,- Cukup untuk makan pagi kami. Tempat ini berada di satu gang di pasar Jalan Mandalagiri ini Sebelum mencapai gang ini kami melewati berbagai toko dan kios penjual bahan makanan, bahkan penjual bunga untuk ziarah makam. 

Jadi teringat, kami pernah ke kota ini tahun 2015, ketika itu sepupu Datuk dan Niyangnya Mara mengajak hadir dalam acara lamaran anak bungsunya. Jadi kami menginap di penginapan yang ada air panasnya. Acara sore sampai malam. Kami ke Soto Ahri sebelum  pulang ke Jakarta. Di dekat soto, ada yang jualan Abon ayam, abon sapi. 

Sayang, dalam kunjungan kali ini, tukang abon yang jualan dekat Soto Ahri sudah tak lagi jualan. Katanya, Pak Irhas tak lagi jualan lagi. Cukup kecewa. Kami tetap beli abon di penjual yang ada, dekat situ juga. Paling tidak cukuplah untuk oleh-oleh. Tak lupa beli dodol merek Picnic, khas Garut.

Pukul 10.55 kami berangkat pulang, kereta Garut Cibatuan berangkat menuju terminus Purwakarta. Stasiun yang dilalui: Wanaraja, Pasirjengkol,Cibatu, Karangsari, Leles,Nagreg,Cicalengka, Haurpugur, Rancaekek, Cimekar, Cikudapateuh, Bandung, Ciroyom,Cimandi, Cimahi, Padalarang, Cilame,Sasaksaat, Maswati, Rendeh, Cikadongdong, Plered, Sukatani, Ciganea…terminus Purwakarta. Lalu lanjut dengan kereta yang sama–tapi berubah nama menjadi Walahar Express ke Cikarang. 

Tiba di Cikarang pukul 19-an. Kemudian pindah jalur untuk berangkat dengan KRL ke BNI City/Sudirman Baru. Hampir pukul 2130 2 Februari 2023 kami sudah di rumah lagi. 

“Ah akhirnyaaa…”seru Amara ketika kami sampai di depan pagar. 

Perjalanan ini adalah pertama kalinya aku dan Amara berangkat berdua. Menikmati perjalanan singkat. Semoga ada pelangkahan lagi untuk berkelana lagi.
***
Februari 2023 

Farah R. Rachmat menulis karena ingin dan juga menerjemahkan karena keinginan kerja dari rumah saja. Cita-cita kecil ingin mengerti semua bahasa yang ada dunia. Tinggal di Jakarta. Bisa di sapa lewat http://www.proz.com/profile/663512 dan yang tertarik urusan terjemahan sila ke  http://www.hpi.or.id/kiat-memilih-penerjemah