Hari Terakhir Lelaki Bermata Kelabu Berpenuh Kerut – Rinanda Tesniana

Saya mendatangi lelaki bermata kelabu dengan rambut perak yang sudah duduk menunggu. Kerutan yang memenuhi wajah tak menghapus sisa-sisa ketampanan saat muda dulu. Seragam biru kebesaran yang ia kenakan berbau tidak sedap. Bau apek bercampur aroma lelaki tua. 

Kami duduk berhadapan di meja panjang yang sudah kusam. Kursi yang sebagian busanya sudah keluar membuat saya tidak nyaman. Namun, saya tak berani berkomentar. Membayangkan lelaki itu sudah menghabiskan tiga tahun hidupnya terkurung di balik tembok beton, jelas kursi keras bukan masalah besar. 

Bibirnya menyunggingkan senyum lebar saat melihat rantang di tangan saya. 

“Mau juga ibumu membuatkan rendang untukku?” 

Ia membuka rantang besi berwarna putih. Aroma rendang memenuhi ruangan. Lelaki bertubuh kurus itu mengambil tutup rantang dan menyendokkan nasi ke atasnya. Ia masukkan sesendok nasi ke mulut. 

“Rasanya berbeda dengan rendang buatan ibumu. Mungkin dia tak ikhlas masak untukku.” 

Saya tersenyum masam, mengenang jasad Ibu sudah terkubur sejak dua tahun lalu, tapi dia tidak tahu dan tidak perlu tahu sampai kapan pun. 

“Aku tahu, ibumu benci samaku.” Dia berkata sambil terus mengunyah nasi. “Tapi, coba kau pikir, kalau tidak kukerjakan, kau tidak akan bisa jadi seperti sekarang.” 

“Makan sajalah, jangan sambil bicara,” berharap ucapan saya akan menghentikan ocehannya. Namun seperti biasa, mulutnya tak pernah berhenti setiap kali saya menjenguk. 

“Kau tahu kan, aku bukan pemakai. Aku bersih. Tak pernah kusentuh barang itu. Sekalipun tidak!” 

Seperti biasa pula, dia selalu mengulang, mengulang, dan terus mengulang pembelaan  yang sama.

“Biaya hidup itu mahal, Ndan. Kau butuh makan, ibumu butuh makan, aku pun butuh makan. Masalahnya, tak ada yang mau kasih kita makan cuma-cuma.”

Saya tersenyum kecil mendengar dia selalu pula memanggil saya komandan. 

“Jualan narkoba enak. Banyak yang beli, kaya miskin membelinya. Makanya kita kaya… ya kaya-kayanya kelas kitalah.” 

Ia menyendokkan nasi lagi ke atas tutup rantang. Porsi ke dua. Tak sia-sia tadi membeli rendang dari warung Uni Farah. Dia tak lagi mengeluhkan rasa rendang yang tak mirip buatan Ibu. 

“Untung aku pintar. Tak mau kupakai barang itu. Sekali pun tidak.” 

Saya tak merespon ulangan pembelaan itu karena lebih menikmati caranya menyantap nasi rendang. Sangat lahap. Nasi rendang jelas makanan istimewa dibanding ransum harian di penjara kelas 1,2,3 atau 10 sekalipun, kecuali untuk para koruptor, yang bahkan bisa ke luar masuk seenaknya. Tapi lelaki bermata kelabu dan berpenuh keriput di depanku cuma pengedar narkoba di jalanan, bukan mafia bergelang emas yang beroperasi di restoran a la carte dan hotel bintang lima.  

Lelaki tua itu memasukkan suapan nasi terakhir ke dalam mulutnya. Lalu bersendawa cukup keras. 

“Aku tidak akan makan lagi setelah ini.”
“Mengapa?”
“Aku tidak mau banyak kotoran keluar dari tubuhku nanti.” 

Ini cerita baru, yang diucapkan dengan spontan dan jujur yang menjadi cuka yang  menetesi lukaku yang sudah menganga selama beberapa tahun. Rasa sakit langsung memukul seluruh tubuhku, tak tertahankan. Saya memalingkan muka, menyembunyikan bulir bening yang jatuh di sudut mata. 

“Jangan menangis, Ndan! Lemah kali kau!” 

Saya kembali menatap ke arahnya, ingin bicara, tetapi tenggorokan tercekat.

Mata kelabu itu menerawang jauh. Tak biasanya ada hening. Saya tatap matanya, masuk jauh ke dalam dan masih penuh kasih, seperti dulu. Hidupnya yang keras sekalipun tak mampu menghapus samudra kasihnya. Bau apek dari seragam birunya juga tak mampu mengusir kasih yang puluhan tahun dia limpahkan ke saya dan ibu.  

“Aku tahu, Ndan, jual sabu salah tapi harus… Kau pikir masuk sekolah polisi gratis… Aku ingin kau jadi orang yang benar, Ndan. Syukur urusan kau sudah beres.”

Saya membuang napas pelan. Dia mengulang-uang pembelaan, yang sepenuhnya benar: demi kami semua. Tak terbantahkan bahwa seorang polisi pasti mampu mendukung keluarganya dan itu, menurutnya, tugas saya. Sedang tugasnya menjadikan saya sebagai polisi dan tak terbantahkan pula dia bekerja keras untuk itu. Mungkin terlalu keras.  

“Memang aku mestinya berhenti, Ndan. Kau sudah jadi polisi dan bereslah. Tapi Ndan, masih banyak yang minta ke aku, makanya ada kibus* yang ngasih tahu kawan-kawanmu. Kenalah aku,” ulangnya lagi, menyalahkan polisi yang justru berhasil menangkap tangan pengedar narkoba. 

“Sudahlah, tak usah dibahas cerita lama.”
“Ah, diamlah kau!” Dia menghabiskan air putih gelas kedua. Sepertinya mulutnya kering akibat mengulang-ulang cerita dan sisa-sisa pedas rendang tadi.

“Tapi kau tahu, Ndan, aku bangga kali melihat kau pakai seragam cokelat. Ganteng kali kau, Ndan. Tak menyesal aku.” 

Hati saya tercabik. Sejak dulu saya tahu, ia melakukannya demi saya. Dan saya sengaja selalu menjenguknya dengan seragam coklat kebanggaannya. 

“Sudahlah.”
“Ah, kau, dari tadi sudahlah, sudahlah, sudahlah saja yang kau bilang, Ndan!” 

Lelaki berkulit keriput itu tertawa terbahak-bahak, entah apa yang membuatnya sangat senang. Atau sangat sedih? Banyak orang menyembunyikan tangis, sesedih apapun, seperti pria berseragam biru di seberang meja, yang saya amat kenal dan amat saya sayang, dari dulu hingga detik ini. Segera kupalingkan, menyembunyikan mata yang kembali berair . 

“Aku rasa, memang lebih baik aku mati, Ndan. Di sini tak enak. Aku terbayang ibumu, terbayang kau, terbayang pula si Gio, anak kau. Kan orang pasti mati, tapi kalau di sini tak usah lama-lamalah menunggunya. 

“Ngaco!” dan segera saya kerutkan tubuh, berupaya memelankan pekik yang membuat beberapa orang di ruang jenguk melihat kami. 

“Eh, betul, itu… Lebih baik ditembak mati. Satu kali dor, selesai! Kalau mati menahan rindu, lama tersiksanya.” 

Lagi-lagi ia tertawa, tapi kali ini mendadak terdiam menatap kosong ke bawah  dan terlihat bulir bening menetes jatuh ke lantai. Segera saya bangkit menyeberang meja dan memeluknya sekuat mungkin. Beberapa tetes air mata saya jatuh ke baju seragam birunya. 

“Maafkan aku, Ndan,” dia terisak. “Maafkan aku.” 

Ada hening. Saya pun sedang menahan isak tangis sejak tadi. Kami berpelukan lama, tak perduli lagi tatapan orang di sekitar. Ia kemudian mengajak saya menunaikan Salat Asar. Ia menjadi imam dan setelah itu membaca ayat suci Al-Quran dengan fasih. Saya terharu, ada juga yang berubah setelah terkurung jeruji besi dan tembok tinggi selama tiga tahun. 

“Kau dengar, Ndan, Allah Maha Baik. Dia kasih aku kesempatan untuk tobat sebelum mati. Tak banyak orang beruntung seperti aku, kan?” 

Saya mengangguk. Ia benar. Semua orang takut mati tapi ia beruntung karena tahu hari akhir hidupnya.

“Jam berapa nanti?” Saya bertanya dengan suara bergetar. Saya sebenarnya sudah tahu jawabannya.
“Setelah Salat Isya,” ia menjawab dengan raut wajah tegar.
“Saya akan mendampingi Ayah.” 

Dia menggeleng, “Aku tak mau. Kau tunggu saja jenazahku di rumah. Tenangkan ibumu, Ndan.”
“Tapi ….”
“Aku tak mau kau tengok pas mati. Cukuplah kau ingat muka gantengku saja.” 

Saya mengangguk pasrah, mematuhi permintaan terakhirnya.

“Saya pulang dulu, Yah,” sambil memeluknya sekali lagi, untuk yang terakhir.
“Titip salam sama ibumu, Ndan. Bilang sama dia, aku sayang  dia.” 

Saya mengangguk tak bersuara karena sekeliling tenggorokan ditusuk duri.

“Saya pulang, Yah.” 

Saya tak mau menoleh ketika kaki saya melewati pintu besi, yang berderit menambah sesaknya hati. Tapi tak bisa. 

Untuk terakhir kali, saya tatap wajah bermata kelabu berpenuh keriput. Wajah yang tak akan pernah terlupakan. Dia acungkan jempol pada saya, sebelah tangannya menghapus pipinya yang basah.
***
Padang, 1 November 2022 

Rinanda Tesniana, perempuan kelahiran Pekanbaru yang suka membaca dan jalan-jalan. Gemar menulis sejak kecil, dan sekarang bergabung di Kelas Menulis Loker Kata. Sudah menerbitkan empat novel solo dan beberapa antalogi. Baginya, menulis adalah koping stres paling ampuh, sekaligus menjadi jembatan yang mendamaikan harapan dan kenyataan.